Memberontak di Jalur Sunyi

Farli Sukanto 20 April 2015

Ia secara berani meragu pada sebuah kebiasaan turun temurun yang telah menjadi warisan leluhurnya. Entah bagaimana penyampaiannya, tapi kemungkinan besar dengan sikap tegas dan tutur penuh tata krama, ia menentang segala makna yang diusung budaya pingit bagi kaum perempuan berdarah Jawa. Di atas nilai-nilai emansipasi bagi para wanita ia berjuang, menawarkan Pendidikan sebagai media yang diyakininya ibarat kunci untuk sebuah perubahan.

Tidak banyak orang yang memilih jalur yang dilaluinya. Karenanya jalur ini sunyi. Perjuangannya pun tidak kalah senyap. Pucuk demi pucuk surat kepada sahabatnya di belahan dunia yang lain mewakili setiap pertanyaan dan keberatan hatinya atas budaya yang disadarinya kian mengungkung setiap tunas-tunas menjanjikan. Dalam sepi, ia membangun dan mewujudnyatakan idealismenya, bahwa setiap orang punya kesempatan untuk membuat serta menjadi perubahan itu sendiri.

Angkat senjata, pada masa itu, menjadi jalur perjuangan utama. Tapi jalur yang ditempuhnya pun tidak kalah penting. Toh tidak semua orang dilahirkan untuk angkat senjata bukan? Ia memahami betul panggilanNya, untuk mengambil bagiannya berkarya di jalur sunyi.

Hingga kini, namanya terasosiasi dengan sosok perempuan paling patriotik dalam hidup saya. Kisah dan cita-cita besarnya untuk bangsa ini senantiasa menginspirasi;

Ia adalah Raden Ajeng Kartini.

***

Kini, seabad lebih tiga dekade telah berlalu, model perjuangannya saya jumpai lagi di sini, di penghujung penugasan saya sebagai Pengajar Muda di pulau terselatan dari republik ini, Rote Ndao.

Hari itu di bulan November tahun lalu, dalam pertemuan pertama kami membicarakan Rote Mengajar, seperti mengumpulkan keping-keping gambar susun, untuk pertama kalinya saya mengenal mereka. Mereka yang sebelumnya hanya saya dengar kisahnya dari catatan penugasan para pendahulu atau celoteh rekan sesama Pengajar Muda sepenempatan. Mereka adalah orang-orang  yang menaruh perhatian pada pendidikan dan kemajuannya serta percaya bahwa pendidikan merupakan satu jalan untuk menjelang terjadinya hal-hal baik di kemudian hari. Mereka yang tidak pernah kenal menyerah membangun sendi-sendi pembangunan pendidikan di negeri ini, dimulai dari lingkungan tempatnya tinggal. Di Indonesia Mengajar, kami menyebut mereka sebagai Juara.

Ruang yang menjadi tempat kami bertemu merupakan aula terbesar yang dimiliki pemerintah daerah Rote Ndao saat itu. Sebesar-besarnya, ia hanya sanggup menampung kira-kira dua ratus orang, itu pun sudah dengan konsekuensi penuh sesak dan kepanasan. Tapi siang itu kami buang banyak ruang. Kami mengawali diskusi tentang Rote Mengajar ini hanya kira-kira bertiga puluh orang saja dengan duduk melingkar di sudut depan aula. Selebihnya, kursi-kursi lipat yang disandar bertumpuk-tumpuk mengelilingi ruangan jadi saksi. Dalam bisunya, mereka menyaksikan bahwa gerakan ini dimulai dari sebuah taruhan besar atas kerinduan yang teramat dalam untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerahnya serta harapan yang terlalu besar untuk membangkitkan harapan-harapan lain.

Kami menanti dimulainya pertemuan. Ada yang sudah hadir dan menunggu, sementara yang lain satu per satu mulai datang.

Terpisah di berbagai sudut ruangan adalah orang-orang muda yang beraliansi untuk kemajuan pendidikan anak-anak di Rote Ndao. Sepak terjang mereka saya kenal dari kisah menghadirkan jendela-jendela baru untuk pulau ini. Gerakan Seribu Buku untuk Rote Ndao begitu tajuknya. Dari sini, mereka mengoleksi kemudian mendistribusikan ribuan buku untuk dusun-dusun yang tersebar dari Barat hingga Timur Rote. Gerakan ini sekaligus menginisiasi berdirinya taman-taman baca yang menjadi tempat bermain sekaligus belajar untuk anak-anak. Kini, adik-adik di atas gunung maupun di pesisir pantai pun bisa tahu apa yang ada di seberang pulaunya sana berkat setiap halaman buku yang mereka baca.

Duduk sendiri di salah satu sudut ruang, saya temukan seorang ibu guru honorer komite di sekolahnya. Ia berasal dari Rote Selatan. Di tengah segala keterbatasan, saya tidak pernah mendapati semangatnya surut untuk berbuat yang terbaik bagi anak-anak didiknya. Beberapa sudut ruang kelas kecilnya di SD Inpres Daepapan memberikan kesan ada begitu gigih usaha menghadirkan metode mengajar kreatif. Ada majalah dinding berhias sajak anak-anak, bak sampah daur ulang, hingga corat-coret karya anak yang dipajang berjajar di dinding. Rumah kecilnya pun dijadikannya taman baca. Mai Manoli (Mari Belajar) seakan bukan sekedar jadi nama rumah belajarnya; itu seruan hati Si Ibu Guru!

Semesta Rote seakan bergaung mendukung awal gerakan ini, hampir setiap kecamatan punya putra-putri terbaiknya yang ambil bagian dalam persiapan menuju hari H. Ada para pendidik anak usia dini yang selalu bersemangat, ada bapak-bapak guru muda alumni universitas di tanah Jawa yang merasa bertanggung jawab atas perubahan di tanah kelahirannya, hingga pembina Persekutuan Anak dan Remaja Gereja.

Lagi yang termuda, ada pemuda-pemudi yang jadi peserta didik di Kemah Pemuda Rote. Entah mengapa, dari tujuh puluhan peserta ada juga yang setia mengekor kami hingga hari itu. Hari ini pun salah satunya tengah menanti menginjakan kaki di ibukota, jadi duta dalam Forum Indonesia Muda ke-17.

Mereka adalah sosok-sosok yang hatinya selalu saja gelisah. Karena hari esok harus dipastikannya lebih baik dari hari ini. Jiwanya selalu tidak puas, kepalanya selalu bertanya, baik tidak pernah cukup karena semua harus lebih selangkah dari sekedar baik. Betapa beruntungnya punya pemberontak yang mengiringi penugasan kami.

Tapi mereka bukan sembarang pemberontak.

Pun tidak seorang dari teman-teman seperjuangan di atas punya wajah garang bak perompak. Mereka semua rapih-rapih, ganteng-ganteng, cantik-cantik, manis-manis.

Tapi urusan mendobrak batas-batas untuk mencapai kemajuan pendidikan jangan harap hati mereka diam manis-manis. Semangatnya boleh diadu dengan demonstran yang seharian jalan berpanas-panas sekaligus berdingin-dingin ria di jalanan ibukota. Keluh kesah pasti ada, kecewa juga senantiasa tersisip di bincang-bincang sore atau malam santai kami. Bedanya mereka tidak menyerukan tuntutan, mereka menyatakan tuntutan mereka sendiri. Jalurnya tidak sengaja dibuat sunyi memang, tapi sepengalaman saya mencoba masuk menempuh jalan mereka, saya rasakan tidak hingar bingar. Dia sepi tapi karyanya pasti.

Mungkin itu sebabnya Indonesia Mengajar menyebut para penempuhnya sebagai Juara. Mereka mengabdi dengan kerendahan hati.

Terima kasih Para Juara sudah menjadikan pengalaman satu tahun ini semakin tidak terlupakan dengan adanya Rote Mengajar. Terima kasih sudah mau sama-sama bertaruh di awal untuk mewujudkan mimpi besar ini. Di tengah jalur sunyi kita, ijinkan saya untuk bisikan ini di telinga kalian:

Kita Menang Taruhan!

 

Terima kasih paling spesial untuk teman-teman relawan yang turut memberontak dan membuat Rote Mengajar kian semarak. Pastikan kita bertemu di kesempatan lain, berbagi segarnya kopi di tengah kota yang ramai sambil merencanakan sesuatu yang lebih seru lagi untuk jalur sunyi kita.

***

Selamat Hari Kartini.

Selamat Hari Emansipasi.

Selamat terus memberontak dan berjuang.


Cerita Lainnya

Lihat Semua