info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Refleksi Seorang Guru #2: Fake it till You Become it

Senza Arsendy 13 September 2014

Kembali ke beberapa hari sebelum keberangkatan saya sebagai Pengajar Muda ke Rote Ndao. Sambil menunggu kelas lanjutan, saya menyempatkan diri untuk menyetel salah satu rekaman video TEDTalks yang sengaja teman dekat saya berikan untuk saya. Videonya tidak terlalu panjang—hanya sekitar 20 menit, walaupun demikian pesan yang disampaikan video itu rasanya cukup menginspirasi saya terutama untuk menjalankan tugas setahun ke depan.

Fake it till you become it! Itu adalah salah satu quote dari Amy Cuddy yang saya ingat. Amy adalah seorang Social Psychologist yang banyak melakukan penelitian tentang nonverbal behavior, spesifiknya tentang body language. Jika selama ini penelitian-penelitian psikologi banyak mengungkapkan bahwa body language sekedar memengaruhi penilaian orang luar tentang diri kita. Amy Cuddy dengan paparan eksperimen tentang body language menunjukan bahwa body language sesungguhnya memengaruhi penilaian kita tentang diri kita yang selanjutnya memengaruhi bagaimana kita bertingkah laku. Dengan dasar itu, di kuliahnya Amy berpesan kepada penonton untuk selalu tampil dengan “power pose” (sikap terbuka) jika ingin tampil powerfull.

Terlihat powerfull. Adalah salah satu hal yang saya perlukan untuk berhasil memainkan peran sebagai Pengajar Muda, mengingat (katanya) Pengajar Muda dituntut serba bisa. Faking? Ya bisa dibilang begitu, tentu dalam artian yang positif.

Pengalaman faking pertama saya terjadi di awal kedatangan saya di sekolah. Saat itu sekolah akan mengadakan perpisahan dengan ka Nadia—Pengajar Muda yang saya gantikan. Saya diminta untuk membantai beberapa ayam untuk lauk makan di pesta perpisahan. Kedengarannya sih emang biasa, cuma jiper juga rasanya dihadapkan pada posisi itu karena sebelumnya saya tidak pernah sekali pun membantai ayam.

Try power pose(s)! Berlaga sok bisa dan seolah everything is ok. Senyum mengembang. Pisau tajam di tangan. Ucapkan doa. Hah! Innalillahi, 5 ayam terbantai dengan 1 ayam lehernya terputus. Mudahan yang terakhir bukan termasuk dosa.

Esoknya ketika lagi-lagi saya diminta untuk membantai ayam rasanya sudah biasa. Tidak ada lagi ketakutan, apalagi keraguan. Yeay, I became Pembantai Muda! Namun keyakinan bahwa saya sudah mahir menjadi Pembantai Muda kembali luntur saat Mama bertanya pada saya, “Pak Senja siap bantai sapi ko?”

“Beta sedang puasa Mama, son boleh potong binatang.” Saya mengeles menghindari tugas sampingan PM tersebut. Suatu saat saya akan ceritakan bagian itu tersendiri.

Pengalaman lanjut tentang fake it till you become it terjadi saat saya diminta menjadi Presenter Muda di acara pernikahan. Walaupun sebelum ini saya sudah memiliki beberapa pengalaman menjadi MC(-nonprofesional), menjadi MC nikahan adalah hal baru buat saya. Lebih-lebih ini akan dilakukan di sebuah kampung yang belum satu bulan saya tinggali. Degdegan? Pasti! Namun saya tahu saya harus bisa kembali menjalankan tugas sampingan PM ini mengingat akan ada banyak tokoh masyarakat di pesta tersebut. Nggak lucu kan kalo tetiba ada salah kata atau tingkah laku mendadak seminggu kemudian muncul berita di web Indonesia Mengajar, http://indonesiamengajar.org/kabar-terbaru/PM-diusir-dari-desa-karena-gagal-ngemc.

Beberapa jam sebelum ngeMC, saya mempraktikan beberapa power poses. Badan terbuka, tangan diangkat, kaki melebar, dan mata terpejam. Ya saya melakukan itu di kasur sambil tidur. Eksperimen yang dilakukan Amy menunjukan bahwa sikap badan seperti itu bisa memproduksi banyak hormon testoteron—dominance hormone yang membuat kita menjadi lebih percaya diri dan mengurangi produksi hormon kortisol—stress hormone yang membuat tingkat stres kita menjadi berkurang. Malamnya ketika ngeMC, saya tidak menemui banyak halangan. Walaupun di awal agak kagok-kagok buat cek ombak, akhirnya saya menutup acara (resmi) pernikahan dengan senyum sumringah penanda kepuasan.

Tiga hari setelah itu, salah satu Mama tetangga datang ke rumah saya. Menggunakan bahasa Rote, Mama tersebut berbincang dengan Mama piara saya. Tidak lama Mama piara saya mendekat ke saya, “Pak Senja nanti sore bisa ko datang ke Mama pung anak ulangtahun?”

Datang itu artinya siap membantai hewan untuk makan dan siap untuk menjadi MC di ulangtahun anak berumur satu tahun. Yeay, I became Presenter Muda! Yeay, nggak jadi diusir dari kampung!

***

Fake it till you become it, tidak saja terjadi di luar sekolah. Di dalam kelas tentu itu juga banyak terjadi. Lebih-lebih sebelum mengikuti gerakan ini saya bukanlah seorang guru. Maka, sudah sepatutnya saya fake menjadi guru. Lagi, ini bukan fake dalam artian negatif. Bukan tetiba ketika acara penyambutan saya sebagai Pengajar Muda di sekolah saya mengatakan, “ya saya adalah Senza Arsendy. Sebelum menjadi Pengajar Muda saya adalah seorang guru di international school di Jakarta. Saya mengajar berbagai macam bahasa, merangkap menjadi guru atletik, dan beberapa kali terpilih menjadi Teacher of the Year. Selain mencari makna hidup, tujuan saya ikut gerakan Indonesia Mengajar adalah untuk mencerdaskan guru-guru lain agar secerdas saya.” Bukan, ini bukan tentang fake seperti itu. Ini tentang saya menyakini bahwa saya bisa memainkan peran baru saya sebagai guru SD. Saya “berpura-pura” yakin padahal di dalam diri ada keraguan besar untuk menjalankan tugas besar ini. “We influenced by our nonverbals, our thoughts, our feelings, and our phyysiology,” begitu kata Amy Cuddy. Maka saya harap keyakinan saya bahwa saya mampu akan menjadikan saya benar-benar mampu.

Sabtu ini adalah Sabtu kelima saya menjadi guru kelas 4. Berbagai bentuk fake telah saya lakukan untuk menyukseskan peran saya sebagai guru di kelas, misalnya saat saya harus mengajar SBK (Seni, Budaya, dan Kreativitas)—dahulu dikenal dengan nama Kertakes. Saat itu saya harus mengajarkan murid saya tentang tangga nada. Walaupun saya tahu suara saya tidak bagus sama sekali dan bahkan ketika menyanyi pun semua nada tidak tepat, saya tetap harus meyakini bahwa hari itu saya akan bisa mengajarkan mereka tentang tangga nada. 

Maka, saya pun memulainya dengan yakin. Try power poses. Buat tangga nada. Ajak semua murid mengikuti saya mengucapkan doremifasollasidoooooo sambil sesekali saya berteriak, “ayoooo nafas perut yaaa!” 11-12 sama Mba Bertha yang lagi ngelatih finalis AFI.

Minggu selanjutnya tidak sekedar belajar tentang tangga nada, melainkan menyanyi. Menanam Jagung, ciptaan Ibu Soed. Sebelum mulai mengajar menyanyi, saya mencari lagu tersebut di laptop. Sayangnya tidak ada. “Anak-anak, semuanya lihat liriknya. Pak akan menyanyi, dengarkan baik-baik,’ akhirnya saya memutuskan untuk menyanyikannya sendiri. Entah mereka sangat menghargai gurunya atau memang tidak tahu bahwa selama saya menyanyi nadanya ngambang, mereka benar fokus melihat lirik sambil mendengarkan saya. Usai beberapa kali mempraktikannya, akhirnya semua murid kelas 4 dapat menyanyi “Menanam Jagung” dengan menutup buku. Yeay, I became it! Tidak perlu suara bagus untuk bisa menjadi guru nyanyi, cukup keyakinan saja yang membuat saya menjadi bisa!

