Cium Hidung dan Valentine

Senza Arsendy 5 Maret 2015

Indonesia itu memang unik, kaya akan budaya dan adat istiadat. Siapa yang sangka, di ujung selatannya Indonesia—jauh sekali dari pusat kota, ada kebiasaan-kebiasaan muncul yang justru sepertinya tidak mencirikan Indonesia.

Saya masih ingat masa-masa awal kedatangan saya di desa. Saat itu saya datang ke acara kematian. Mendadak ketika saya memperkenalkan diri, tangan saya ditarik oleh Bapak tua, dia mencondongkan mukanya, dan menempelkan hidungnya di hidung saya. Belum selesai dengan rasa kaget—karena pengalaman pertama cium hidung saya direbut oleh Bapak tua itu, rombongan Oma-Oma datang menyapa saya. Kaget kali ini berubah menjadi gugup. Satu per satu saya menyapa Oma-Oma. Kemudian hal sama terjadi, tangan saya ditarik lalu hidungnya ditempelkan di hidung saya. Oleh karena belum biasa, detik-detik menjelang mereka menempelkan hidungnya ke hidung saya, saya selalu memenjamkan mata. Kadang memejamkan mata memang bisa mengecilkan rasa-rasa takut, gugup, dan semacamnya.

Hari berlalu, frekuensi cium hidung menjadi lebih sering. Semakin banyak datang ke acara warga, entah itu pernikahan, kematian, atau ulang tahun maka cium hidung semakin sering. Namun begitu, rasa gugup karena canggung tetap saja muncul saat akan cium hidung. Di balik rasa gugup itu, saya justru menyadari bahwa masyarakat Rote mempunyai cara yang sangat hangat untuk menyambut kedatangan tamu. Mereka bisa saja memilih sekedar berjabat tangan, untuk menjaga jarak dari tamu yang datang. Namun nyatanya masyarakat Rote memilih untuk membuang jarak, menjabat tangan lalu kemudian mencium hidung.

Beberapa minggu lalu—saat saya sedang berkunjung ke salah satu SMA di Baa, dari kejauhan saya melihat murid SMA sedang berkumpul di tengah lapangan. Mereka saling menjabat tangan, kemudian saling cium hidung. Sebagian lalu keluar sekolah menghampiri guru-guru yang sedang duduk di depan sekolah. Hal yang sama mereka lakukan, berbaris, menjabat tangan, lalu cium hidung. Semuanya melakukan. Saya kaget, lebih-lebih usai saya melihat antrean barisan yang cukup panjang. Kemudian saya lebih kaget lagi ketika saya mendengar jawaban guru tentang apa yang sedang murid dan guru lakukan di sekolah. “Ini hari Valentine ko Pak Senja!” Jawab seorang guru.

Seketika Rote Ndao berubah menjadi (seperti) kota-kota besar di Eropa. Pemuda-pemudinya bersuka-cita menyambut kedatangan hari Valentine. Beberapa pesan elektronik terkirim, sekedar untuk menyampaikan rasa kasih ke orang-orang yang dikenal. Sekolah dipulangkan cepat untuk memberikan kesempatan pada murid-muridnya merayakan Valentine. Pulang sekolah, murid-murid membuat janji untuk merayakan Valentine bersama. Beberapa memasang spanduk “Merayakan Hari Valentine” untuk menambah suka cita. Seumur hidup tinggal di Jakarta, saya tidak pernah merasakan 14 Februari dirayakan sedemikian meriahnya. Justru di Rote Ndao—kabupaten yang masuk ke dalam wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal), saya merasakan itu.

Satu lagi penanda bahwa menjadi Pengajar Muda memang tidak saja memberikan saya kesempatan untuk berkontribusi demi kemajuan negeri, lebih dari itu menjadi Pengajar Muda memberikan saya kesempatan untuk mengenal Indonesia lebih dekat. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tinggal di ujung negeri membuat kita akan jadi lebih mencintai negeri. Menjelang setahun di Rote Ndao, saya menyadari bahwa Indonesia kaya budaya, Indonesia kaya pesona alam. Saya bersyukur.


Cerita Lainnya

Lihat Semua