Babak 2 : Semesta Mendukung si Kecil yang bijak
MayaRuslina Yanita Dewi 23 Maret 2015Ita, nama gadis mungil kelas lima SD. Semua anak kelas lima kompak memanggilnya “Mbak Ita”. Dia dipanggil “Mbak” bukan tanpa alasan. Dia adalah satu satunya ketua kelas wanita di sekolah. Dia sempat menulis dibuku mimpi miliknya :
“Dahulu ketika kelas dua aku belum bisa menulis dan membaca. Aku tak ingin mengecewakan kedua orang tuaku. Hingga sekarang kelas lima aku sudah bisa. Aku harus tetap berusaha dan pantang menyerah untuk menggapai cita-citaku.”
Pun ketika mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, aku memberikan tugas mencari benda-benda di sekitar sekolahan yang mana memakai prinsip pesawat sederhana.
“Yak... sekarang kalian coba secara berkelompok mencari benda-benda apa saja yang ada di sekitar sekolah kita yang memakai prinsip pesawat sederhana”
Seluruh kelas kompak menjawab, “Iya.. Buuu..”. Tak sedikit yang berdiri, berlompatan kecil sambil mengangkat tangannya keatas.
“Tapi... ibu mau dalam satu kelompok harus ada anggota laki-laki dan perempuannya.”
Mereka langsung terduduk lemas.
“yaaah.... gak mau Bu.., perempuan sama perempuan, laki-laki sama laki-laki aja Bu.” kata Leni sambil duduk.
Situasi kelas berubah dari awalnya penuh senyum dan tawa menjadi ajang lempar alasan ketidak-inginan kelompoknya campur.
“Ya sudah Bu, yuk dek Rizki kita sekelompok”
Dengan tegas Ita mengajak salah satu anak laki-laki untuk sekelompok dengannya.
“Gak apa apa lho Cah” katanya
Akhirnya kelompok –kelompok kelas dibagi lagi dan antara siswa laki-laki dan perempuan dapat bersatu.
Ita anak yang tenang saat di dalam kelas. Sesekali saat bercanda dia sering membuat pose Memeden (red: hantu). Pernah suatu kali dia mengikuti lomba Olimpiade Bahasa Indonesia tingkat kecamatan dan saat itu dia belum berhasil merih juara. Ketika itu dia menulis di buku mimpi miliknya:
“Hari ini aku mengikuti lomba Bahasa Indonesia di kecamatan. Aku dan teman-temanku dibelikan polpen. Polpennya bagus sekali. Namun aku sudah punya polpen, jadi aku pakai saja polpenku yang lama. Kan kita tidak boleh melakukan pemborosan. Jika akau memakai polpen baru itu namanya pemborosan.
Pada lomba itu sepertinya aku belum bisa menang. Tapi aku tidak boleh putus asa, aku tidak boleh menyerah. Aku harus tetap berjuang. Aku tidak ingin mengecewakan orang tuaku lagi”
Ketika membaca tulisannya aku termenung. Bagaimana suatau hal kecil seperti memakai polpen dia pikirkan hingga sejauh itu? Dan di usianya yang masih kecil, kejadian masa lalu yang kurang baik bisa dia ubah menjadi motivasi positif.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda