Membaca dengan Gambar

Sazkia Noor Anggraini 12 Februari 2012

“Ibu, kata orang Amerika pe bendera jaga ditancapkan di Bulan?”, celetuk Ongki (kelas 5) saat mendengar pertanyaan Aldi (kelas 3) tentang pendaratan manusia pertama di bulan. Aku tersenyum dan bingung juga menjawabnya. Memang benar bendera Amerika ditancapkan saat Neil Amstrong menginjakkan kakinya di bulan untuk pertama kalinya, tapi kurasa tidak mungkin bendera itu ditinggalkannya. Kalaupun memang ditinggalkannya, berarti pengetahuanku tentang “perbulanan” tenyata kurang.

Pagi tadi, setelah sekolah minggu kuputuskan untuk “memindahkan” perpustakaan sempit sekolah ke Tenene –kami biasa menyebutnya- sebuah tempat di lembah bukit Pulau Kalama di mana ada dataran landai dengan banyak pohon rindang melingkupinya. Tenene juga dipilih karena jaraknya yang tidak terlalu jauh, hanya 15 menit berjalan kaki. Untuk mencari tempat landai lain di pulau ini setidaknya butuh lebih dari 30 menit berjalan kaki naik turun bukit. Meskipun wilayah pesisir, abrasi yang menerpa pantai Kalama Kola telah meniadakan daerah landai satu-satunya di tempat ini yaitu pantai, tempat yang digunakan sebagai “lapangan” sepakbola murid-muridku.

Hari sebelumnya, kusiapkan beberapa buku bacaan ringan penuh gambar di dalam tas hitam yang gagah bertuliskan Indonesia Mengajar. Setelah kulihat anak-anak mulai berganti baju sepulang bersekolah minggu, aku siap dengan sebuah harapan; minat baca murid-muridku yang semakin tinggi. Biasanya kegiatan membaca selalu dilakukan di perpustakaan dadakan sekolah kami. Yah, perpustakaan dadakan, karena sekolah kami memang tidak punya ruang khusus penyimpanan buku dan tempat membaca yang disebut perpustakaan. Satu-satunya ruang non kelas yang kami punya adalah ruang kantor guru di lantai atas. Ruangan ini hanya sebesar 6x6 meter dan dipenuhi dengan meja dan kursi guru, alat-alat peraga, serta tumpukan buku dengan lemari berdebu di sana-sini. Sekolah kami mendapatkan semua ini dari dana DAK (Dana Alokasi Khusus), dana “penyelamat” yang membuat sekolah-sekolah di daerah terpencil pun “terlihat” seperti sekolah-sekolah di kota.

 Awalnya, rak-rak buku terletak di sudut ruangan. Buku-buku masih tertata rapi dan sangat berdebu, jauh dari tangan-tangan kecil murid-muridnya. “Pak Guru bilang nimbole ba’ambil buku di situ”, alasan salah seorang muridku di awal-awal kedatanganku dulu. Tapi berkat kesepakatan guru-guru dan murid, pada beberapa bulan lalu, kami memanfaatkan jam pengembangan diri di hari Sabtu untuk kerja bakti. Agenda utamanya adalah memfungsikan lagi WC dan mendekorasi ulang ruang kantor menjadi dwifungsi, kantor dan perpustakaan. Akhirnya, ruangan sempit itu dipersempit lagi. Rak-rak buku menjadi batas antara ruang privasi guru dan ruang privasi murid (perpustakaan). Meski sempit, anak-anak selalu antusias karena buku yang dulu berdebu dan lengket cetakannya karena ditumpuk saat masih baru, kini bisa dengan leluasanya dibuka-buka, dibolak-balik, diambil, lalu dikembalikan lagi, berganti dengan buku yang baru.

Dari kebiasaan baru ini, masih agak sulit membuat murid-muridku untuk benar-benar membaca dalam arti sebenarnya. Menyusun huruf menjadi kata lalu menemukan makna dan merangkainya dalam satu kesatuan cerita, sebuah pemahaman utuh. Melihat buku saja adalah barang baru bagi mereka. Tradisi buku adalah sesuatu yang sakral, tidak boleh disentuh apalagi rusak telah sekian lama meracuni mereka. Guru-guru biasa memperlakukan buku dengan cara seperti itu. Sehingga yang terjadi adalah keengganan membaca. Jangankan membaca, memegang saja pun tidak biasa, tidak boleh bahkan. Jadi waktu dibiarkan mereka membaca (melihat buku lebih tepatnya), tidak bisa disembunyikan rasa kegembiraannya.

Lebih gembira lagi murid-muridku yang pagi itu terkumpul 11 orang sudah siap sedia di sekolah saat misa hari Minggu. Biasanya mereka menghabiskan Minggu dengan bermain di pantai yang telah termakan abrasi atau bermain pasir di halaman rumah yang sedang dibangun, selebihnya suara mereka selalu dianggap sebagai gangguan saat orang-orang sedang khusyuk beribadah di gereja. Maka memanfaatkan momen ini, kurangkul tas berat bertuliskan “Indonesia Mengajar” yang berisikan buku-buku penuh gambar dan warna. Sengaja memang tidak kubawa buku dengan banyak tulisan karena yakin mereka tidak akan membacanya, litterally.

Kami berjalan mendaki anak tangga, melewati kuala (sungai.red) yang kering karena hujan reda, menaiki jalanan beton yang berlumut dan sangat licin saat hujan menuju Tenene. Beberapa anak kemudian membantuku membawa tas maha berat itu. Syukurlah kami sampai ke Tenene dengan basuar (berkeringat.red). Kami memilih tempat yang landai dengan batu-batu agak besar disampingnya untuk tempatku duduk. Salah seorang muridku mengingatkan untuk menjauhi pohon kelapa, karena kalau angin bertiup maka rawan sekali kelapa terjatuh, bisa berabe kalau kena kepala malaikat-malaikat kecil ini.

Kubuka tikar dan mulai menggelar “dagangan”. Sengaja komik dan majalah dulu yang kukeluarkan. Dalam sekejap, mereka mengelurkan kata-kata takjub, “Anu..barang kerawo ini ang? Masidada’e Ibu, ia medorong...” (Ya ampun, banyak sekali ini ya? Bagus Ibu, aku mau....). Majalah bergambar Naruto adalah yang paling laris, lalu buku stiker yang ceritanya kehidupan bawah laut, komik upin dan ipin, lalu buku cita-cita marinir.

Buku berbahasa Inggris sumbangan dari salah satu instansi internasional adalah buku yang dilirik paling belakang, mungkin karena terlihat tebal. Pasti bukan karena bahasanya karena lagi-lagi aku yakin, mereka tidak benar-benar membacanya.

Tapi tiba-tiba, Jesika (kelas 4) tertarik mengambil salah satu dari buku tebal tersebut. Ia melihat banyak sekali gambar, awalnya kelinci, lalu babi, lalu suasana perkemahan dan banyak lagi yang selalu dia ungkapkan dengan kata-kata setiap melihat gambar yang menurutnya menarik. Saat melihat tenda di dalam perkemahan ia menanyakan padaku kapan jadwal berkemah dalam pramuka. Saat melihat orang sedang makan, ia bertanya kepadaku “apa yang mereka makan Ibu?”. Saat melihat burung dan telurnya ia pun pernah bercerita tentang burung peliharaannya yang pernah bertelur lalu mati. Antusias Jesika menular juga ke Aldi dan Jovi (kelas 3).

Penasaran dengan buku yang dilihat Jesika, Aldi lalu mengambil buku yang serupa. Lebih ekspresif, Aldi langsung menunjuk pada ikan besar berwarna merah muda. Ia sangat penasaran dan bertanya ini dan itu. Aku pun kewalahan kalau tidak membaca caption di bawah gambarnya. Untung saja dalam bahasa Inggris, jadi mereka tidak mengerti. Kalau saja buku itu berbahasa Indonesia dan mereka mau meluangkan waktunya sedikit saja dengan membaca, pasti pengetahuanku tidak lebih banyak dibanding mereka. Dalam buku itu banyak sekali hal-hal baru yang mereka temui bahkan tanpa membaca.

Aldi terus membolak-balik buku menunjuk apapun yang menarik perhatiannya dan menanyakan aku banyak hal, mulai dari “kenapa begini tanahnya di bulan, Bu?” saat melihat gambar struktur bulan hingga “apa dorang nyanda takot jaga terjun dari helikopter, Bu?” saat melihat para pemadam kebakaran hutan beraksi. Jovi dan Aldi larut di dalam dunianya, dengan buku tebal dan gambar-gambar di depannya. Dalam bahasa Sangir yang lamat-lamat kumengerti dia bercerita banyak hal yang menyangkut dirinya, keluarganya, pengalamannya terkait dengan gambar-gambar yang dilihatnya.

Murid-muridku memang tidak benar-benar membaca, mereka hanya membolak-balik buku terkadang kembali lagi ke halaman sebelumnya hanya untuk mengomentari setiap gambar yang menarik hatinya. Tapi dengan begitu, dengan banyaknya pertanyaan yang mereka ajukan, aku pun dapat menjelaskan banyak hal dan mereka sama khusyuknya mendengarkanku. Aku bisa bercerita mengenai tank yang bisa beroperasi di darat dan laut, aku bisa menceritakan sejarah pendaratan manusia di bulan dan peringatan bahwa hanya orang pintar yang bisa pergi ke bulan, hingga menceritakan rasanya naik pesawat, dan suasana di kota.  Murid-muridku memang tidak (atau belum) memperoleh makna dengan membaca (litterally) tapi dengan membaca gambar-gambar. Toh setidaknya esensi dari membaca sebagai referensi dan penambah ilmu pengetahuan bagi mereka pun bertambah meski dalam konteks dan metode yang berbeda.

Siang itu kami pulang setelah semua anak berfoto dengan buku favoritnya. Mereka membawa senyum dan peluh yang tidak sia-sia. Di kejauhan sayup kudengar beberapa dari mereka masih membicarakan apa yang barusan mereka baca.

Untuk murid-muridku, mulailah dari yang terkecil sekalipun. Karena setiap perubahan kecil yang kau alami akan menjadi pengalaman belajar yang tidak ternilai bagi kehidupanmu kelak.

Ibu guru Anggi yang masih tersenyum mengagumi kalian :)

Sazkia Noor Anggraini, pengajar muda dalam Gerakan Indonesia Mengajar | Pulau Kalama, Kabupaten Kepulauan Sangihe


Cerita Lainnya

Lihat Semua