Pulau Florida, Bukan Flores !

Sazkia Noor Anggraini 8 Januari 2012

Semua cerita berawal dari kabar menggemparkan di SDN. Kalama. Untuk pertama kalinya, siswa sekolah ini diundang jauh sekali hingga ke Jakarta karena terpilih sebagai sepuluh besar finalis KWN (Kids Witness News) 2011. KWN adalah kompetisi video tingkat global yang seleksinya diadakan di tingkat nasional dan regional. Penilaian KWN adalah dari storyline yang dikumpulkan. Dari 200 pengirim, SDN. Kalama terpilih sebagai salah satu dari sepuluh finalis yang diundang utnuk mengikuti training di Jakarta. Nantinya setelah training dan dihadiahi camcorder video, kami harus memproduksi video 5 menit yang bertema “Aksi untuk Lingkunganku”. Video inilah yang nantinya dinilai dan jika terpilih jadi pemenang tingkat nasional, maka akan diikutkan ke kompetisi tingkat regional dan juga berkesempatan dinilai hingga tingkat global. Sebuah penyempitan dunia bukan? Sebuah hal yang awalnya terasa tidak mungkin menjadi mungkin. Tapi cerita tentu tidak berhenti sampai di situ.

JAKARTA! Yak, Jakarta, ibukota Negara Republik Indonesia. Tim SD kami terpilih jadi finalis dan diundang ke Jakarta! Aku sampai loncat-loncat berkali-kali tidak percaya. Waktu kabar ini kusampaikan ke sekolah, semuanya seakan tidak percaya. Semuanya bingung, bingung, dan bingung. Hari-hari berikutnya yang kukenang hanya bagaimana dua orang muridku yang terpilih untuk mengikuti training “merasakan” ibukota –tempat yang ‘jauh’ dari kebiasaanya- selama beberapa hari.

Semua hal yang baru tentu membuat mereka bingung. Jadi disini lah keahlianku sebagai “tour leader” diasah. Aku menjelaskan mulai dari bagaimana membuka pintu toilet hingga bersikap saat bertemu orang baru. Sejak sampai Manado, si kecil Hendra bahkan selalu menunjuk semua gedung-gedung tinggi dan bertanya siapa pemiliknya. Seringkali pertanyaan khas anak kecil yang tidak bisa kujawab pun muncul. Biasanya, kualihkan dengan bercerita tentang hal-hal lain (ups..).

Sesampainya kami di Jakarta, kesalahan pertamaku adalah mengajak mereka makan a la hedonisme klasik Jakarta, fast food. Buat kedua muridku, nasinya terlalu sedikit dan harganya terlalu mencengangkan. Jadi niat untuk tambah nasi pun diurungkannya. Banyak makanan yang dilihat dengan mengerinyitkan kening seakan merasa jijik saat kutawarkan. Tapi, planetarium di hari itu seakan jadi pelepas dahaga. Kami mengunjungi tempat favoritku saat kecil. Pengalaman planetarium buatku saja sudah sangat mengasyikkan, jadi tidak usah diceritakan bagaimana perasaan mereka. Kesannya setelah keluar dari gedung bundar itu adalah, “anak Jakarta nakal-nakal dan baribut ya Bu?”. Aku cuman tersenyum sinis karena diantara kita tadi duduk anak-anak seumuran mereka (mungkin lebih tua sedikit) yang berlogat elo-gue yang sangat ribut membicarakan hal-hal tidak penting, bergerak kesana kemari sehingga mengganggu konsentrasi penikmat planetarium lain.

Hari berikutnya, training dilaksanakan di IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Kuceritakan ke mereka bahwa IKJ adalah sekolah seni terbaik di Indonesia. Dari sinilah banyak seniman-seniman hebat dilahirkan. Aku yang juga almamater sekolah seni pun tak lupa memberikan motivasi kepada mereka untuk sekolah seni. Tentu dengan banyak tendensi yang sifatnya sangat subjektif :p. Di dalam ruangan auditorium, kami semua kedinginan karena biasa hidup di udara pesisir yang lembab dan panas. Berada di ruangan ber-AC adalah petaka bagi kami. Otak tidak bekerja dan mengantuk. Hari pertama berjalan dengan agak membosankan, bahkan untukku.

Hari kedua sedikit agak seru. Kata kuncinya adalah mencoba. Jadwal hari ini adalah latihan kamera dan wawancara singkat dengan orang-orang di sekitar kampus IKJ. Di luar dugaan, kedua muridku menunjukkan hasil yang bahkan lebih baik daripada murid-murid sekolah lain yang sudah pernah menjadi finalis sebelumnya. Hari ini juga menjadi hari yang paling menegangkan buatku, editing lesson time! Bagaimana mungkin Juan dan Hendra yang tidak pernah mengoperasikan komputer bisa mengedit? Aku cuman melihat dan berharap cemas dari jauh. Kalau aku melihat prosesnya, mungkin aku tidak sabar dan pasti ingin campur tangan. Tapi lagi-lagi, sejak keterbatasan tidak dianggap sebagai halangan, semua hal baru justru menjadi tantangan yang mengasyikan. Kamera, bahasa visul, wawancara, editing, dan semua hal baru yang diperkenalkan dengan sangat cepat dan kilat membuat murid-muridku seperti bertemu dengan games terbaru. Mereka ketagihan, serius untuk menyelesaikan setiap levelnya, berharap mendapat bonus dan ‘nyawa cadangan’ seperti main game.

Yah, aku mengibaratkan perjalanan ini sebagai petualangan. Setiap level ada tantangannya dan tugas mereka adalah melewati tantangan untuk naik ke level berikutnya. Dalam petualangan ini, terjadilah sebuat komedi. Kalau teman satu penempatan bilang di dalam hidup ini hanya ada dua hal yaitu tragedi dan komedi maka awalnya kupikir ini adalah komedi tapi sebenarnya tragedi. Entah pertanda dari apa.

Saat itu gelap. Bus yang kami tumpangi sehabis kunjungan ke Redaksi Majalah Bobo terjebak macet seperti biasanya sore menjelang malam di Jakarta. Murid-muridku mulai bersosialisasi dengan sesama peserta lain. Di awal pertemuan kami di hotel, Hendra dan Juan sudah penasaran dengan mahluk-mahluk putih nan cantik yang selalu menggunakan bahasa yang tidak dikenalnya, Bahasa Inggris. Mereka berbicara sangat cepat dan terkesan dunia hanya milik mereka bertiga. Adalah Michele, Nay, dan Patricia yang berasal dari Taman Rama School, sekolah internasional di Denpasar, Bali yang menggunakan prinsip Mahatma Gandhi. Tapi aku tidak tahu kalau Mahatma Gandhi tidak mengajarkan nasionalisme.

Di tengah riuh rendahnya suara anak-anak yang saling bercanda dan bertukar cerita, terdengar lamat suara Juan yang sedari kemarin penasaran dengan anak-anak “bule” seumurannya ini. Michele saat itu balik bertanya ke Juan tentang dari mana mereka berasal. Juan menjawab dengan pelan, Kalama, Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara. Sangat lengkap! Aku tidak melihat raut Michele saat itu, tapi yang kudengar cuma balasan darinya, “Sulawesi? emang ada ya Sulawesi di Indonesia?”  Setahuku sih cuma Sumatera, Jawa, Kalimantan...trus Florida!” selorohnya. Sadar kalau salah sebut Michele pun terlihat gugup, padahal Juan hanya tenang saja melihatnya tanpa ekspresi. Nay, temannya membetulkan ucapan Michele, “kok Florida sih?”. Tak lama, Michele pun membetulkan kata-katanya, “kok Florida sih, Flores maksudku, pulau Flores. Setahuku cuman ada pulau itu deh...”, gumamnya tidak yakin. Tiba-tiba Patricia menyambung pembicaraan Michele dan Juan. “Kita nggak hafal dan nggak terlalu ngerti, tapi kalalu negara bagian Australia sampe Tazmania kita hafal semua”. Setelah itu mereka bertiga tertawa dan Juan hanya terpana menyaksikan pembicaraan itu, entah tidak bisa mengikuti arah pembicaraannya atau karena tidak mengerti.

Aku yang hanya mendengarnya dari jauh hanya mengelus dada dan sekan tidak percaya baru saja mendengar sebuah komedi situasi dari mulut anak kelas 6 SD dengan muridku yang anak pulau sebagai penontonnya. Tapi setelah kupikir lagi, mungkin ini yang disebut sebagai tragedi tanpa bisa mendefinisikan tragedi apa yang sedang terjadi. Dalam hati, komedi tentang Pulau Florida ini jadi sebuah kenangan yang mungkin tidak terlupa buat murid-muridku. “Jarak” murid-muridku di pulau yang tidak dikenalnya itu begitu jauh dengan murid-murid internasional di Pulau Dewata. Ini seperti balada fast food dan Pulau Florida. Jakarta saja begitu baru bagi mereka, sebaliknya Australia bahkan Florida untuk Michele dan kawan-kawan terasa begitu dekat. Tidak tahukah anak-anak sekolah internasional itu bahwa Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau? Buat apa hafal negara bagian di Australia sampai Tanzania kalau berucap Bahasa Indonesia yang baik dan benar saja tidak biasa?

Dalam hati, aku tertawa tapi sebenarnya miris juga. Perjalanan ini bukan cuma meninggalkan kenangan tak terlupa, sebuah petualangan yang menegangkan, tetapi juga menyisakan sebuah cerita yang terseok di negeri ini tentang ketimpangan, tentang ketidakpedulian, tentang keprihatinan dari celoteh anak-anak sekolah dasar dengan latar berbeda. Juga meninggalkan sebuah pekerjaan rumah bagi pendidikan Indonesia. Tanpa bermaksud menyudutkan sekolah internasional mungkin negeri ini sedang kehilangan arah. Tumbuh kembangnya pendidikan excellent tidak sebanding dengan pengetahuan historis, geografis, dan nasionalisme anak didiknya. Apakah itu yang disebut Indonesia?

Akhirnya, cerita ini akan terus menjadi catatan. Bagi murid-muridku, mungkin petualangan di Jakarta harus berakhir karena waktu pulang sudah dekat. Tapi permainan ini belum usai, semoga mereka masih kecanduan untuk mencapai kemenangan di tiap levelnya bahkan sampai Pulau Flores, eh... Florida! Bagiku perjalanan ini lebih dari sekedar petualangan, tapi adalah proses menemukan dan mengkaji. Terimakasih bagi siapapun yang mengapresiasi karya kami. Karena dengan itulah kami bisa “melompat” melewati keterbatasan dan berhasil “menemukan” banyak hal.

Catatan kelamaan Sazkia Noor Anggraini di Jakarta 3-6 Oktober 2011.

Pengajar Muda Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.


Cerita Lainnya

Lihat Semua