info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Warna-warni Nusantara di Ujung Negeri

Nicko Rizqi Azhari 27 Juli 2014

Setiap sudut-sudut di Nusantara membentuk sebuah bangun yang bernama ‘keberagaman’. Bangun itu disusun oleh garis-garis bernama ‘warna’, yang dipertemukan oleh titik-titik bernama ‘toleransi’. Amatlah cantik ketika bangun keberagaman yang diikat oleh semangat toleransi itu membentuk sebuah bangun yang penuh warna. Warna-warni yang membentuk kolase, menunjukkan wajah kesatuan bangsa kita, Indonesia.

Warna-warni itu berkilauan di seluruh penjuru negeri. Bukan semata di jantung kekuasaan di Jakarta sana, yang sering orang sebut sebagai miniatur Indonesia. Warna-warni itu juga berkilau di sebuah desa di ujung utara-barat Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Sebuah desa di tepi Selat Malaka, yang konon tak perlu banyak jam untuk mencapai negeri jiran, Malaysia. Ini adalah desa tempatku bertugas, Desa Titi Akar.

Di desaku, penduduk asli Pulau Rupat, masyarakat Suku Akit, tinggal. Orang Akit merupakan kelompok penduduk mayoritas di desaku. Selain itu, dalam jumlah yang tidak banyak, tinggal pula orang Jawa, Tionghoa, Melayu, Bugis, dan Batak. Hampir semua orang Akit dan Tionghoa memeluk agama Buddha. Sebagian besar orang Jawa, Melayu, dan Bugis memeluk agama Islam. Sementara orang Batak memeluk agama Protestan.

Satu sudut Nusantara di desaku, Titi Akar, ini telah membentuk sebuah bangun keberagaman. Bangun itu disusun oleh garis-garis bernama warna. Garis-garis itu juga dipertemukan oleh titik-titik bernama toleransi.

Desaku memang menarik. Kalau boleh aku bilang, secara demografis, Titi Akar merupakan salah satu desa paling beragam di Pulau Rupat. Namun, letupan-letupan besar karena benturan perbedaan belum pernah terjadi di sini. Sebaliknya, kelompok-kelompok masyarakat pembentuk warna-warni itu justru membaur membentuk satu kolase yang direkatkan oleh sikap saling pengertian, saling menghargai, dan saling menghormati satu sama lain. Selain dalam interaksi sehari-hari, kokohnya bangun keberagaman yang terbentuk ini terlihat pada perayaan hari-hari besar keagamaan.

Perayaan tahun baru Imlek dan Cap Go Meh di desaku menjadi semacam festival yang ramai dirayakan oleh masyarakat Akit dan Tionghoa. Namun, bukan saja orang Akit dan Tionghoa, masyarakat dari suku dan agama lain pun turut dalam suka cita perayaan. Tradisi saling berkunjung dan mengucapkan selamat bukan saja dilakukan oleh orang-orang Akit dan Tionghoa yang merayakannya saja. Tradisi saling berkunjung pada Imlek/Cap Go Meh juga dilakukan oleh orang Jawa, Melayu, dan suku-suku lain yang tidak merayakannya, kepada tetangga dan kawan dari suku Akit dan Tionghoa yang merayakannya. Bahkan, karnaval Cap Go Meh pun bukan saja menampilkan barongsai dan liong yang merupakan kesenian etnis Tionghoa. Karnaval Cap Go Meh di desaku juga menampilkan kesenian reyog, kesenian suku Jawa. Kebersamaan ini dibangun tak lain untuk menunjukkan solidaritas serta berbagi semangat toleransi.

Begitu pun saat umat Islam berpuasa Ramadan, semangat toleransi kembali dihadirkan. Paling tidak, ini bisa dibaca dari sekadar ucapan lisan ‘selamat berpuasa’. Belum termasuk sikap ‘mencoba’ menghargai orang yang sedang berpuasa. Ini yang dilakukan oleh murid-muridku di sekolah. Mereka selalu berusaha tidak tampil di depanku dalam keadaan sedang makan atau mengunyah sesuatu. Bahkan, dengan cepatnya mereka lari membawa makanan-makanan yang sedang mereka makan, saat aku main ke kantin sekolah saat jam istirahat.

Menjelang hari raya Idul Fitri ini, aku mendapat banyak pertanyaan dari murid-murid dan beberapa orang tua murid-muridku, yang kebanyakan pemeluk agama Buddha.Pertanyaan-pertanyaan seperti: “Bapak nak raya (di) mana?”, “Bapak (hari) raya (Idul Fitri nanti di) sini (Titi Akar)?”, “Bapak (hari) raya (Idul Fitri) kok (tidak) balik kampung?”, sering menyerangku belakangan. Aku berprasangka baik, mereka akan bergantian datang mengunjungiku di hari raya Idul Fitri nanti.

Ah, aku jadi ingat percakapan kecil antara beberapa muridku pada suatu sore pencarian kepiting di tepi sungai.

“Pak, sagi (nanti) kami sembahyang di vihara. Pak Nicko sagi (nanti) datang tengok kami ya?” undang salah seorang muridku.

“Jam berapa nanti kalian ke vihara?” tanyaku. “Jam 6 kami sudah di vihara, pak,” jawab muridku yang lain.

“Eh, Pak Nicko jam 6 salat ha,” timpal muridku yang lain lagi.

“Kalau begitu sagi (nanti) Pak Nicko salat dulu. Selepas salat datang ya, pak?” sekali lagi muridku mengundangku.

Di satu sudut Nusantara di Titi Akar ini, gemilang warna-warni bangun keberagaman berkilau. Ia membentuk satu bagian kolase, yang menunjukkan wajah kesatuan bangsa kita, Indonesia.


Cerita Lainnya

Lihat Semua