info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Babak 1 : Si Kritis dari tanah karet

MayaRuslina Yanita Dewi 23 Maret 2015

“Bu... nanti siang aku les ya..”

Teriak seorang anak dengan raut wajah penuh senyum di kelas 6. Anak itu bernama Muhamad  Ramadan, dia biasa dipanggil Rama oleh teman-temannya. Dia termasuk anak laki-laki paling tinggi di kelasnya. Kulinya coklat bersih. Setiap kali bertemu denganku dia selalu tersenyum sopan. Dia merupakan ketua kelas di kelas 6. Setiap kali guru mengajukan pertanyaan, dia selalu antusias untuk menjawab. Terkadang jawaban yang dia berikan kurang tepat, dia tetap semangat untuk mengangkat tangan lagi mencoba dan terus mencoba menjawab pertanyaan dari gurunya.

“iya Rama, kamu hari ini mau les apa?”

“Matematika Bu, aku kurang bisa matematika”

“jam berapa? Abis makan siang dan istirahat ya?”

“jam 2 Bu”

Siang itu Matahari sedang ramah, awan bergulung-gulung meneduhi Bumi Tulang Bawang Barat.

“Assalamu’alaikum Bu....”

Yap.. tepat jam 2 siang. Suara beberapa anak memanggilku dari balik pintu. Ada tiga orang anak kelas 6 yang datang, Rama, Nofri dan Yosia. Aku membuka pintu. Mereka masuk dan lalu memberi salam sambil mencium tangan. Baru saja mereka duduk, nafas juga masih lebih cepat dari ritme normalnya mereka sudah saling bersahutan..

“bu... pecahan bu..”

“yang tadi bu.. (penyederhanaan pecahan)

Kami mulai belajar bersama. Ketika kuterangkan, terlihat  kernyitan dahi dengan sesekali mulut mereka membentuk huruf “o” seakan menemukan hal baru. Rama terlihat sibuk dengan kertas dan pensilnya. Sesekali dia menatapku sambil mengernyitkan dahi lalu tersenyum dan kembali lagi sibuk dengan kertasnya. Nofri sedari tadi terlihat memandang langit-langit rumah seakan ada jawaban di sana. Yosia sibuk membuat ijiran untuk membantunya berhitung. Soal berganti soal kuberikan hingga tibalah soal terakhir. Masing-masing anak kuberi 5 soal. Tiba-tiba Rama menyodorkan kembali bukunya.

Bu.. aku dike’i 25 soal Bu

Lha, 5 wae kakean wi 25

Mereka sudah kuberi banyak soal selama les, aku mengkhawatirkan jika mereka terlalu memaksa diri.

“Gak bu.. tetep 25”

“Tenanan??”

“Bu.. kan ibu dewe yang bilang.. semakin kita latihan banyak soal dan tidak menyerah maka kita akan semakin bisa”

Seketika juga sepatah kata pun tak dapat keluar dari tenggorokanku. Tanganku langsung menyambut buku Rama dan memberikannya 25 soal.  Rama memang selalu ingin mencoba, ketika pun jawaban dia salah dia tetap tersenyum dan menanyakan lagi cara yang benar lalu terus mengangkat tangan agar dapat maju lagi untuk menjawab. Seringkali saat jawaban dia benar dia senyum-senyum bangga sambil menuju bangkunya.

Ket foto: Rama nomor 2 dari kiri


Cerita Lainnya

Lihat Semua