info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Wahid dan Pertanyaan Tentang Presiden

Sendi Kenia Savitri 19 April 2015

Ada yang beda dari wahid, sejak pulang dari mewakili provinsi Banten dalam ajang Konferensi Penulis Cilik Indonesia 2014 (KPCI 2014) di Bogor sekitar beberapa hari yang lalu. Sikapnya kini lebih pendiam, meski wajahnya nampak berseri dan semakin memancarkan kecerdasannya. Wahid memang tidak banyak bertingkah di kelas, dia tergolong pendiam dan penurut, tapi kali ini saya amati di sekolah sikap diamnya tidak biasa. Pembawaannya tenang, dan tidak seperti dulu yang ingin selalu nampak dibalik kediaman sikapnya. Biasanya ketika kelas sedang ribut sekali di sekolah, wahid bersikap independen menghampiri saya dan menanyakan pelajaran yang ingin dia ketahui, dan saya menjawab dengan biasa saja, atau mungkin ketika pembagian alat gambar, wahid sering sekali maju ke depan untuk berharap mendapat yang lebih dulu meski tidak ada perbedaan antara yang mendapat bagian pertama dengan yang terakhir karena yang dibagikan sama dan digunakan dalam satu kelompok. Kini wahid sangat tenang, dan menurut saya ini sangat tertib. Dia benar-benar menunggu gilirannya untuk mendapat bagian. Kalau boleh diartikan, sikapnya lebih dewasa, tindak tanduknyapun semakin santun. Meski berhasil mendapatkan kesempatan berharga itu, wahid ternyata justru semakin diam, tidak seperti yang saya bayangkan dia akan menceritakan semua yang dia alami selama proses seleksi tingkat nasional itu. Nyatanya teman-temannya lah yang bertanya, dan sedatar itu wahid menjawab pertanyaan teman-temannya sambil terus tersipu malu tersenyum. Mungkin ini yang disebut sikap tawadu’ dalam islam. Sikapnya sangat mencerminkan pribadi yang berintelek dan bereligi meski diusianya yang masih sangat belia.

               Malam ini seperti pada umumnya, banyak murid-murid yang datang ke rumah untuk makan bersama. Wahidpun datang dengan senyum khasnya yang malu-malu. Jujur saja ini menambah perasaan sayang saya kepada wahid. Perasaan ini smepat terganggu dengan sikap Wahid yang selalu ingin lebih menonjol di banding dengan teman lainnya di depan saya. Sikapnya yang diam, namun selalu berinisiatif membuat sosok pemimpin sudah nampak padanya. Namun kadang sikapnya membuat teman diseblahnya seperti dijatuhkan secara tidak langsung di depan saya. Wahid hanya ingin menampakkan dirinya yang paling mampu. Jelas bukan ini yang saya inginkan, saya berusaha membuatnya mampu menjadi teman yang nyaman untuk teman-teman lainnya, juga bisa menjadi pemimpin yang tidak hanya ingin dihargai dan dipandang saja nantinya. Namun kali ini perasaan sayang saya benar-benar sangat tumbuh, dengan pembawaan dan sikapnya yang lain, ditambah lagi dengan penampilannya memang sedikit berubah. Wahid nampak lebih terang, rapi, dan sangat awesome menurut saya dari biasanya. Inner yang dikeluarkan menunjukkan apa yang ada dalam dirinya sangat berbobot. Melihat dia, saya seperi melihat dia yang dengan kemampuannya mampu pergi kemanapun, melihat dunia ini dengan tangannya, dan tetap kembali kepada kulit dan cangkang yang telah membesarkannya.

               Setiap malam, saya memang selalu makan bersama dengan anak-anak di rumah tinggal saya. Setelahnya makan kami bercerita, dan membaca buku bersama sesuai dengan keinginan mereka. Yang berbeda dari malam-malam yang biasanya adalah penutup malam ini ditutup manis dengan banyak pertanyaan dari anak-anak, dan sebuah pertanyaan dari Wahid yang menakjubkan. Dia bertanya “Kenapa ada orang yang mau jadi presiden? Kan banyak masalahnya yang harus diurusin?”, “Kerjaannya banyak kan bu ?”. Sesaat saya tercengang dengan pertanyaan Wahid, dan sekejap berfikir bagaimana menjawabnya. Yang jelas saya sangat senang dengan pertanyaan wahid. Dalam penjelasan saya berkata, bahwa setiap orang di dunia ini harus berani mengambil resiko, menantang dirinya, dan selalu berkata bisa dan yakin meski dalam kesadaran akan keterbatasannya. Dan orang-orang besar lagi hebat itu tidak tumbuh dari kehidupan yang tentram dan nyaman, melainkan mereka yang berani mendekati masalah, menantang masalah, dan memastikan sebuah keyakinan untuk selalu berkata BISA. Tak sampai sisitu, saya berkata kepadanya bahwa tidak ada bahagia tanpa kita pernah tau rasanya sedih. Dalam sebuah analogi saya mencontohkan kepadanya dengan bertanya “apa yang kamu rasakan ketika pertama kali di kampung ini ada listrik setahun yang lalu ?” dan wahid pun mejawab “Senang Bu ..”, kemudia “apa yang kamu rasakan kembali kemarin ketika kampung ini dilanda pemadaman?” ia pun menjawab “Tidak enak, gelap”. Sambil menatap wajahnya saya menjelaskan “bagaimana kamu bisa membandingkan nikmatnya terang dan gelap jika salah satunya tidak pernah kamu rasakan nak ..” wahidpun tersenyum dan berkata “iya bu .. saya paham”.

               Kehidupan ini akan berjalan dengan sangat membahagiakan ketika kamu pernah merasakan nikmatnya menghadapi masalah dan berhasil melaluinya, bukan menghindari atau justru tidak ingin mencari masalah. Karena yang demikian itu justru mendekatkanmu dengan kegagalan, ibarat orang hidup tapi seperti orang mati karena tidak berbuat apa-apa.

               Pertanyaan-pertanyaan aneh semakin banyak menyambar, tapi ini adalah kapsul kebahagiaan saya untuk tetap berusaha mampu mendapat jawabannya, mengembangkan pikiran mereka, dan membantu mereka melukiskan apa yang ingin mereka ketahui.

               Bisa jadi inilah fungsi penting memberikan mereka pengalaman, Wahid memang tidak menjadi juara Nasional, namun pengalamannya melihat hal yang tidak biasa ditemui cukup memberikan dampak untuk dirinya. Kemenangan hanyalah hal kecil yang menyertai usaha, dan kebahagiaan sesaat. Namun pengalaman adalah kebahagiaan lebih dalam yang akan terus diingat dan memotivasi langkah mereka selanjutnya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua