info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Ramadhan ala Pengajar Muda di Selatan Indonesia

Senza Arsendy 25 Juli 2014

Malam ke 25 Ramadhan. Seorang Muslim—yang bahkan belum menjalankan ibadah Isya, sedang duduk dimana sekelilingnya adalah pemuda-pemudi yang sedang memegang Alkitab.

Sedari tadi ia hanya duduk sambil mencoba mencermati apa yang sedang dikatakan Pendeta, juga pemuda-pemudi karena sepertinya kalimat-kalimat yang diucapkan mereka agak asing di telinga Muslim tersebut. Jika jemaat bertepuk tangan, ia mengikuti dengan irama tepuk tangan yang agak lambat karena sepertinya ia memang tidak pernah melakukan itu sebelumnya.

Lamunan Muslim—yang usianya tampak tidak jauh dengan kumpulan pemuda-pemudi di sekelilingnya tersebut pecah ketika Pendeta tetiba menyapanya. Tidak. Tidak sekedar menyapa, tetapi memintanya melakukan hal yang bahkan sama sekali tidak dimengertinya. 

“Ya Pak Senja, apa Pak Senja bisa menghibur kita?” Tanya Pendeta di tengah ibadah pemuda Dusun Bandu.

“Menghibur?” Pak Senja kaget.

“Astagfirullah, seumur hidup baru pertama kali datang ke ibadah pemuda masa langsung disuruh menghibur. Hiburan macam apa ini yang harus diberikan? Benar-benar Pengajar Muda dituntut serba bisa ya? Hm.” Pak Senja berbicara dalam hati.

Dan beberapa menit kemudian Pak Senja pun memulai hiburannya. Tidak menyanyi. Tidak bermain hulahup. Tidak juga mencoba kayang apalagi mengajari pemuda-pemudi goyang YKS.

***

Pengalaman di atas adalah salah satu pengalaman menarik yang saya dapat selama menjalani Ramadhan di penempatan. Dibandingkan dua tahun sebelumnya—dimana saya juga menghabiskan Ramadhan jauh dari keluarga, tahun ini adalah Ramadhan-jauh-dari-keluarga yang paling banyak memberikan pengalaman menarik untuk saya. Sesungguhnya jika boleh jujur tidak saja menarik namun juga paling banyak memberikan pembelajaran.

Di desa saya adalah satu-satunya warga yang beragama Muslim sementara yang lainnya adalah umat Protestan, begitu juga dengan hostfam saya. Walaupun mereka berbeda kepercayaan dengan saya, toleransi yang mereka berikan pada saya sangat tinggi. Beberapa kali ketika Mama mau makan dan melihat saya sedang duduk di depan TV, Mama pasti selalu meminta izin pada saya untuk makan. Bapak bahkan terlebih dahulu meminta izin pada saya apakah dirinya boleh membangunkan saya untuk sahur atau tidak.

Setiap malam Mama juga bangun untuk memasakan saya nasi. “Nanti Mama saja yang masak nasi, supaya Pak Senja tidak repot untuk sahurnya.” Ungkap Mama sebelum esoknya puasa. Beberapa kali ketika saya sahur Bapak juga bangun, sekedar memastikan saya sahur dengan makanan yang memadai atau membantu saya memasak. Dibantu anak-anaknya, beberapa kali mereka membuatkan saya kolak, agar, puding, bubur kacang hijau, dan hidangan manis lainnya untuk berbuka.

Pernah suatu hari saya melihat Bapak sedang sibuk dengan tali tambang. Ketika saya tanya ternyata Bapak ingin menangkap ayam untuk lauk berbuka saya. Barangkali selama ini Bapak prihatin melihat anak angkatnya berbuka puasa didominasi oleh menu mie, telor, dan sawi. Saat itu kami semua membagi tugas. Bapak membuat perangkap ayam, adik saya menangkap ayam, saya membantai ayam, dan ibu serta kakak saya yang memasak ayam. Saat itu saya merasa sangat beruntung memiliki keluarga angkat yang sangat perhatian.

Walaupun sebenernya saya cukup nyaman berpuasa di rumah, saya tak mampu menahan godaan jika ada ajakan untuk berbuka di kota. Rasanya mulut ingin juga merasakan makanan-makanan yang umum dikonsumsi saat berpuasa tanpa banyak merepotkan hostfam. Kebetulan di kota memang banyak penduduk dari Jawa yang menyediakan hidangan khas berbuka puasa. Didukung oleh jarak yang tidak terlalu jauh dari desa ke kota, maka menjadi sangat seringlah saya ke kota untuk mencari hidangan berbuka. Mendekati Maghrib biasanya kepala saya sudah dipenuhi dengan gambaran makanan-makanan berbuka yang semuanya membuat saya berjanji pada diri sendiri jika Maghrib tiba maka saya harus membeli semua makanan itu. Walaupun saya selalu mengikari janji karena mendadak kenyang sebelum semua makanan dibeli, esok-esok selanjutnya saya tetap saja berjanji. Orang bilang saya hanya lapar mata.

Menyadari bahwa ke kota membuat saya menjadi sangat boros, sementara persediaan uang tidak lagi banyak rasanya harus ada cara lain agar saya tetap bisa berbuka puasa di kota tanpa mengeluarkan banyak uang. Numpang buka puasa di Masjid adalah salah satu cara ampuh yang selama ini telah saya lakukan. Jika teman lain ke kota untuk melakukan ibadah tarawih karena tidak ada Masjid juga di desanya, tujuan utama saya adalah mencari bukaan di Masjid. Bukankah berbuka puasa itu wajib, sementara Tarawih itu sunnah? Pertanyaan ini menjadi pembenaran untuk diri saya jika saya sedang merasa bersalah karena terus-menerus buka di Masjid.

Selain di Masjid, beberapa kali saya dan teman-teman saya juga diajak buka puasa bersama di rumah stakeholder. Jangan tanya bagaimana antusiasnya saya menyambut ajakan itu. Di grup Rote, barangkali saya salah satu penyumbang suara “Iya, saya bisa!” jika ada ajakan buka puasa di rumah stakeholder. Selain bisa jadi ajang silaturahmi, buka puasa di rumah stakeholder benar-benar membuat saya menang banyak (baca: kenyang) karena biasanya menu buka puasanya beraneka ragam. Benar-benar perbaikan gizi.

Ramadhan hampir habis, sungguh saya merasa sangat beruntung memiliki pengalaman Ramadhan di Pulau Rote—dimana penduduknya mayoritas adalah umat Nasrani. Walaupun mereka tidak berpuasa, mereka tidak sekedar menghormati kami—saya dan teman-teman namun juga membantu kami menikmati Ramadhan. Seperti misalnya yang dilakukan oleh keluarga saya dengan membantu saya membuat santapan sahur serta berbuka atau yang dilakukan Pak Adri Lau—anggota DPRD Kabupaten Rote Ndao yang mengajak kami berbuka puasa di rumahnya.

Menjadi minoritas saat Ramadhan ini juga membuat saya menjadi lebih bersyukur atas segala nikmat yang datang pada saya sebelum ini. Saya bersyukur karena tempat tinggal saya di Jakarta dekat dengan Masjid sehingga saya bisa dengan mudah Tarawih di Masjid. Saya bersyukur di Jakarta ada timun suri yang membuat buka puasa saya menjadi sangat istimewa. Saya bersyukur karena saya punya pengalaman ini yang membuat saya menjadi bersyukur atas apa yang telah saya dapat selama ini. Benar memang kata orang bijak terkadang kita perlu jauh dari apa yang selama ini kita miliki agar kita tahu arti bersyukur.

Selamat menikmati hari-hari terakhir Ramadhan! Sekarang saatnya saya mencari tumpangan untuk Lebaran di kota agar dapat makan santapan enak, bergizi, dan lengkap :p


Cerita Lainnya

Lihat Semua