info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Teori "Sedih Tak Harus Menangis" Ibu Rika Terpatahkan

Rika Amelia 5 Agustus 2014

"Ibu Rika nangis ni pas perpisahan nanti?" Tanya Tika yang selalu ingin tahu.

"Nangis?kenapa memang harus menangis?" Jawab saya sekenanya menggoda Tika.

"Iya ni..kan sedih ibu, bune ibu petra, Ibu Lita, nangi saraa si ibu.." Tika mengajukan pembelaan dirinya.

"Hmm..kita lihat saja nanti. Sudah malam, lao dula!" Saya menutup pembicaraan malam itu dan menyuruh Tika pulang karna sudah mulai larut.

Percakapan iitu terjadi saat minggu-minggu terakhir saya berada di desa paling saya rindukan, Paradowane. Surga kecil di tengah bukit itu tak berapa lama lagi akan saya tinggalkan. Di sekolah, semua sibuk mempersiapkan acara perpisahan nanti yang dirangkaikan dengan pisah sambut Pengajar Muda. Anak-anak pun mulai ramai menanyakan warna favorit Ibu Rika lah, makanan kesukaan Ibu Rika lah, pilih tembe (sarung) atau bohi dungga (sambal jeruk) lah. Mereka pun sibuk membanding-bandingkan suasana perpisahan haru Ibu Marlita dan Ibu Petra (Pengajar Muda 2 dan 4).

"Masak Ibu Rika wati nangi, pai Ibu Petra yang galak saja nangi..poda  ibu." Dila masih tidak terima dengan pernyataan saya yang tidak akan menangis di perpisahan nanti.

"Wati ni! Ibu Rika tak  mudah nangis" Sangkal saya berkali-kali

"Hmm.. wati yakin mada ibu. Pasti nangis. Kalo ibu nangis gimana??Ibu mau traktir kami bakso?"  Deby ikut-ikutan menyangsikan keputusan saya.

"OKE!" ujar saya mantap.

"Oke...sepakat!!" teriak mereka riang, berharap ibu Rika mereka ini akan menangis nanti saat perpisahan datang.

*

Hari perpisahan itu pun datang. Ruang kelas sudah disulap menjadi aula. Setiap sudut sekolah sudah dibersihkan. Spanduk perpisahan sudah terpasang rapi. Kursi-kursi telah tersusun berderet dan rapi. Tak ketinggalan, Tim Saman Centil telah siap dengan kostum saman dadakan mereka.

Acara dimulai, satu per satu butir acara dituntaskan.

"Acara selanjutnya, sepotong kata terakhir dari Pengajar Muda, Ibu Rika Amelia"  suara Guru Hima terdengar bergema dari toa sekolah.

Ucapan perpisahan saya saat itu berlangsung singkat dan seperlunya. Beberapa orang tua dan siswa nampak mengusap air mata mereka sekenanya. Saya menyudahi pidato singkat itu, tanpa setetes pun air mata. Bagi saya, sedih tak selalu identik dengan tangisan. Saya sukses menuntaskan janji saya untuk tidak menangis. Sedih, tapi tanpa setetes air mata. Beginilah cara saya menguatkan orang terdekat saya untuk tak berlarut-larut dalam kesedihan. Toh, perpisahan bagi saya saat itu bukan sesuatu yang harus ditangisi. Begitulah Prinsip saya saat itu.

Hari berlalu, saya menghabiskan hari-hari terakhir saya di Parado dengan penuh gelak tawa, bersama para malaikat kecil di tanah surga itu.

**

Now, it's time to leave on the jetplane

Pagi hari jam sepuluh itu tak sedikit wajah-wajah hangat yang saya kenal datang memberikan senyuman hangat terakhir mereka. Tak terkecuali senyum-senyum kecil yang juga tak luput datang. Mereka tersenyum dan memberikan pelukan hangat terakhir mereka. Masih, saya tidak menangis. Sedih? ya.

****

Saat tulisan ini dibuat, ingatan saya terbang kembali ke ruang tunggu Bandara Ngurah Rai saat menunggu connecting Flight ke Jakarta. Sebuah foto yang dikirim Ajeng (Pengajar Muda 8) tanpa sadar membuat mata saya panas. Tiba-Tiba saja setetes air jatuh dari mata. Tak kuasa menahan, air itu tak bisa dibendungi lagi. Akhirnya, Saya Menangis. Meskipun air mata tak pernah cocok dengan saya, tapi ya..Yasudahlah. Foto ajaib itu tak akan pernah bisa saya lupakan.

Manis dan sedihnya hidup memang beragam. Cepat atau lambatnya kita menyadarinya pun tak sama. Ideologi kita tak selamanya bisa bertahan. Cocok atau tidaknya, air mata diciptakan untuk mengekspresikan rasa sedih. Baiklah...

Nak, Ibu Rika kalah taruhan. Nanti Ibu Rika balik lagi deh ke Parado, traktir kalian Bakso. Doakan saja..

*foto by:Ajeng


Cerita Lainnya

Lihat Semua