info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Tidak Ada Anak Yang Bodoh

Sekar Nuswantari 12 Desember 2010
Tidak ada anak yang bodoh, kalimat itu aku kutip dari buku Sekolahnya Manusia, karangan Munif Chatib. Beliau pernah datang untuk menyampaikan materi di pelatihan IM kemarin. Bapak Munif Chatib adalah seorang CEO, juga konsultan pendidikan, yang dengan berani menerapkan sekolah berbasis multiple intelligence di Indonesia. Konsep multiple intelligence (MI) atau kecerdasan majemuk adalah suatu konsep yang dicetuskan oleh Howard Gardner, yang meredefinisi arti kecerdasan. Coba, jika pembaca mendengar kata anak cerdas atau pintar, apa yang pertama muncul di pikiran? Anak yang jago Matematika atau anak yang pintar science. Tapi, bagaimana dengan anak yang lemah di aspek logika matematisnya , namun sangat aktif bergerak atau sangat menyenangi musik? Biasanya dengan gamblangnya kita akan menyebut anak-anak itu sebagai anak yang nakal dan bodoh. Kita begitu terbiasa dengan bentuk tipe kecerdasan yang hanya mengutamakan aspek logis, sehingga kita sering mengebiri potensi anak yang sesungguhnya agar mereka sesuai dengan bentukan pendidikan kita yang kolot. Tingkat kecerdasan kita diberi label angka yang dihasilkan oleh tes IQ, yang dibuat oleh Alferd Binet pada tahun 70an. Hasil dari tes IQ bukannya salah, namun hasilnya kurang dapat menggambarkan kecerdasan seseorang secara holistik. Tes IQ sebenarnya adalah tes yang menghubungkan faktor keturunan dengan kecerdasan seseorang. Selain itu, tes IQ tidak mengukur tingkat kecerdasan yang lain, sebagian besar hanya dalam ranah kognitif saja. Padahal, selain keturunan, faktor lingkungan juga sangat berperan dalam perkembangan kecerdasan seseorang (Dmitriev, Ph. D., Valentine dalam Chatib : Sekolahnya Manusia hal 73). Menurut MI, ada sembilan tipe kecerdasan hingga saat ini. Dan bahkan mungkin akan berkembang lagi, karena pada dasarnya kecerdasan anak selalu berkembang. Kesembilan tipe kecerdasan itu antara lain spasial, linguistic, logika-matematis, kinestetik, musical, interpersonal, intrapersonal, naturalis dan existensial. Setiap anak pasti memiliki minimal satu tipe kecerdasan yang menonjol. Konsep yang harus dipahami adalah, asah tipe kecerdasan yang menjadi kekuatan dan kubur tipe kecerdasan yang menjadi kelemahan anak. Sebagai contoh, daripada memaksa seorang anak untuk menjadi fisikawan padahal anak tersebut lemah di bidang tersebut, asah terus bakat linguistiknya agar suatu saat dapat menjadi penulis handal. Konsep MI yang dapat diaplikasikan dalam dunia pendidikan adalah, bagaimana cara guru dapat memanfaatkan tipe kecerdasan dari masing-masing anak. Tiap anak memiliki tipe kecerdasannya sendiri, sehingga gaya belajarnya pun berbeda-beda. Tiap anak memiliki jalan masuk ilmu nya sendiri. Anak dengan kecenderungan kinestetis, tentu tidak bisa duduk diam dengan manis mendengarkan guru berceramah di depan. Begitu juga sebaliknya. Gaya belajar siswa sebaiknya perlu diketahui oleh para guru. Agar guru dapat menyesuaikan gaya mengajarnya dengan kecenderungan jalan masuk ilmu murid-muridnya. Hal tersebut akan sangat bermanfaat, karena selain murid akan dapat dengan cepat menyerap materi yang diberikan, proses kegiatan belajar akan terasa sangat menyenangkan bagi murid. Penerapan konsep MI ini bukan berarti dapat dengan mudahnya diterapkan. Guru tidak dapat hanya duduk di kelas berceramah dan memberikan tugas. Tapi guru dituntut untuk kreatif dalam setiap pertemuannya. Setelah membaca buku ini, aku semakin tertarik untuk mendalami aplikasi dari MI ini dan ingin sekali menerapkannya di sekolah. Ketika pertama kali masuk ke kelas 5, kelas yang akan aku pegang semester 2 nanti, aku sudah membayangkan tipe kelas macam apakah mereka. Sekumpulan anak hiperaktif yang tidak pernah mau duduk diam. Selalu ingin bicara dan menjawab. Selalu ingin membuat gaduh, berlari-lari dalam kelas dan tidak jarang mengganggu murid yang lain. Satu hal yang terbersit, kinestetis. Setelah beberapa kali aku masuk kelas 5, ternyata mereka juga sangat suka hal-hal berbau seni, terutama menggambar. Oke, mungkin spasial visual dapat menjadi alternatif. Selain guru, menurutku orang tua juga sebaiknya mengetahui tentang konsep MI. agar para orang tua dapat mengetahui tipa kecerdasan anaknya agar dapat mencapai kondisi terbaiknya sedini mungkin. Last but not least, if you think your kids, students, niece, nephew or whoever, are stupid. Think again. Maybe it’s us who don’t understand the best way for them to learn.

Cerita Lainnya

Lihat Semua