Catatan Kekaguman Guru kepada Muridnya : Si anak Perjuangan
Sazkia Noor Anggraini 29 Januari 2012-Mapedu (marah-Bahasa Sangir), Keras Hati, dan Hebat- adalah tiga kata kunci yang menggambarkan Juan, si anak perjuangan. Mamanya memberi nama Juan. Ia dipanggil Juang, karena orang Sangir biasa membaca huruf akhiran –n dengan –ng. Konon, Juan lahir saat perjuangan mempertahankan hak orang Pulau Kalama untuk tetap secara mandiri mengelola potensi sarang burung walet di kampung ini. Mama Juan juga menginginkan anak ini untuk terus berjuang dalam hidupnya. Padahal nama aslinya adalah Jovandris Makawewe.
Juan juara kelas setelah tidak naik kelas semester lalu. Sebuah lompatan yang begitu luar biasa bukan? Itulah sebabnya mengapa aku butuh menceritakannya. Juan pernah jatuh dari pohon cengkeh saat masa panen raya cengkeh. Maklum, pulau ini adalah salah satu penghasil cengkeh tersohor se-Sangir. Jatuhnya Juan dari pohon cengkeh membuat tulang tungkai kakinya patah. Hingga kini kejadian itu mengganggu pertumbuhannya. Untuk anak berumur 13 tahun , tubuh Juan lebih kecil bahkan dibanding teman lainnya yang berumur 10 tahun. Juan kecil ini seringkali tidak masuk kelas tahun ajaran lalu. Hal ini membuatnya kehilangan banyak momen ulangan dan juga kehilangan nilai. Juan bersama-sama Ongki teman sekelasnya dinyatakan tidak naik kelas pada tahun ajaran ini. Hal ini membuat formasi kelas 6 sekarang hanya 3 orang dan semuanya perempuan.
Juan adalah anak yang istimewa buatku. Di awal kelas 5 saat perkenalan, Juan telah menarik perhatianku karena waktu diminta membaca. dia terbata-bata seperti murid kelas 2 SD. Tapi luar biasa waktu kusodorkan kertas, dia menulis banyak hal (meski tidak runut dan terstruktur). Sesuatu yang diluar kebiasaan, tidak bisa membaca tapi pandai menulis. Dari tulisannya juga kutahu bahwa dia anak yang matang, setidaknya dibanding teman-teman sekelasnya. Umur Juan ternyata sudah lebih besar dibanding yang lain. Ada jarak 3 tahun lebih tua Juan dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya. Juan sangat antusias setiap pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris yang kuampu. Juan adalah anak yang dicap bodoh tapi tidak sama sekali terlihat begitu buatku.
Catatan profil dan penilaian Juan dari hari ke hari tidak menunjukkan bahwa dia pantas tidak naik kelas. Juan mengerjakan pekerjaan rumah, membaca cerpen yang harus dibawa pulang, dan menjadi satu-satunya anak lelaki saat les di mana anak laki-laki lain bermain bola saat jam les tiba. Juan menunjukkan performa-performa positif buatku. Bahkan, waktu ada pemilihan dua orang dari 10 anak yang merupakan tim video KWN (Kids WItness News-sebuah ajang kompetisi video tingkat global- di mana SDN Kalama terpilih menjadi 10 besar finalis KWN Indonesia) untuk pergi ke Jakarta, Juan adalah kandidat terkuat. Entah “racun” apa yang membuatnya jadi anak unggulan setelah benar-benar “terpuruk”.
Juan adalah satu-satunya anak yang paling mengesankan saat pelajaran Bahasa Indonesia mengenai wawancara. Saat itu, kami sekelas 5 mengadakan simulasi wawancara. Ada sebuah adegan wawancara yang kubuat semirip mungkin dengan kondisi di kampung. Ada yang berperan menjadi pencuri sarang burung walet dan menjadi polisi penyidik, ada yang menjadi Kapitalaung (Kepala Desa) dan Ketua Lindongan (seperti ketua RW), bahkan ada yang menjadi wartawan dan narasumber. Saat itu Juan bersikeras ingin berperan menjadi Kapitalaung. Baru beberapa waktu kemudian, di dalam sebuah tulisannya tentang cita-cita baru kutahu ia ternyata bercita-cita menjadi Kapitalaung yang jujur, tidak korupsi dan membuat Kalama menjadi kampung yang sejahtera. Sebuah cita-cita yang terlihat “muluk” buat anak seumurannya. Lagi-lagi aku dibuat tersenyum oleh si anak perjuangan.
Juan adalah kameraman video kompetisi KWN buatan sekolah kami, “Sarang Walet Kebangganku”. Tanpa kudaulat, secara natural dia menjadi pemimpin bagi teman-teman satu timnya. Meski tidak hanya Juan yang memiliki kemampuan memegang kamera, tapi dia secara tidak sengaja mengajarkan teman-temannya dan menyerahkan banyak tanggung jawab kepada teman lainnya dalam tim. Jadi, waktu ada undangan kedua kalinya pergi ke Jakarta untuk menghadiri National Ceremony KWN, kesempatan ini lagi-lagi diberikan kepada Juan. Kali ini untuk hadiah atas kerja kerasnya.
