info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Mesin Pengubah Mimpi

Sazkia Noor Anggraini 12 April 2012

 

“Cita-cita saya besar lho Bu, saya pingin kuliah sampe S-2 dan jadi gurunya guru, jadi dosen Bu!”, lontar Marthin di tengah-tengah perjalanan pulangku menuju Kalama Kola.

Marthin mengantarkanku pulang menyusuri bukit, sungai, dan membelah hutan yang super licin dan basah sehabis hujan di pulau ini untuk sampai ke tempatku tinggal. Setiap Selasa dan Rabu, aku melakukan perjalanan trekking 45 menit menuju kampung sebelah di Kalama Apenglawo, di sanalah SMP 3 SATAP Tatoareng berada.  SMP terakhir yang dibuat di kecamatan ini, kecamatan yang terbentuk dari koloni pulau. Hanya ada tiga SMP di kecamatan ini, kesemuanya berada di pulau yang berbeda. SMP lah jenjang pendidikan tinggi yang dapat dicapai dalam skala kecamatan. Jika ingin pendidikan yang lebih tinggi lagi, maka harus hijrah ke “daratan” Pulau Sangir Besar. Maka dari “harapan tertinggi” inilah aku beralasan untuk membagi waktuku untuk mengajar di SMP.

Kali itu kuputuskan untuk menginap di Apenglawo semalam. Di sanalah aku benar-benar merasakan menjadi “guru sesungguhnya”. Di SD, aku hanyalah guru mata pelajaran yang berpacu dengan waktu karena berbagi jadwal dengan guru lain. Tapi di SMP aku adalah single fighter. Hanya ada dua guru tetap di SMP yang keduanya adalah guru mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Ironis dan aneh, kenapa bisa institusi pendidikan lanjut yang mengadakan ujian akhir nasional dengan empat mata pelajaran utama (Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris) “hanya” memiliki dua orang guru, guru olahraga pula? Satu orang lagi guru honor mengajar “serabutan”. Guru honor yang kerap tak dibayar inilah yang menjadi tandem partnerku. Jatahku adalah menuntaskan pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris sesuai dengan standar kelulusan Sekolah Menengah Pertama, bukan hanya sekolah rintisan pasca SD.

Sekolah ini dinamakan SATAP (singkatan dari Satu Atap) artinya, pengelolaannya di bawah satu atap dengan SD. Kepala sekolah SD sendiri yang bercerita mengenai alasan sekolah ini didirikan, ia ikut andil besar di dalamnya pembangunanya. Tapi setelah itu, SMP ini harus memiliki strukturnya sendiri. Dipilihlah seorang kepala sekolah dan ditempatkanlah beberapa guru. Kini, setelah empat tahun didirikan, sekolah ini bukan cuma tempat belajar tetapi tempat mengubah mimpi.

Meskipun guru-guru sudah satu tahun berkantor di depan WC, di samping gudang yang berubah fungsi jadi tempat penyimpanan buku, tapi impian salah satunya muridnya, Marthin adalah dosen. Pendidikan adalah bahan bakar untuk bermimpi dan sekolah adalah mesin pengubah mimpi. Itu pelajaran yang kudapat dari sekolah ini.

Kulanjutkan perjalanan bersama Marthin dengan tersengal, tidak kubayangkan perjuangannya yang selama enam tahun berangkat dan pulang sekolah melewati rute ini, setiap hari, tanpa lelah dan keluh, bahkan masih bisa bermimpi jadi dosen. Bisa kubayangkan juga berapa bulir peluh yang terbuang dari kening anak-anak di Kola yang melakukan hal yang serupa dengan Marthin saat harus bersekolah di Apenglawo. Saat sampai sungai tempat aku berpisah dengan Marthin untuk kemudian melanjutkan perjalananku sendiri, aku pun ikut bermimpi, kubilang “Jangan cuma jadi S2 Marthin, lulus S2 kamu harus lanjut S3, supaya bisa jadi Guru Besar”. “Apa itu Guru Besar Bu? Berapa lama untuk bisa sekolah sampai jadi Guru Besar?” Aku pun menghitung durasi setiap jenjang perguruan tinggi yang harus dilewati Marthin selepas SMA lengkap dengan menghitung umurnya saat dia lulus S3 nanti. “Butuh waktu ‘hanya’ sembilan tahun untuk jadi doktor dan lulus S3, tapi kamu harus berpengalaman mengajar untuk jadi Guru Besar” , imbuhku dengan yakin. “Artinya, kalau umurmu sekarang 15 tahun, paling lambat umur 31 tahun kamu sudah jadi doktor, kalau kamu terus bersekolah loh ya... Ayo Marthin kamu bisa, karena yang kita butuhkan hanya mimpi, yang lain ke belakang”.

Dalam hati aku berdoa semoga kata-kataku tadi seperti mantra yang diucapkan dukun sakti untuk menjadikan mimpi Marthin menjadi kenyataan, menggantikan setiap bulir peluh yang ia buang untuk menikmati sebuah mesin pengubah mimpi, sekolah. Meskipun tidak ada yang bisa dijanjikan dari sekolah selain ijazah, tetapi ijazah tanpa mimpi bagaikan mesin tanpa bahan bakar. Percuma punya mesin jika tidak berbahan bakar, percuma punya ijazah kalau berhenti bermimpi. Artinya, kita tidak memaknai bagaimana pendidikan itu sebenarnya.

Kepikiran saat menghela nafas di tengah perjalanan yang melelahkan. Ayo, Anggi, “kamu punya bahan bakarnya, sekarang hanya tinggal mengoperasikan mesin. Apa sulitnya?.”

8 Maret 2012

Sazkia Noor Anggraini (Anggi) | Pengajar Muda angkatan II | Pulau Kalama, Kec. Tatoareng, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua