Lesung Dua Pipi dan Satu Sack Pasir

Sazkia Noor Anggraini 18 Desember 2011

Namanya Nansi dengan nama familinya Hontong, sebuah nama yang mungkin tidak asing di kalangan masyarakat Sulawesi Utara. Nansi baru belajar jarimatika, sebuah metode berhitung cepat dengan jari yang baru kuterapkan ke murid-murid di sekolahku SDN. Kalama, sebuah sekolah dasar dengan sedikit murid dan "banyak" guru. "Berapa lima ditambah dengan dua?" seruku dengan lantang seusai tambahan pelajaran di hari Senin. Murid yang lain mulai membuka kedua tangannya, bahkan ada yang menghitung berulang (salah hitung) hingga menggunakan jari kakinya sebagai alat hitung.

Tapi tidak dengan Nansi, ia hanya menjentikkan jari-jari tangan sebelah kanannya sesuai dengan metode hitung jarimatika yang hanya menggunakan jari tangan kanan untuk menghitung nilai satuan. Jari tangan kiri dibutuhkan untuk menunjukkan nilai puluhan. Nansi menjawab dengan cepat "tujuh", tidak lebih dari hitungan lima detik. Aku pun tersenyum lebar sambil memberikan jempol lalu tepuk salut buatnya. Nansi boleh pulang untuk bersiap ibadah Sabtu Gembira. Tapi tidak langsung pulang, Nansi terus memainkan jarinya dengan lentik menggunakan cara hitung yang baru diketahuinya hari Senin lalu. Ia mencoba menutup mulutnya saat aku menanyakan soal tambah-tambahan ke murid lain agar tidak keceplosan menjawab. Nansi berhitung dua kali lebih cepat dari murid lain di kelasnya, bahkan lebih tepat dari sang juara satu Jeini.   

Nansi, bertubuh kurus dengan rambut lurus tipis serta lesung pipit dua pipi. Nansi tidak tinggal dengan orangtuanya. Ayahnya meninggalkan ibunya saat umurnya masih belum genap satu tahun. Kakak-kakaknya tidak ada yang bersekolah, ibunya hidup sendirian dengan beban tanggungan lima anak. Nansi kecil dibiarkan begitu saja, bahkan saat diambil nani-nya (sebutan untuk orangtua sarani/saksi baptis), Nansi sedang mengeruk-eruk tanah di depan rumahnya dan belum tahu akan makan apa di hari itu. Sang nani, keluarga Mohonis yang tinggal di kampung tempatku berada, Kampung Kalama tidak tega membiarkan seorang anak dengan binaran mata yang cerah itu tidak merasakan masa depan. Jadi meski keluarga Mohonis telah memiliki tiga anak dan hidup ala kadarnya dengan rumah papan buatan sendiri, tidak menyurutkan keinginan mereka untuk mengambil Nansi, memerankan diri mereka sebagai orangtua sarani yang bertanggung jawab terhadap nasib anak tersebut kalau orangtuanya sudah tidak mampu lagi. Maka sejak saat itu, keluarga Mohonis menjadi orangtua angkat Nansi. Nansi hidup bersama kakak tertuanya Andi, serta Deysi dan Meike yang juga muridku.   

Nansi berhari-hari lalu sibuk sekali berlalu lalang di muka rumah dinas guru yang dibongkar menjadi perpustakaan sekolah. Jarak perpustakaan dengan sekolah ini memang agak jauh, sekitar 200 m naik ke atas. Tapi, hanya itulah lahan yang tersedia untuk menyetok gudang ilmu tanpa harus mengeluarkan sepeser pun biaya pembelian tanah. Orangtua Nansi, Akilat Mohonis menjadi ketua dalam rapat komite sekolah. Dalam rapat disetujui bahwa untuk mengangkut pasir demi pembangunan perpustakaan, setiap orang yang membawa satu sack pasir dari pantai ke atas bukit akan diupahi Rp. 7500,-  Semua orang berlomba-lomba untuk mengangkut pasir sebanyak-banyaknya. Aku tidak bisa membayangkan betapa beratnya pekerjaan ini karena jangankan mengangkut pasir, untuk bolak-balik dari pantai menuju sekolah saja dalam sehari cukup membuatku begitu lelah, apalagi dengan membawa beban sack pasir! Tapi diantara murid-muridku yang mengangkat pasir untuk menambah uang jajan, Nansi adalah satu diantara mereka yang paling semangat. Dia membawa pasir satu sack dalam tiga gelombang karena posturnya yang kecil tidak mampu langsung membawa satu sack ke atas bukit sekali jalan. Tapi Nansi terus tertawa, membuat lesung pipitnya terlihat jelas dan nilai ketulusan tersirat di wajahnya. Saat kutanya untuk apa uang yang mereka kumpulkan, Nansi menjawab singkat "kasih pa Nani (dikasih ke Nani)". Jawaban ini membuatku terhenyak dan air mataku pun hampir tumpah. Tapi Nansi terus tersenyum menjajarkan giginya yang rapi.   

Belakangan ini Nansi sering nangis di sekolah. Sebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah karena cairan yang terus keluar dari telinganya. Bau tidak enak yang keluar dari telinganya menjadi sumber ejekan teman-teman. Baunya telah mengganggu seisi kelas dan juga mengganggu Nansi sendiri. Meski tidak pernah mengaku sakit, aku bisa merasakan gurat penyesalan di wajah Nansi. Sebulan yang lalu, saat aku sedang pertemuan di Tahuna. Nansi iseng bermain dengan karet penghapus. Nansi mencungkil karet kecil di pangkal pensil kayu lalu memainkannya di lubang telinga. Entah sengaja atau tidak, karet penghapus itu jatuh ke dalam telinganya. Nani Nansi sudah mencoba menyungkilnya tapi tidak juga terambil. Beberapa lama kemudian, Nansi mengeluh kesakitan. Nani lalu membawanya ke puskesmas pembantu. Ada seorang perawat di sana. Ses (panggilan untuk suster) bilang, telinga Nansi sudah infeksi dan harus dirujuk ke Rumah Sakit di Tahuna. Nani dan Nansi harus pulang dengan perjalanan darat selama dua jam berjalan kaki dengan hati yang kalut. Semenjak itu, usaha dihentikan dan Nansi tetap jadi bahan ledekan.   

Puncaknya adalah saat latihan pramuka pada hari Sabtu dua minggu lalu. Nansi menolak bekerjasama dengan kelompoknya karena kalau berdekatan, bau menyengat akan sangat tercium dari telinganya. Nansi memilih memojokkan diri sambil diam-diam menangis. Ternyata, terlihat darah telah keluar dari telinganya. Nansi menyekanya bersamaan dengan air matanya. Aku menguatkan hati agar air mata tidak begitu mudahnya tumpah. Seusai ibadah Minggu, aku mencoba mengajak bicara sang nani. Nani bilang, Nansi tidak punya JAMKESMAS (asuransi kesehatan satu-satunya yang mungkin membantunya) di dalam keluarga Mohonis karena dia bukan bagian dari anggota keluarga ini, bahkan tidak ada di dalam kartu keluarga. Aku menghela nafas lagi. Nani terlihat tabah, tapi aku tahu gurat kecemasan hadir dalam setiap ucapnya.

Aku bercengkrama dalam haru biru perasaan yang tidak menentu. Aku lalu ijin untuk menyebarkan tulisan ini, tulisan tentang Nansi dengan sedikit harap apa yang mungkin kami lakukan. Nansi, seorang muridku yang berumur jauh dari kelasnya kini tetap tersenyum tapi aku tahu, hatinya goyah.       

Sekarang, karena cuma tulisan yang bisa kubagi. Maka siapapun yang membaca tulisan ini, sebuah catatan kehidupan dari sebuah pulau yang digaungkan sebagai pulau dollar dari selatan Sangir ini bisa sumbang saran, bantuan, atau apapun yang dapat mengembalikan jari-jemari Nansi kembali menghitung bilangan satuan, bahkan puluhan yang telah dikuasainya. Nansi Hontong, yang meski bukan juara satu tapi selalu tertantang untuk menyelesaikan soal-soal matematika masih punya harap. Masa depannya tidak boleh pupus seiring cairan yang keluar dari telinganya. Kata-kata Nansi yang selalu kuingat, hingga membuatku harus menuliskan ini adalah saat dia bilang, "Ibu, aku ingin seperti Ibu, jadi guru".     

"Untuk Nansi Hontong" Sazkia Noor Anggraini Pengajar Muda II Kabupaten Kepulauan Sangihe


Cerita Lainnya

Lihat Semua