Keyakinan saja? Yakin?

Hm, saya ragu menjawab itu. Begini ceritanya. Sabtu keempat lalu akhirnya saya mengadakan ekstrakurikuler Pramuka. Anak-anak antusias, saya lebih antusias karena akhirnya Pramuka bisa berjalan. Pramuka diadakan jam 3 sore. Setiap kali ada anak yang datang senyum saya mengembang. Saya belum tahu bahwa semakin banyak anak yang datang, artinya malapetaka semakin dekat

Saya mengumpulkan anak-anak di lapangan samping gereja, depan sekolah. Lagi-lagi, untuk berhasil memainkan peran ini saya harus fake seolah-olah saya memang benar mahir Pramuka walaupun sebenarnya saya tidak terlalu paham karena terakhir Pramuka adalah ketika SD. Agenda sore ini adalah pembentukan barung. 15 menit pembentukan barung gagal karena tetiba ada saja anak-anak yang baru datang. 30 menit pembentukan barung kembali gagal karena anak-anak tidak mau dibagi kelompok. 45 menit pembentukan barung lagi-lagi gagal. Saat itu anak-anak mulai keluar barisan. Saling timpuk batu, berlari-lari, dan bermain bola. Membawa 3 rombongan belajar kelas 4, 5, dan 6 ke tempat terbuka itu setara dengan uji nyali level 3 #pembelajaranmoral3

Barung baru terbentuk kurang lebih sejam setelah saya membuka kelas Pramuka. Setiap kelompok saya minta untuk membuat nama barung, serta yel-yelnya. Lagi-lagi kericuhan dimulai. Alih-alih membuat nama barung dan yel, anak laki-laki kembali asik saling timpuk batu sambil berkejar. Syukur batu yang mereka gunakan untuk bermain bukan batu kali melainkan batu kerikil kecil. Nggak lucu kan lagi Pramuka lalu pada lempar-lemparan batu kali?

Melihat saya kewalahan mengatur anak laki-laki, anak perempuan membantu saya. Mereka mengancam akan mengadukan anak laki-laki ke Pak Simon—salah satu guru yang paling ditakuti di sekolah. Mendengar itu, anak laki-laki menjadi sedikit kooperatif. Mereka kembali ke kelompok, lalu membuat yel. Setelah semua kelompok membuat yel, satu-satu kelompok saya panggil ke depan untuk menunjukannya pada saya dan kelompok lain. Kali ini anak-anak jongkok rapi sambil menyaksikan kebolehan temannya. Kami tertawa bersama melihat kelucuan yang terjadi saat itu.

Sebagai penutup sore itu, saya ajak mereka bermain. Nama permainannya adalah “Menculik Penumpang”. Belum saya selesai menginstruksikan aturan permainan, mereka kembali ribut dan berlari. Kali ini saya membiarkan mereka, kesal yang tadinya mendominasi berubah menjadi senyum. Ya kadang-kadang satu-satunya yang saya bisa lakukan ketika murid sedang beribut adalah senyum. Setidaknya, itu bisa membuat saya ikut menikmati tawa riang mereka ketika beribut. Setelah melihat mereka yang sepertinya sudah mulai lelah, saya kembali mengumpulkan mereka. Saya menutup kelas Pramuka sore itu. Saya mengambil motor, lalu pulang.

“Pakkkk, Sabtu depan katong Pramuka lagi yaaa!” Teriak anak-anak mengiringi perjalanan pulang saya. Saya tersenyum sepanjang jalan sambil menikmati indahnya suasana sore di Desa Bebalain.

Ya, untuk menjadi yang kita inginkan kita tidak saja perlu fake atau meyakini diri sendiri—positifnya, melainkan juga harus bersabar karena hidup adalah sebuah proses. I (will) fake it, till I become it. Bismillah!


Cerita Lainnya

Lihat Semua