Sahur Kegelapan

Sazkia Noor Anggraini 19 Agustus 2011

 

Mari kuceritakan sedikit saja dari banyak yang ingin kubagi saat Ramadhan di perantauan. Aku ingin bercerita dari negeri seberang tentang betapa berbeda, janggalnya, hingga sampai pada akhirnya menyenangkan rasanya berpuasa di tengah suasana yang jauh dari biasanya.

Ritual puasaku dimulai dari saat sahur. Aku sengaja memasang dua alarm di kamarku. Bunyinya mungkin bisa membangunkan semua orang di rumahku. Tapi cara ini terbukti efektif membangunkanku di tengah gulitanya pulau karang saat dini hari. Tidak ada tayangan sahur yang menemani, apalagi teman berbagi kantuk dan tugas memasak. Tidak ada bunyi kentongan, suara pekikan “sahur...sahur...” dari masjid, apalagi adzan subuh dari TOA yang jadi tanda seluruh umat untuk memulai puasanya. Satu-satunya teman sekaligus tanda buatku adalah radio RRI Pro 1 Tahuna yang menyiarkan tilawatil Qur’an. Setiap pagi, Bupati Winsulangi Salindeho dan Jabes E. Gaghana wakilnya selalu menyapaku dan menyampaikan selamat berpuasa. Dalam hati, aku bersyukur setidaknya Pak Bupati, pimpinan tertinggi tempatku mengabdi kini seakan menyulut hati dengan cahaya di tengah sahur kegelapan.

Tunggu sebentar, aku belum cerita banyak tentang sahur kegelapan kan? Sahur di Pulau dengan 1000 lebih jumlah penduduk yang beragama Kristen Protestan ini memang sangat gelap. Ketiadaan listrik dengan alasan perhitungan keuntungan di pulau terpencil membuat program seribu sambungan listrik milik perusahaan listrik satu-satunya di negeri ini menjadi hanya sekadar jargon. Praktis, sebagai satu-satunya orang yang berpuasa, kegelapan, kesepian, dan kedinginan harus dihadapi sendiri. Jadi, sahur kegelapan bukan hanya jargon, tapi memang benar-benar gelap.

Paginya seperti biasa, aku punya jadwal piket guru jaga di hari Senin dan Kamis. Sudah beberapa minggu yang lalu, kami para guru sepakat untuk menyediakan snack dan minum pada jam istirahat. Itu artinya, tugas guru jagalah yang harus mempersiapkannya, memesan kukis[1] dan membuatkan minum kopi dan teh. Awalnya semua guru bingung kenapa aku memilih tetap berpuasa di tengah tugas kami yang tidak berkurang. Jam belajarpun dilaksanakan tetap dari jam 07.30-12.30. Semua orang yang tahu kalau aku menahan makan dan minum selalu berkata “Oh, pirua...Encik puasa[2]. Beberapa orang bahkan juga memberikan ide untuk batal puasa. Panasnya udara dan banyaknya tugas –aku dianggap terlalu banyak bekerja karena memberikan les sore dan juga malam- mereka jadikan alasan untuk mempertimbangkan ide tersebut.

Saat sepulang sekolah, papak[3] angkatku selalu lupa kalau aku berpuasa dan seringkali mengajakku makan, “Wawu, mahi ko kumang!” [4]. Aku cuman tersenyum sambil meliriknya, “Papak, aku puasa, selamat Jo!”[5]. Waktu itu, menolak ajakan makan siang di tengah panas yang terik begitu beratnya. Pas-pas hari itu adalah jadwalku mengajar dari SMP. Nah, cerita mengajar di SMP ini lebih seru lagi.

