info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Ikan, Mari Makan Umpanku

UUN TSANI YUDANTI 23 Agustus 2012

“Mari sini nona, dekat-dekat oma..” teriakan itu terdengar kecil ditengah suara angin dan air laut. Sambil terus melempar kail, oma yang sudah renta ini tak berhenti menengok ke arahku yang jaraknya cukup jauh darinya. Siang ini fisik saya kalah dengan seorang nenek yang sudah cukup renta. Tubuhnya yang kecil terus saja bergerak meninggalkan saya jauh di belakang, heem ketika menengok ke pantai saya baru sadar jauh juga saya berdiri di tengah laut. Tuhan, saya rasa ini cukup berbahaya, bagaimana jika tiba-tiba air pasang?

Siang itu seperti yang sudah kami rencanakan, di tengah terik matahari saya dan oma Mui berangkat memancing di laut. Oma Mui, wanita berusia hampir kepala enam ini, menurut ceritanya sangat ahli memancing. Setiap pergi memancing, puluhan ikan selalu dibawanya pulang. Saya mencoba merayu untuk bisa ikut memancing. Tanpa pikir panjang, beliau mengiyakan, dan berangkatlah kami siang ini bersama dua muridku Yessi dan Emi.

Oma Mui adalah wanita tua yang tinggal bersama Mama Melambessi mama angkat saya di desa. Beliau sangat luar biasa, dengan segala keterbatasannya beliau tak pernah mengeluh sedikitpun. Sebelum tinggal bersama keluarga Mama Melambessi beliau tinggal sendiri karena suami sudah meninggalkannya puluhan tahun silam, sedangkan anak-anaknya meninggal dalam perjalanan laut Ambon- Saumlaki , kapalnya tenggelam di tengah laut. Meskipun begitu, semangat hidupnya masih begitu hebat mengeluh pun hampir tak pernah saya dengar.

Oma terus saja mengajakku berjalan di tengah laut, ketinggian air sekitar sepaha orang dewasa, cukup berat berjalan di tengah air setinggi paha dan diantara batu karang yang kadang menyakiti kaki saya. Tetapi oma, dengan gesitnya berjalan di depan padahal hanya menggunakan sandal jepit saja. Karena kami berada di kepulauan jadi gelombang dan ombakpun tidak besar, tidak pernah saya bayangkan sebelumnya saya bisa berjalan jauh di tengah laut begini, bayangkan saja kalau di Pantai Parangtritis (Jogjakarta), dekat-dekat dengan bibir pantai saja sudah dilarang. Tetapi memang kondisi geografisnya sangat berbeda, karakteristik lautnya pun juga beda.

Kail mulai kulempar, “cepluk..” mata kail jatuh tak jauh dariku. Oma menertawakan saya keras-keras, sambil mendekat dan mengajari bagaimana menggulung tali pancingnya. Jangan dibayangkan memancing dengan alat pancing modern, bisa gulung otomatis. Tetapi ini beda, tali hanya dibelitkan di botol aqua bekas, sehingga perlu tenaga ekstra untuk melempar atau menggulungnya kembali. Apalagi untuk saya yang masih amatiran.

Saya masih terus menunggu ikan memakan umpan saya. Sesekali saya berkata dalam hati

"Ikan, mari makan umpanku"

Ahk tapi tak juga ada yang mendekat. Dari kejauhan saya  menengok ke arah Oma Mui yang selalu teriak gembira ke arahku ketika mendapat ikan, entah sudah berapa puluh ikan hasil pancingannya yang ditunjukkan padaku. Makin lama iri juga saya melihat oma dengan banyak ikan yang di dapat. Ketika saya hampir putus asa, tiba-tiba tali pancing yang kupegang bergerak-gerak. Kutarik kencang dan seketika saya berteriak, “Oma, ikan.., saya dapat ikan” selesai berteriak, seketika itu pula, ikan tersebut berhasil lepas dari mata kailku. Oma kembali menertawakan saya. Huuft.. ya sudahlah memang belum rejeki. Saya pun kembali memancing, beberapa kali umpanku saja yang berhasil di makan ikan, tetapi tak satupun ikan yang tersangkut di pancingku.

Dua jam sudah kami berada di air, karena air semakin surut, oma terus saja berjalan ke tengah mencari tempat yang agak dalam. Takut juga membayangkan apabila tiba-tiba air pasang ketika masih di tengah begini. Karena menurut cerita oma, beliau pernah pulang dengan berenang karena air pasang. Lah, bagaimana dengan saya jika itu terjadi?

“Oma, bagaimana kalau air tiba-tiba naik? Sudah oma kita pancing di sini sajalah, Oma jangan pergi ke tengah lagi, bahaya” teriakku pada oma. Mendengar saya, oma justru tertawa lepas sambil berteriak  “air meti, seng mungkin naik”. Meti itu berarti air sedang surut, kalau sudah surut begini, air jadi sangat dangkal.

Saya pun menengok ke arah pantai, jauh sekali, bahkan suara Yessi dan Emi yang sedari tadi bercanda di pantai mulai tak terdengar lagi. Cukup, saya rasa ini terlalu jauh, akhirnya saya memutuskan untuk ke darat, sedangkan oma masih saja asyik melempar kail. Saya berjalan ke pantai dan sekitar 25 menit barulah saya sampai, cukup jauh bukan?

Satu jam kemudian, Oma Mui pun tampak pulang. 26 ekor ikan berhasil dipancingnya, sedangkan saya hanya berhasil memancing 1 ekor saja. Oma kembali menertawakan saya karena hanya 1 ekor saja yang saya dapat.

" Heem baiklah oma, lain kali kitapergi pancing lagi ya, tidak mau beta kalah dengan oma"

Oma tersenyum sambil mengangguk.

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua