Indonesia Bukanlah Sandwich, Melainkan Nasi Goreng

Sekar Ratnaningtyas 25 Agustus 2012

Kami sedang berada di kapal lambat, menyeberangi Laut Sawu, kembali ke rumah —ke Rote, setelah empat hari pesiar (jalan-jalan red.) di Kupang.Teman-teman sudah mulai terkapar. Namun, mata saya susah sekali dikatupkan, padahal badan sudah sangat lelah. Kalau sedang begini, biasanya buku yang muajarab menjadi pendongeng nina bobok. Maka, saya keluarkanlah sebuah buku —yang baru dibeli di Gramedia kemarin, judulnya "Agama Punya Seribu Nyawa". Saya membaca sambil sesekali mengarahkan pandangan ke luar kapal, ke laut lepas, berpikir dan merenung. Tiba-tiba ada seseorang dstang menghampiri. 

"Permisi mbak, saya lihat mbak baca buku ini sepertinya menarik, dan mbak sedang tidak baca. Boleh saya lihat dan pinjam?"

Kaget bercampur waspada terhadap orang tak dikenal, saya menjawab "Oh sebentar bapak, saya mau baca kok"

"Saya tadi lihat dari (dek kapal) atas, kelihatan judulnya, wah kok kayaknya bagus ini. Bolehkah lihat sebentar?" balas si bapak dengan raut muka penasaran.

Kecurigaan saya sedikit berkurang, saya memindahtangankan buku itu kepadanya setelah saya memberi batas halaman baca. Dia mengambil posisi duduk di hadapan saya. Kami pun berbincang-bincang.

Bapak itu bernama Ardi Lai, seorang pendeta di desa Oelau, Rote Barat Laut. Mengetahui pendeta saya jadi kurang enak karena buku tersebut adalah buku pengetahuan Agama Islam. Namun, di luar dugaan, ternyata dia sangat terbuka. Sejak kuliah di UKDW Jogja, dia sering berinteraksi dan berdiskusi lintas agama. Sampai sekarang pun dia aktif berhubungan dengan lembaga masyarakat maupun komunitas-komunitas yang ada di Rote dan Kupang. Saya jadi tahu bahwa ternyata banyak sekali masyarakat yang tergerak untuk melakukan sesuatu di sini. Ada KAMMU (Komunitas Anak Muda Rote Ndao), KOAR (Komunitas Akar Rumput), Geng Motor iMut, dan PIKUL 'Lingkar Belajar Komunitas Bervisi'. PIKUL ini beberapa bulan yang lalu mengadakan pelatihan untuk kelompok-kelompok usaha di NTT. Kebetulan, salah satu peserta workshop itu adalah Mama Elis, mama asuh saya.

Kepeduliaan Bapak Ardi terhadap pendidikan juga tinggi. Beliau pernah menjadi guru di SD, SMP, dan SMA, tetapi memutuskan untuk berhenti. Menurutnya, beban kerja guru (khususnya SMP dan SMA) untuk meluluskan anak muridnya 100% dapat mengurangi esensi mengajar itu sendiri. Dalam waktu dekat, dia berencana membuka taman bacaan di Oelua. Tampaknya dia mencari jalan yang lain supaya tetap bisa berperan dalam mencerdaskan anak bangsa :)

Meskipun sudah malang melintang di berbagai bidang, caranya berbicara tidak menggurui, malah bertutur dengan rendah hati. Dia juga menunjukkan respek terhadap Indonesia Mengajar, terhadap Anies Baswedan. Ada sepotong pembicaraan yang lekat dalam memori, juga lekat di hati.

"NTT ini termasuk dalam 7 daerah di Indonesia yang rawan konflik. Saya boleh usul, ini silakan nanti bisa diikuti atau tidak, ada semacam pendidikan perdamaian. Dulu kan masuk PMP, tapi sekarang sudah tidak ada pelajaran itu."  

Saya menimpali, "Sejauh ini yang saya lihat secara umum toleransi di sini (Rote), khususnya di tempat saya, Pantai Baru, cukup baik. Mungkin bapak yang sudah lama mengenal daerah ini, lebih tahu, di bagian mana ya yang perlu menjadi perhatian khusus?"

"Ini tidak hanya soal toleransi, tetapi pemahaman yang mendalam tentang keberagaman. Kalau kita ibaratkan, roti yang ditumpuk-tumpuk ... apa itu namanya, san-wic?"

"Sandwich, bapak..."

"Ya itu dia, Indonesia bukan sandwich. Yang mana ada roti, daging, dan sayur ditumpuk-tumpuk, tetapi masih terlihat to, rotinya, dagingnya, sayurnya, dan bisa diambil isinya satu per satu. Indonesia itu nasi goreng. Ketika semua bumbu sudah dicampur dengan nasi, dimasak, jadilah nasi goreng yang lezat. Dan bumbu-bumbunya tidak bisa diurai lagi. Begitu juga dengan bangsa kita. Bhinneka Tunggal Ika."

Saya mengangguk setuju, terkagum.

Kami melanjutkan perbincangan seputar hobi. Dia gemar membaca buku. Koleksi bukunya beragam. Kami pun berencana saling bertukar bacaan. Di akhir perbincangan, dia menyodorkan majalah 'Inisiatif', sebuah majalah terbitan Perkumpulan PIKUL. Majalah ini sebagai media berbagi pembelajaran, pengalaman, dan informasi untuk mempelajari Asset Based Approach - Appreciative Inquiry bagi perubahan sosial. Dia memberikan majalah itu untuk dua edisi untuk masing-masing kami bersembilan. Tidak disangka, dari satu buku yang (katanya) menarik perhatian berbuah delapan belas majalah. 

Akhirnya saya tetap terjaga selama empat jam perjalanan. Ini sebuah prestasi, karena biasanya saya mudah sekali terlelap dan menghindari berbasa-basi terlalu panjang. Ini memang bukan basa-basi, tetapi perbincangan yang berarti.

Saya rasa, saya baru saja menemukan sebuah lilin yang menyala :')

Cerita Lainnya

Lihat Semua