Aku nekad dan niat bulat tetap puasa meski harus berjalan naik turun bukit lalu susur kebun selama satu jam menuju tempatku mengajar di SMP. Nama SMP itu keren sekali, SMP Negeri Satap Tatoareng. Satap itu kepanjangan dari Satu Atap. Artinya, SMP ini sebenarnya merupakan anak dari SDN Kalama tempatku mengajar. Layaknya anak yang tinggal satu atap, pembangunan SMP ini pun diinduki oleh stakeholder SDN. Pulau ini mendapat bantuan dari pemerintah kabupaten untuk bisa merasakan tingginya pendidikan barang satu tingkat sampai SMP. Harapannya, setelah menamatkan tingkat SD murid-murid bisa langsung menempuh pendidikan wajib sembilan tahun di SMP ini. Tapiii...untuk menuju SMP yang berada di Kampung Apenglawo, kampung sebelah dari tempatku tinggal bukanlah mudah. Awalnya, waktu yang kubutuhkan mencapai satu jam, karena butuh beberapa menit mengambil nafas. Dua kali (sungai kecil) harus kulewati, hamparan kebun cengkih dan pala, sampai pohon kelapa tinggi-tinggi yang akarnya membuat jalan licin sehabis hujan. Nah, intinya perjalanan naik turun ini cukup membuat kerongkonganku kewalahan menahan haus dan panas membuatku basuar[6]. SMP ini sangat memprihatinkan. Pertama karena kekurangan guru, dua orang guru dari daratan (sebutan orang Sangir untuk Pulau Sangir Besar) adalah berlatar guru pendidikan jasmani. Mau tidak mau mereka lah yang mengajar semua mata pelajaran di SMP. Satu orang lagi hanya seorang lulusan SMK yang berbaik hati merelakan waktunya menjadi tenaga honor di SMP. Dengan hanya tiga guru dan Kepala Sekolah yang tidak pernah mengunjungi sekolahnya, aku jadi merasa “lebih” berguna karena kedatanganku mengajar Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia menjadi semacam angin segar di tengah para guru yang terus-terusan mengeluh. Sekolah ini juga sedang terbelit kasus. Sekarang, guru-guru berkantor di gudang di sebelah WC sekolah karena sudah lebih dari empat bulan kantor sekolah disegel. Semua administrasi sekolah, buku dan alat peraga harus diambil lewat jendela oleh murid-murid. Alasannya klasik, pembayaran tanah di mana kantor tersebut berada belum lunas. Bahkan, posisinya yang menjorok ke dalam ditengarai melanggar batas perjanjian yang telah ditentukan.  

Hari ibadah adalah hari yang sibuk. Saat lonceng sudah berbunyi itu artinya smemua orang harus bersiap untuk beribadah. Ibadah kolom di hari Kamis dan Minggu, Ibadah Pelka (kaum) Perempuan hari Jumat, dan Ibadah pemuda di hari Minggu. Rangkaian ibadah ini kadang kulewatkan tapi lebih sering kudatangi untuk ‘melibatkan’ diri dengan masyarakat. Hal yang paling terasa saat beribadah (bukan beribadah tarawih atau sholat subuh berjamaah) pada saat puasa adalah merasakan rasanya menjadi minoritas. Biasanya setiap selesai ibadah, semua jemaat akan disuguh dengan kukis dan teh. Kukis ini menjadi kemewahan bagiku yang senang ngemil. Melewatkan kukis sama saja dengan melewatkan a doze of happiness (istilahku untuk kesengan kecil yang membesarkan hati). Semua jemaat akan menyantap kukis setelah beribadah sambil menatapku penuh kasihan karena puasa.

Di sore hari, saat di mana les berlangsung adalah hal tersulit dan terberat yang harus dilewati. Menahan dua nafsu utama puasa, marah dan makan minum. Kondisi yang kelelahan dan kerongkongan yang sangat kering mungkin bisa diatasi dengan pengalihan perhatian. Tapi untuk menahan amarah dengan anak-anak yang bertingkah kasar, seenaknya, tidak sopan, dan sangat ribut hingga mengganggu temannya sangatlah pekerjaan yang tidak mudah.  

 

 

[1]Kukis adalah bahasa sehari-hari orang Sangir untuk kue atau makanan kecil. Kata ini diserap dari “cookies” dalam Bahasa Inggris. Pengaruh ini datang saat kedatangan misi Zending Belanda di tanah Sangir.

[2]Bahasa Sangir yang artinya “Oh, kasihan..guru muda sedang puasa”

[3]Papa atau Bapak

[4]Bahasa Sangir yang artinya “Anak perempuan (panggilan sayang-sayang), mari kamu makan”

[5] Bapak, aku kan puasa, silahkan Bapak saja..

[6] Bahasa Sangir yang artinya berkeringat


Cerita Lainnya

Lihat Semua