info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

We Hold on to Something Utopist

Sekar Nuswantari 12 Desember 2010
Kita semua, baik secara sadar ataupun tidak, berpegang pada sesuatu yang utopis. Sesuatu yang bahkan sulit untuk dilihat secara nyata. Menurutku ini berlaku untuk hal apapun yang sedang kita hadapi. Tak ada orang yang tak memiliki alasan dalam melakukan sesuatu. If u confuse of what you’re doing now, seek further, because there has got to be something behind Di akhir masa pelatihan Pengajar Muda, aku sempat meragukan apa yang sedang aku kerjakan. What the hell am I doing here? Dan tiba-tiba semua terasa begitu berat dan menakutkan. Entah hanya aku sendiri, atau para Pengajar Muda lain ada yang merasakan hal yang serupa. Dari hasil obrolan dengan beberapa kawan, ternyata banyak dari mereka merasakan hal itu. Tiba-tiba kami merasa, apa yang begitu kami inginkan pada awalnya, mengabdi di pelosok negeri selama satu tahun, terasa terlalu cepat datang. Kami ingin bilang bahwa kami butuh waktu lagi untuk menyiapkan diri. Tujuh minggu, hanya itu yang kami punya untuk menyiapkan diri sebelum kami diturunkan ke pelosok. Untuk menguatkan diri, aku ingat-ingat lagi, apa tujuan awal aku ikut Indonesia Mengajar ini. Bukan untuk mencari pekerjaan, karena sebelumnya aku sudah bekerja di tempat yang amat sangat nyaman. Bukan karena aku suka anak-anak, because to be honest, I don’t love kids. I don’t hate them, I just treat them as people, not cute little kids like most of my friends do. (heheh..). Aku pikir, alangkah beruntungnya teman-teman Pengajar Muda yang memiliki ikut Indonesia Mengajar dengan kedua alasan di atas. Jika mereka hanya melihat ini sebagai pekerjaan, well, kerjakan apa yang ada sebaik mungkin. Tidak usah pikirkan yang lain. Jika mereka ikut karena mereka cinta anak-anak, maka sangat beruntunglah mereka. Di pelosok kami akan bertemu dengan murid-murid SD kami, setiap hari. “Pekerjaan” ini akan terasa sangat mudah jika kita pada dasarnya mencintai anak-anak. Setelah ditelusuri, yang aku dapat adalah jawaban yang utopis. I’m here to serve my nation. Sangat utopis bukan? Akupun tidak puas akan jawaban itu. Namun, dari hasil obrolan dengan salah satu Pengajar Muda, Rahmat Danu Andika, setiap orang pasti punya jawaban utopis akan keberadaan kami di sini. Apapun bentuknya. Dan, secara sadar atau tidak, kami berpegang pada sesuatu yang utopis tadi. Tepat pada hari yang sama setelah pembicaraan tadi, pihak IM mengundang seorang pembicara yang sangat luar biasa. Iwan Abdurrahman. Salah satu pendiri Wanadri. Anggota GDN (Garis Depan Nusantara) dan 7 Summit (ekspedisi penjelajahan tujuh puncak tertinggi di Indonesia). Dan tak lupa, seorang musisi (pencipta lagu Mentari). Beliau sangat inspirasional. Banyak dari para Pengajar Muda yang sangat mengagumi beliau. Beliau banyak memberikan pencerahan bagi kami sesaat sebelum kami diberangkatkan. Beliau berkata, segala bentuk perjuangan yang beliau lakukan untuk bumi nusantara, adalah karena beliau kasmaran terhadap Indonesia. Dan yang akan kami lakukan nanti di pelosok adalah bukan pengorbanan, tapi kehormatan. Semua perasaanku, tergambar dengan sangat baik dalam lagu yang terakhir beliau bawakan untuk kami. Judul lagunya Doa. Ini liriknya : Tuhan.. Ini kami berkumpul Merenungkan arti hidup kami yang terisi Sedikit niat bakti bagi sesama yang dalam kegelapan Tuhan… Teguhkan hati kami yang punya niat tulus Dan juga saudara kami yang dalam kegelapan Tabahkanlah, dan teguhkan imannya Tabahkan hatimu, Tuhan selalu dekatmu Sinar terang kan datang bagi orang yang tabah Amin.. Ya Rabbalamin..

Cerita Lainnya

Lihat Semua