Jatuh Hati pada Kesan Pertama

Senza Arsendy 21 Juli 2014

Aku senang hari ini. Hari ini aku resmi menjadi siswa kelas 1 SD Inpres Bandu. Aku memang tidak menyiapkan banyak untuk hari pertamaku ini. Di saat kebanyakan siswa lain mengenakan hal yang serba baru, aku mengenakan pakaian seragam turunan dari kakakku yang warnanya sudah tidak lagi putih. Tas yang seharusnya aku pakai talinya juga putus sehingga tidak bisa aku pakai ke sekolah. Begitu pun sepatu, sepatu yang aku pakai bukan sepatu baru yang hitamnya masih bagus. Aku yakin orang lain yang melihatku dari luar tidak akan menyangka bahwa aku adalah siswa baru—kecuali hanya melihat dari tinggi badanku saja. Tampilanku sungguh berbeda dengan mayoritas siswa baru pada umumnya.

Namun, jangan coba bandingkan semangatku dengan siswa baru lainnya. Aku yakin aku menang jauh. Boleh saja tampilan luarku tidak serba baru seperti siswa lain, tetapi semangat yang aku bawa ke sekolah hari ini sangat besar. Hal inilah yang mendorong aku untuk mau berjalan jauh ke sekolah, seorang diri tanpa diantar orang tuaku ke sekolah.

Jarak rumahku dengan sekolah cukup jauh. Sekolahku ada di dusun Bebalain, sementara rumahku ada di ujung dusun Bandu. Aku berjalan ke sekolah sekitar pukul enam pagi. Satu buku tulis dan pensil aku masukan ke dalam plastik lalu aku simpan di dalam baju karena tasku sudah rusak. Semalam habis hujan, udara dingin masih terasa selama aku berjalan. Di tengah perjalanan tetiba ada seseorang yang dibonceng motor menyapaku. Aku tidak kenal siapa dia. Wajahnya seperti orang baru di kampungku. Mungkin, dia adalah guru baru yang katanya datang dari Jakarta? Aku balas sapaannya.

Dua menit menuju pukul tujuh aku sampai di sekolah. Sekolah masih sangat sepi. Aku melihat ada Bapak yang menyapaku tadi di jalan. Ia bersama Jen, kakak kelasku yang rumahnya satu dusun denganku. Aku berjalan menuju kelasku. Sayang sekali ternyata kelasnya masih berantakan. Hanya ada meja di kelas, aku tidak tahu bangku-bangku ada dimana.

Saat aku ingin keluar kelas, Bapak tadi menghampiriku di depan kelas. Kita berkenalan. Ternyata benar dugaanku, Bapak tadi memang guru baru di sekolahku. Nama panjangnya aku tak jelas dengar, cuma dia bilang aku dapat memanggilnya “Pak Senja”. Namanya memang jauh dari nama orang Rote kebanyakan yang pernah aku dengar. Pak Senja seperti wartawan. Banyak sekali ia bertanya padaku. Bahkan ia sampai bertanya apakah aku pagi ini mandi sendiri atau dimandikan. Ketika ditanya ini, aku dan Jen—yang saat itu ada di sampingku sama-sama tertawa. Tentu pagi ini aku mandi sendiri. Ada-ada saja memang pertanyaan Pak Senja.

Pak Senja juga bertanya apa aku sudah bisa membaca atau belum. Tentu aku jawab sudah bisa. Namun sepertinya Pak Senja tidak percaya. Wajahnya tampak meremehkanku sambil berkata “masa?”. Lalu dia mengajakku ke ruangan kelas lima. Di sana banyak buku. Pak Senja mengambil satu buku, aku diminta untuk membaca halaman depan buku tersebut.

“Atlas Hewan,” aku baca tanpa mengeja. Pak Senja tersenyum lebar. Aku pun demikian. Aku yakin saat itu Pak Senja sudah mulai mengagumiku.

Ah, Pak Senja! Ini masih awal. Boleh saja aku berbeda tampilan luar dengan siswa baru lainnya, tetapi semangatku untuk belajar selalu tinggi. Aku yakin aku akan banyak lagi lihat senyum-senyum Pak Senja melihat kebolehanku.

“Ya sudah! Ayo kita bersih-bersih kelas sekarang!” Ajak Pak Senja keluar kelas.

***

Mulai besok, saya sudah punya jawaban jika orang luar bertanya pada saya terkait pengalaman jatuh hati pada kesan pertama. Ya Delfin, Pak Senja telah jatuh hati denganmu. Terima kasih Delfin! Kamu membuat Bapak merasa optimis untuk satu tahun ke depan.

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua