Hidup di atas kertas

Belgis 24 Februari 2012

Kalau dipikir, nama manusia itu hanya hidup di atas kertas. Benar. Dan terbukti. Akta kelahiran, ijazah, kartu keluarga, ktp, surat nikah, surat tanah, dan sebagainya selalu mencantumkan nama-nama pemiliknya. Lalu, Untuk apa akta kelahiran itu? Kita yang bertahun-tahun hidup di kota dan dekat dengan pusat informasi pun mungkin banyak yang tak tahu untuk apa “sejati”nya surat-surat itu selain melamar pekerjaan, menikah, dan bikin paspor. Begitu pula dengan yang terjadi di sini, di desaku tercinta, masyarakat tidak menganggap penting akta kelahiran, KTP, kartu keluarga, dan ijazah karena.......   “kita mau ke mana?”. Lahir di sini, kerja di sini,  menikah di sini, mati pun di sini. “Kita tidak akan ke mana-mana”. Untuk keperluan sekolah, tidak perlu ada akta kelahiran. Peraturan ala kekeluargaan yang semuanya bisa “dimengerti” dan “ditawar” membuat peraturan pemerintah hanya sekedar buku bacaan. Menikah pun tidak jadi hal, orang-orang tidak akan repot ke KUA dan mengeluarkan uang kalau “ijab kabul” saja sudah sah.   Apa kata dunia? Saat ini pemerintah tengah “memaksa” dinas pencatatan sipil untuk mendata warga daerahnya. Undang-undang dikeluarkan, isinya “......pembuatan akta kelahiran pada tahun 2012 bagi  yang sudah berumur di atas 1 tahun akan dikenakan denda adminsitratif sebesar satu juta rupiah dan akan melalui penetapan pengadilan negeri ..........” Apa respon masyarakat kami? Hanya angin lalu di sore hari. Tidak ada yang sibuk, tidak ada yang risau. Tidak ada apa-apa. Yang sibuk adalah mereka-mereka para pemimpin daerah, yang tahu seperti apa tabiat masyarakatnya. Setelah itu barulah mereka gencar kampanye, menyuarakan pentingnya akta kelahiran bagi setiap anggota keluarga mereka. Kadang warga pun masih bingung, mengapa diharuskan mengurus surat yang dipakainya sesekali atau bahkan tidak dipakai sama sekali?   Ketika mereka tahu anak mereka diharuskan mengumpulkan akta kelahiran saat akan masuk SMP, barulah mereka pusing. Ketika ada yang mau menikah di KUA dan harus menyertakan Akta kelahiran, mereka pun sibuk membuat. Ketika ada yang ingin kerja di Malaysia dan harus memiliki akta kelahiran untuk pembuatan passpor, barulah mereka jera. Aku pun bertanya, apa motif dibalik semua ini? kenapa masyarakatnya sangat susah jika disuruh membuat akta? Oooh... i see, mahalnya biaya yang dikenakan si petugas yang membuatkan akta lah yang membuat akta kelahiran sangat mahal di sini. Untuk sebuah akta, setelah melalui beberapa tangan maka biayanya bisa mencapaim 150.000. Bagaimana tidak? Jarak desa ke ibukota kabupaten saja sudah 3 jam perjalanan. Otomatis akta menjadi barang “mewah” tapi tidak “cukup berguna”. Belum lagi masa pembuatan akta yang mencapai 2 bulan lebih. Motif-motif di atas yang menggerakkanku untuk menjadi “calo” akta. Aku berusaha memfasilitasi pembuatan akta kelahiran secara massal sebagai upaya menekan biaya pembuatan. Bisa dibilang calo sih, mengingat, hampir setiap bulan aku harus ke putussibau, jadi aku memutuskan sebagai pioneer untuk mengantarkan surat permintaan akta mereka dan mengurus segala administrasinya. Motif lainnya juga karena melihat kenyataan bahwa “anak-anakku” sendiri, baik yang masih SD maupun yang sudah SMP belum memiliki akta kelahiran, padahal ujian sudah dekat dan kelengkapan administrasi siswa harus disertakan ke dinas pendidikan. Hemmm.. aku pun harus bergerak cepat. Awalnya, Saran ini mendapat ganjalan dari beberapa pihak. Dengan alasan, warga ribet, tidak punya surat nikah, tidak punya KTP, tidak punya KK, ini itu lah, dan sebagainya. Untuk memperoleh informasi pun cukup membuatku pusing. Beberapa orang mengarahkan ke arah yang lain, beberapa lagi seperti tidak mau dimintai informasi. Upaya satu-satunya adalah dengan mendatangi langsung kantor kependudukan dan pencatatan sipil. Dari situlah aku mendapatkan informasi yang jelas mengenai pembuatan akta dan segala seluk beluknya. Membuat akta kelahiran itu mudah dan tidak bikin susah. Murah pula. Atas negosiasiku, maka kami bisa mendapat diskon jika bisa mengantarkan akta dalam jumlah lebih dari 30 buah. Informasi tersebut aku bawa ke desa. Aku mencoba meyakinkan mereka dan mengajak kerja sama para aparat desa. Pada gelombang pertama pembuatan akta kelahiran, kami mampu menjaring sekitar 50 penduduk, walaupun itu berarti setiap malam aku harus mengetuk pintu rumah warga satu per satu dan melengkapi surat administrasinya. Aku pikir, ini jumlah yang cukup fantastis. Berkas lengkap aku bawa ke kantor dinas kependudukan dan pencatatan sipil. Dan hanya dalam waktu 3 hari saja, akta kelahiran + legalisirnya sudah bisa diambil dengan biaya legalisir sepuluh ribu untuk masing-masing akta. Murah kan? Dan sangat jauh dari biaya semula. Setibanya di desa, banyak orang yang akhirnya tertarik untuk membuat akta, walaupun mungkin, mereka juga belum tahu untuk apa akta kelahiran itu nantinya. Aku mencoba meyakinkan mereka, bahwa akta kelahiran itu tidak hanya berfungsi untuk mereka yang sekolah, namun untuk para orang dewasa, yang akan pergi haji (amien), yang mungkin akan ke luar negeri, atau yang akan menikah secara “legal” di KUA, pasti akta kelahiran itu akan berlaku. Dan kalau bukan sekarang, kapan lagi mau mengurus akta? Ada beberapa kejadian yang membuatku mengangkat alis saat berupaya menjadi “calo” akta. Kebanyakan penduduk di desa ini menikah “di bawah tangan”. Tidak masalah juga sebenarnya. Cuma, ketika masuk dalam proses pembuatan akta, maka anak yang lahir dari perkawinan “ di bawah tangan” akan tercatat sebagai “anak ibu”, dan itu tercatat 80% dari akta yang sudah aku antar. Peristiwa-peristiwa sederhana, namun menggelitik juga, saat beberapa orang tua baru membuat KTP dan KK saat akan membuatkan akta untuk anaknya. Jadilah, setiap akan mudik ke kecamatan, aku pasti akan sounding ke sana-sini, barangkali ada yang mau menitip bikin KTP dan KK. Hmm..... kesibukan baru di samping mengajar tentunya. Namun, pelajaran baru yang dapat ditularkan, bahwa melengkapi surat-surat berharga untuk penduduk dapat dilakukan secara kolektif untuk menekan biaya, dan upaya itu tidak sulit asal kita menghubungi pihak yang tepat. Mudsah-mudahan ke depannya nanti semua anak bisa mendapatkan pengakuan atas dirinya, walaupun itu Cuma “di atas kertas”.


Cerita Lainnya

Lihat Semua