Mengenai tiga kata kunci di atas, akan kujabarkan dari yang paling terlihat dari Juan lewat ceritaku sebelumnya. Ia memang hebat. Hebat karena berhasil “mengalahkan dirinya sendiri”. Dari begitu banyak keterbatasan dan kegagalan Juan berhasil mencapai puncak dengan signifikan. Katanya, untuk mencapai keberhasilan, orang harus berada pada titik terendah dulu untuk kemudian tersadar dan bangun dengan resolusi baru. Mungkin Juan adalah salah satunya. Ia bukanlah siapa-siapa sebelum kejadian pohon cengkeh. Tapi menjadi kebanggaan sekolah setelah pulang dari Jakarta.
Aku ingat benar, waktu itu aku berjanji akan memberikan hadiah bagi murid yang membuat karangan paling bagus. Juan adalah penerima hadiah itu. Hadiahnya berupa kumpulan cerpen dari Majalah Bobo. Tepat sore hari setelah ia menerima hadiah itu, Juan duduk di depan kios rumahnya sambil khusyuk membaca kumpulan cerpen yang baru saja diterimanya. Sementara, lagi-lagi teman-teman lainnya bermain bola di pantai yang jaraknya hanya lima meter dari rumahnya.
Juan keras hati terhadap dirinya sendiri juga bagi orang lain. Juan menolak hal-hal yang tidak adil untuknya. Ia adalah anak kecil paling konsisten yang pernah kutahu. Waktu ia dikenakan denda sebesar Rp. 2000,- karena membuang sampah bungkus gula-gula sekaligus membiarkan sampah kacang tidak diambil, esoknya tanpa ditanya ia langsung menyerahkan padaku uang itu. Juan memang kasar tingkah lakunya. Ia tidak peduli lawannya kecil atau besar, jika ia tahu itu tidak benar pasti langsung diprotes. Kadangkali protesnya terlalu berlebihan hingga menggunakan kekerasan. Juan tahu aku tidak suka kekerasan dan langsung menerima hukuman apapun yang kuberikan kepadanya, meski kadang bersungut-sungut tapi hal tersebut tidak bertahan lama. Jika ada hal yang tidak bisa dilakukannya, ia akan mencari tahu bagaimana melakukannya dan bekerja sangat keras melampaui kemampuannya. Jika akhirnya ia gagal, ia marah terhadap dirinya sendiri.
Ya, Juan memang gampang marah. Mudah sekali tersulut oleh hal-hal kecil. Hari ini Juan tidak marah, tetapi kemarin marahnya jadi boomerang baginya. Juan bilang jadwal hari Senin diganti dengan hari Selasa. Padahal tidak ada konfirmasi dari wali kelas 5 mengenai penggantian jadwal. Aku yang hanya guru mata pelajaran ya manut jadwal. Ternyata, tidak semua murid menerima, termasuk Juan. Ia bersikeras bahwa jam pelajaranku harusnya sudah dipindah ke hari esok. Menghadapi kemarahan yang brutal, aku pun tegas berkata “silakan keluar bagi yang tidak mau belajar!”. Juan langsung keluar tanpa bantah. Membawa semua bukunya tapi tidak pulang, ia menunggu di luar samapi jam mengajarku selesai untuk berdoa bersama lalu berjabat tangan sebelum pulang. Saat yang lain “mengkerut nyalinya” waktu diberi ketegasan, Juan dengan sukarela mengikuti keras hatinya. Kemarahan Juan memang yang paling tidak bisa diprediksi. Ia seringkali mutung (bahasa Jawa dari kecewa yang mengakibatkan keengganan) karena hal-hal kecil di dalam kelas, misalnya yang paling lucu adalah saat dia menganggapku pilih kasih. Kalau sudah begitu, ia enggan mendengarkan semua perkataanku, mogok mengerjakan tugas dan hanya tiduran di atas mejanya. Aksi keluar kelas karena marah pun bukan sekali dua kali dilancarkannya.
Dari semua kata kunci itu, Juan tetaplah bocah tiga belas tahun yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Larinya terhenti karena kejadian yang telah “menjatuhkannya” tapi bukankah tidak ada kata terlambat untuk belajar? Juan adalah sebuah contoh kisah sukses. Mungkin hanya satu berbanding empat puluh delapan muridku yang lain. Tapi cerita ini membuktikan bahwa ada kesempatan untuk “melompat”. Ada peluang dan jalan bahkan tanpa perlu kita cari atau ciptakan karena memang semuanya sudah jelas di depan kita. Take it, or leave it?
Cerita Juan ini mungkin dianggap terlalu ideal, tapi bukan bualan. Membuktikan bahwa seorang anak di Kampung Kalama –pulau yang hanya punya luas 8 km2 di sebuah wilayah terujung dari Indonesia- bisa punya success story (setidaknya buatku), bahkan di usianya yang baru tiga belas tahun. So, now your turn to make your own!
Untuk “Juan si Mulut Besar” :p
*Catatan seorang guru yang mengagumi muridnya. Sazkia Noor Anggraini, Pengajar Muda Gerakan Indonesia Mengajar | Pulau Kalama, Kab. Kepulauan Sangihe.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda