No Choice No Way Out

Sazkia Noor Anggraini 10 Desember 2011

 

Setelah glundang lalu glundung kemudian aku memutuskan untuk berpindah ke sudut pelabuhan yang lain. Pindah dari koloni semut merah di atas papan tempatku tidur lalu baca lalu tidur lagi. Di bawah pohon kelapa kerdil yang membuatku terus-terusan mengantuk karena oksigen yang disuplainya ke otakku. Hari ini, tiga minggu lebih aku meninggalkan sekolah. Meninggalkan 48 binaran mata di Kalama Kola. Temanku di pelabuhan ini cuma kepiting dan buih ombak yang tidak juga mengantarku sampai ke pulau. Makan siang hari ini kutanggalkan demi suara motor tempel 40 PK di atas perahu. Dinginnya AC kost kami kutinggalkan demi menjumpai lagi humbia, bete, kore, dan kuah asam di kampung itu.

But you did not have choice. You have to wait. Mengutip SMSku ke seorang teman, “Yur, we have been that far! Lo harus jadi orang hebat, gue juga dengan jalan yang kita pilih. We experience this ‘limited’ situation, close to death, istilah gue!”. SMS itu kutulis lagi lebih untuk penghibur hati. Yeah di awal saat memutuskan jadi Pengajar Muda, semuanya masih begitu abstrak, filosofis dan melankoli. Begitu banyak pilihan, begitu terbuka kesempatan, begitu banyak kemauan, but we have been that far! Setelah sampai ke bibir pelabuhan di sisi yang lain, ternyata kita tidak punya banyak pilihan bahkan kesempatan dan ego akan kemauan pun harus ditangguhkan.

Stince yang dudah tinggal kelas tetapi tidak bisa menambahkan dua huruf untuk jadi suku kata, Nansi yang dari telinganya keluar air, dan Jita yang suka mencuri bukanlah sebuah melankoli. Bukan abstrak lagi, tapi kenyataan yang pahit tapi harus dihadapi.

Aku menoleh ke arah pelabuhan lama, tempat di mana aku menjejak euforia pertama tempat ini. Tahuna, ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe. Di atasku, Kantor Bupati, di mana kami disambut oleh pejabat setempat untuk pertama kalinya. Saat itu masih juga abstrak dan kegirangan karena rasa ikan laut begitu manis saat langsung disajikan. Namun kini, enam bulan berselang, saat perahu yang sudah dua hari kutunggu masih getol bersandar, semuanya jadi semakin jelas. Enam bulan penuh dengan sesaknya perasaan haru, tangis, marah, tawa, bangga, ceria, duka, rindu, malas, bersemangat, lelah, sakit, gembira dan toleran menjadikan sebuah rentetan kaca diri atas sebuah pilihan. Aku tidak punya pilihan kini selain menunggu cuaca baik dan urusan para perangkat desa dengan kepolisian rampung. Kemarin, adegan menunggu ini diisi dengan hujan lebat dan telepon dari Jessica yang rindu pulau Jawa. Aku kemudian menyalahkan dia yang tidak pernah pergi ke Tahuna, namun kemudian menyalahkan diri sendiri yang tidak bisa pulang dari Tahuna...

“Kapalnya itu loh Nggi, gue kan guru bantu disini, masak gue harus 10 hari di Tahuna, padahal punya tanggungan anak-anak gue”, itu alasan Jessica di pulau terluar sana. Setali dengan Jessica, Vany PM lain di Pulau Enggohe selalu menggangguku dengan SMS-SMS nya “tanggal 28 sekolahku ujian praktek, langsung ujian tulis. Aku akan selesaikan administrasi kelas dulu, ngejar nilai baru bisa ke Tahuna tanggal 14. Tanggal 18 aku harus di Manado untuk flight tanggal 21 ke Ambon”, kata Vany.

Yep, they have a choice to be a good Pengajar Muda. Air sudah mulai pasang dan harapanku untuk pulang ke pulau semakin kecil. Angin sudah bertiup kencang. Untungnya tidak cabur (cuasa buruk seperti kemarin). Angin barat sudah berlalu dan matahari sebentar turun.

Minggu pertama adalah minggu yang kudedikasikan untuk Festival anak Sangihe dan Sangihe Menyala, support system dan batrai cadanganku saat sedang begitu penat dengan rutinitas sebagai guru. Minggu kedua, kehidupan hedon ibukota sempat tercicipi setelah sekian lama tidak merasakannya. Minggu ketiga, time for myself and also time when you feel trapped, no choice, no help like now!

“Menjadi PM di wilayah kepulauan memang tantangan besar, itu kata coach kami di pelatihan dulu. Aku tidak begitu mengingatnya karena bukankah hidup memang penuh tantangan. The show must go on! Tapi I can’t choose what kind of show is this. Tiga minggu di kota dengan meninggalkan realita di pulau karena cuaca yang tidak bersahabat dan ketergantungan sungguhlah bukan sebuah pilihan.

Kamu tidak bisa memilih mau pulang hari apa. Kamu tidak bisa memilih bagaimana kamu pulang, kamu tidak bisa memilih apa yang kamu tulis, bahkan kamu tidak bisa memilih untuk berada di pulau. Mungkin untuk menuliskan perkembangan kecil yang penuh inspirasi dari ceritaku sebagai pengajar muda saja tidak mampu kulakukan. Entah karena kepekaan yang makin lama hilang atau karena waktuku yang hanya sedikit kuhabiskan di sana.

Seorang teman selalu bilang, “tiap PM tuh tantangannya emang beda, jadi nikmatin aja karena cara belajar kalian juga pasti beda”. At the end, you have been that far! Ombak semakin naik dan tetangga dari kampungku masih menunggu dengan tenangnya, bukan seperti aku yang tidak menikmati angin yang menyapaku grasa-grusu untuk sampai pulau.

Enam bulan sudah berlalu, lebih dari sekedar romansa ke-Indonesiaan, janji kemerdekaan dan asas pemerataan. Lebih dari itu, semua pilihan yang dibuat di awal baru saja menemui tantangannya. Air sudah pasang seperti aku yang perlahan pasang dalam menikmati arusnya hidup. Jika nanti surut, tunggu saja matahari yang terik menurun lalu kemudian pasang lagi, bukankah air laut juga tidak punya pilihan?

Anggi enam bulan di penempatan, 10 Desember 2012

Sazkia Noor Anggraini | Pengajar Muda Kab. Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua