Pelajaran dari Pak Khafidun

SeptianiCaturasih Suyono 23 Maret 2015

Nama bapak guru ini terlintas di kepalaku saat aku mengayuh sepeda perlahan menuju sekolah. Bau karet dan genangan lumpur di jalan-jalan karetan desa (jalan karetan adalah jalan setapak kecil yang melewati hutan karet) menemani pagi hari, mengiringi putaran roda sepedaku menuju sekolah. Sesekali tersenyum dan menyapa warga yang sementara menyapu halaman atau sedang mengantarkan anaknya. Setelah melewati beberapa jalan besar, ada sebuah kompleks masjid dan pemondokan anak-anak sebelum sampai ke sekolah. Melewati kompleks ini, aku teringat pada salah seorang guru di sekolah tempat aku bertugas, Bapak Khafidun namanya.

Aku pengajar Kristen Protestan pertama yang ditempatkan di desa ini, Desa Marga Jaya yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Dari 146 siswa, hanya 1 orang siswa yang beragama Kristen. Total guru di SDN 1 Marga Jaya tempatku bertugas ada 10 orang guru, hanya dua diantaranya yang beragama  Katolik. Selebihnya beragama Islam. Pak Khafidun merupakan guru mata pelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) dan BTQ (Baca Tulis Quran) di sekolah.

“Bu Ani, hidup itu jangan dipikir susah. Mensyukuri dan menikmati berkah serta karunia yang diberikan Yang Maha Kuasa dalam hidup itu yang penting. Keyakinan setiap orang boleh berbeda, namun lewat amal dan kebaikkanlah kita menunjukkan rasa syukur itu”. Kata-kata ini adalah salah satu percakapanku dengan beliau sewaktu jam istirahat sekolah di ruang guru. Meskipun berbeda keyakinan, berbincang-bincang dengan beliau tentang nilai-nilai kehidupan selalu menarik bagiku. Keramahan dan keceriaannya yang membuatku nyaman berbincang dengan beliau.

Sekali waktu, saat jam istirahat, suara tawa riang anak-anak di halaman sekolah kedengaran sampai ke dalam kantor. Ku pikir, anak-anak seperti biasa sedang bercanda-gurau bermain dengan sesama temannya. Kemudian masuklah Pak Khafidun, setengah berlari sambil tertawa. Di belakangnya anak-anak kelas 2 dan 3 mengikutinya sambil merajuk meminta ditemani bermain lagi. Beliau hanya tertawa dan mengatakan ini sudah waktunya masuk kelas untuk kembali memulai jam pelajaran berikutnya. Wajah mereka seketika penuh kerutan di dahi dan sedikit memajukan bibirnya, melengkung ke bawah. Kecewa, namun langsung berbalik ke kelas masing-masing.  “Besok lagi main ya pak!” masih sempatnya mereka berseru saat berlari masuk ke kelas.

“Begitulah dunia anak-anak bu. Menyenangkan berada di tengah mereka” papar beliau sambil tersenyum padaku yang hendak bersiap-siap menuju kelasku mengajar.

“Yah, menyenangkan pak” balasku sambil tersenyum.

“Kalau begitu, nikmatilah Bu. Kan hanya setahun  disini” katanya sambil duduk tersenyum di kursinya. Iya, beliau bapak guru yang tiada hari tanpa kalimat positif dan senyum. Akan kunikmati setahun disini. Beda keyakinan dan beda budaya tak menghalangi kita untuk sama-sama positif dan melanggkah maju kan pak? ^_^


Cerita Lainnya

Lihat Semua