Persaingan

Jovanni Enralin Silalahi 5 Maret 2015

Rega Aditya. Murid saya yang satu ini merupakan bintang kelas sejak kelas 1 SD. Sampai dengan ia duduk di kelas VI sekarang, ia selalu mendapatkan peringkar pertama. Sifatnya yang selalu ingin tahu dan kritis, membuat saya sendiri terkadang kewalahan menghadapinya. Tidak memiliki tandingan di sekolah membuat saya merasa terkadang Rega terlalu sombong dalam menghadapi pelajaran. Percaya diri memang baik, tetapi lain hal jika kepercayaan diri tersebut sudah mulai berubah ke arah yang negatif.

Beberapa kali saya sudah mengingatkan Rega untuk tetap rendah hati meskipun ia menguasai pelajaran yang diberikan. Karena tidak jarang, ia tidak menghitung lagi jawaban dari soal matematika yang saya berikan, alhasil jawabannya kurang tepat meskipun caranya sudah benar. Keadaan seperti ini berlangsung cukup lama, karena memang tidak ada yang bisa menandingi Rega. Sampai suatu hari, datanglah solusi untuk permasalahan ini. Seorang murid baru pindahan dari Riau perlahan mengubah Rega. Suhendra atau yang biasa kami panggil Hendra merupakan tandingan yang sepadan dengan Rega. Saya akui, Rega memang lebih cepat menyerap pelajaran, namun Hendra lebih  teliti. Hal inilah yang membuat nilai-nilai Rega tertinggal dibandingkan dengan Hendra. Bahkan, pada semester 1 kemarin Hendra-lah yang memegang posisi sebagai peringkat pertama.

Awal kepindahan Hendra bukanlah saat-saat yang indah, terutama bagi saya. Hendra yang selalu mendapat nilai harian lebih tinggi daripada Rega membuat Rega menjadi iri, bahkan tak jarang merajuk di kelas dan tidak mau mengikuti pelajaran. Hendra juga tak jarang menjadi sasaran kejahilan-kejahilan Rega dan kawan-kawannya. Saya mengetahui hal ini dari Hendra. Ketika kami sedang berjalan pulang bersama-sama, ia berkata “Buk, kalau misal ya buk, ada orang yang lebih pintar dari Rega.. Kira-kira gimana bu? Misal bu, misal..”. Saya yang sedikit paham akan situasi ini, kemudian menjawab “Tidak ada yang paling pintar di dunia ini, Rega pintar tapi pasti ada yang lebih pintar. Begitu juga kamu, kalau kamu pintar, pasti juga ada yang lebih pintar.. Tinggal siapa yang mau terus bekerja keras untuk bisa tetap pintar. Toh, nanti kan kepintaranmu untuk kamu sendiri juga..” Sebenarnya saya cukup bingung menjawab pertanyaan Hendra. Saya tidak ingin terlihat seperti memihak salah satu di antara mereka, namun saya juga tidak ingin Hendra merasa harus menutupi kepintarannya hanya karena takut dijahili.

Beberapa hari setelah pembicaraan saya dengan Hendra, saya mengadakan kuis matematika. Seperti biasa, Rega terlihat sangat tidak mau kalah dengan Hendra. Saya yang berkeliling memeriksa pekerjaan mereka menjadi seru sendiri. Rega dengan kecepatan yang maksimal dalam menghitung soal, sangat berbeda dengan Hendra yang menghitung dengan tenangnya. Setelah beberapa lama, terdengar suara Rega berteriak “Sudah Buk! Huahaha cepaat kaan akuu!”. Seperti inilah menggemaskannya Rega, ia selalu percaya diri—bahkan jika ia salah sekalipun. Saya kemudian memeriksa jawaban Rega. Caranya sudah benar, tetapi... jawabannya masih kurang tepat. Sedangkan Hendra yang sudah selesai lebih awal dari Rega namun tidak mengutarakannya mendapatkan jawaban yang tepat.

“Benar kan Buk jawabanku? Benar kan?” Rega yang terus-terusan mendesak akhirnya membuat saya mengeluarkan jawaban, “Coba kamu lihat jawaban Hendra. Jawaban kalian beda, coba lihat jawaban siapa yang benar..” Rega kemudian berlari ke arah bangku Hendra. Yang membuat saya terharu adalah, kejadian setelah itu. Rega dan Hendra menghitung bersama-sama dengan serius sekali. Ketika sudah dapat jawabannya dan menyadari bahwa jawaban Hendra lah yang benar, mereka berdua pun saling bertepuk tangan seperti tidak pernah terjadi perselisihan di antara mereka. Sejak saat itu, intensitas Rega dalam mem-bully Hendra mulai berkurang. Mereka lebih sering bekerja sama dalam mengerjakan sesuatu. Ah, persaingan dalam pertemanan memang kadang dibutuhkan. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua