Ibukota Jauh dari Rumah
Sazkia Noor Anggraini 19 Februari 2012Ibukota Negara Republik Indonesia? Hmmm.. Tahuna...Kalama Soa...Manado! (Jawaban murid-muridku saat ditanya apa ibukota Indonesia)
Mari, hari ini kita main tebak-tebakan. Apa nama Ibukota Negara Indonesia? Setiap anak yang datang (bahkan ikut-ikutan datang) les hari itu mengangkat tangan dan mengacungkan jari telunjuknya penuh antusiasme. Aku agak terkejut dengan respon cepat mereka. Dalam hati ada perasaaan bangga bercampur senang, ternyata wawasan mereka boleh juga! Tapi yang kudengar setelah itu bukan hanya mengecewakanku tapi juga membuatku prihatin.
Memang pulau ini berada jauh di ujung utara negeri ini. Jaraknya pun lebih dekat ke negara tetangga Filipina daripada ke ibukota negara. Tapi pengetahuan umum mengenai ke-Indonesiaan kupikir adalah hal dasar yang harus dimiliki setiap murid sekolah dasar di Negara Kesatuan Republik Indonesia Ini. Sebagai bagian dari rakyatnya yang masih mengadakan upacara bendera setiap hari Senin kupikir memiliki rasa keterkaitan satu bangsa dengan negeri ini. Ah... mungkin keharusan-keharusan yang kubuat itu terlalu berlebihan. Atau memang beginilah sebenarnya keadaan para tunas negeri ini, di mana negeri ini nantinya diwariskan? Atau di mana letak kesalahannya? Siapa dan mengapa? Pertanyaan itu terus mengusikku karena ternyata murid-muridku ini bahkan tidak kenal nama kota yang paling lazim di dengar oleh semua orang di negara ini, kota tempat kelahiranku.
Tentu bukan karena Jakarta adalah tempat kelahiranku maka aku bersedih saat murid-muridku gagal menjawab pertanyaan yang kupikir semua orang tahu. Tapi karena aku menyadari bahwa berjarak hingga ribu kilomenter antara Jakarta-Sangihe tidak ada relasi yang terjalin diantaranya sehingga tidak muncul entitas ke-Jakarta-an atau ke-Indonesia-an di anak-anak pesisir ini. Sejauh mata memandang, hanya pulau Sangir Besar di seberang lautan sana, itu pun bisa dilihat kalau cuaca sedang cerah. Mereka tentu lebih mengingat Kalama Soa, kampung induknya di mana upacara tujuhbelas Agustus biasanya diadakan, salah satu tempat berpasir putih yang kontras dengan kampung tempat tinggalnya. Tamako tentu lebih penting dari Jakarta karena di sanalah taxi belanja berlabuh mengantarkan para pedagang kios dan pelaju lainnya berbelanja tidak rutin Rabu dan Sabtu. Dari Tamako lah semua barang-barang kebutuhan sehari-hari didapat, sayur, bawang, rica, panci, pakaian, hingga petasan. Manado tentu lebih populer dibandingkan dengan Jakarta. Karena di Manado lah beberapa dari orangtua mereka mengadu nasib, membelikan baju-baju dan perhiasan agak bagus. Cerita tentang hedonisme di Manado, lelucon a la Manado, bahkan buah dari Manado lah yang jadi tren, magnet dan orientasi ke-Sangiran. Belum pernah ke Manado dianggap tidak keren dan tidak mampu. Tahuna mungkin jauh lebih penting dibanding segalanya, di mana minyak (bensin dan minyak tanah) didapat, di mana ada sekolah yang lebih tinggi (SMA, SMK, atau Perguruan Tinggi), di mana mereka mengenal pemimpinnya HRM-JEG yang punya lagu masamper populer.
Jadi, dari semua fakta di atas, apakah mengenal Jakarta sebagai ibukota negara masih penting? Padahal, sekali lagi tidak ada relasi secara langsung, baik secara historis, geografis, kultural, administratif, maupun ekonomis yang melingkupi kehidupan mereka di pulau dengan luas 8 km2 ini? Ironis memang, dengan warna bendera yang masih sama, lagu yang sama dinyanyikan setiap harinya, dan kurikulum yang sama, masih ada yang tidak mengenal ibukota negaranya. Aku langsung berandai dan penasaran, apakah ada anak-anak lain yang serupa kasusnya di belahan dunia lain? Atau hanya dalam konteks Indonesia yang wilayahnya terpisah lautan dengan akses yang terbatas dengan sistem otonomi daerah?
Aku menghela nafas mendengar jawaban murid-muridku tanpa rasa bersalah. Raut mereka polos tanpa arti apapun. Padahal tersirat begitu banyak pertanyaan dan penyesalan di belakangnya. Apakah mengenal Jakarta menjadi penting buat mereka? Bukankah sebuah pengetahuan itu harusnya aplikatif, berguna bagi kehidupannya kelak. Okelah kalau hanya pengetahuan tentang nama ibukotanya, sudah barang tentu mereka wajib tahu, tapi setelah itu mau apa? Mau kerja di Jakarta? Mau seperti kebanyakan orang yang tergoda dengan Jakarta lalu terperosok di dalamnya? Mau menjadi pengejar mimpi jauh dari rumah tanpa tahu arah pulang?
Tanpa tahu harus bagaimana mengakhiri tulisan ini, aku menitipkan doa kepada murid-muridku kelak, meski ibukota itu jauh dari rumah kalian, tapi semoga apa yang diperbuat di sana berguna bagi kalian. Semoga kelak ketika kalian besar nanti bisa melihat ibukota, tempat di mana nasib negeri ini digadangkan. Tidak hanya melihat tetapi juga memberikan sumbangan besar bagi negeri ini, di manapun tidak peduli ibukota atau tidak. Semoga mengetahui dan melihat ibukota membuat kalian semakin mengingat perihnya rumah dan tahu bagaimana keluar dari kepedihan tanpa meninggalkan bekas luka tapi torehan berharga untuk kampung dan negri mu kelak. Kalian harus tahu apa nama Ibukota Negaramu nak, paling tidak untuk menjawab pertanyaan seperti yang ibu ajukan tadi...
Ibu guru yang selalu mengagumi kalian.
Sazkia Noor Anggraini. Pengajar Muda pada Gerakan Indonesia Mengajar di SDN Kalama Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda