The Next Presiden Republik Indonesia
Nurul Hidayah 13 April 2012Jais La Ambu. Begitulah nama lengkapnya. Jais adalah namanya sendiri, La Ambu adalah nama fams yang diambil dari nama depan bapaknya. Begitulah adat suku Buton, nama fams seseorang adalah selalu nama depan dari orang tuanya. Oleh karenanya, orang suku Buton tak dapat dilacak silsilahnya dari nama fams karena akan hilang hanya satu generasi. Berbeda dengan orang suku Batak misalnya, yang mengambil nama fams dari nama belakang moyangnya. Sehingga sampai garis keturunan keberapapun, akan dapat ditelurusi garis keluarganya berdasarkan kesamaan nama fams nya.
Baik, kembali pada Jais La Ambu. La Jais, demikian kami memanggilnya. Ya, orang suku Buton selalu menambahkan “La” untuk nama laki-laki, dan “Wa” untuk nama perempuan. Jadilah Jais dipanggil La Jais.
La Jais adalah salah satu muridku di kelas 6. Memang selain menjadi wali kelas 1, aku juga mengisi Bahasa Inggris di kelas 4, 5, dan 6.
La Jais adalah anak yang sangat periang, setiap telinganya mendengar sebuah lagu, dia tidak akan diam dan tenang. Pasti badannya akan bergoyang-goyang, sambil mengikuti lagu yang didengarnya. Lagu apapun. Aku mengamati itu sejak awal.
Dia juga anak yang sopan, yang selalu membantuku menenangkan suasana kelas saat aku mulai kewalahan. “Wei, badiam sediki kah. Ada Ibu di depan ni, ngana tara hargai”. Aaaah,, kata-kata demikian keluar dari mulut anak berusia 11 tahun. Kalian boleh sulit percaya, akupun demikian pertama mendengarnya. Satu lagi, aku menemukan bahwa dia sangat dewasa untuk ukuran usianya.
Dan dari wali kelasnya, aku tahu bahwa La Jais adalah salah satu murid yang selalu ada di peringkat kelas. Bergantian dengan Arfa, teman satu kelasnya.
Tak ada yang salah dari dia. Kesan pertamaku padanya, bahwa dia adalah salah satu bintang cemerlang di pulau mungil ini. Dia cemerlang, secemerlang bintang-bintang lain yang ada di sini, semua anak-anak di sini.
Dari sikapnya, perilakunya, dan segala tindak tanduknya, kita tak pernah tahu jika ada yang salah dengan anak ini. Siapa yang sangka, anak seceria dan secemerlang dia, lahir dan besar dari keluarga broken dan harus menjalani hidup yang berat dalam hari-harinya.
Kedua orang tuanya bercerai, aku tak tahu pasti itu kapan. Yang jelas kejadiannya sebelum aku datang. Setelah itu, ayahnya tinggal di Desa Prapakanda dan Ibunya tinggal di Desa Indomut bersama adiknya. Keduanya telah menikah lagi masing-masing. Sementara La Jais, dia tinggal di sini, di Desa Waya dengan neneknya.
Tinggal dengan seorang nenek, sudah dapat dibayangkan bahwa di usianya dia tidak mendapat kasih sayang orang tua sebagaimana anak-anak lain dapatkan. Janganlah bicara kasih sayang, itu terlalu tinggi mungkin. Untuk makan saja, aku sering melihat dia harus makan ke rumah lain. Entah di rumah Bibinya, yang sebenarnya Bibi jauh silsilah. Atau di rumah lain yang kadang aku tak sengaja tahu.
Aku tak tahu persis bagaimana kondisinya. Apakah hari itu sang nenek sedang tidak memasak. Atau masalah lain, aku tak tahu persis. Tapi terlepas dari semuanya, hatiku miris membayangkan kondisi bintangku satu ini.
Untuk membuat kantong sakunya ada selembar rupiah, aku juga sering melihat dia menjajakan makanan keliling kampung. Makanan milik tetangganya atau siapa saja, sehingga dia mendapat upah darinya. Pulang sekolah biasanya dia berkeliling menjajakan dagangannya. Seterik apapun matahari, selelah apapun dari sekolah, aku tetap melihat dia berkeliling menenteng termos berisi es manis (es lilin).
Karena kelas 6 setiap sore jam 3 selalu ada pelajaran tambahan, biasanya dia membawa serta dagangannya itu untuk belajar ke sekolah. Jadi sementara berkeliling berjualan, tiba waktunya ke sekolah dia langsung pergi. Dan selepas belajar, dia langsung berkeliling lagi. Berkeliling sampai magrib tiba, dan saatnya dia pergi mengaji.
Dengan waktunya yang demikian tersita, dengan beban kerjanya yang cukup menguras tenaga, aku tak bisa bayangkan bagaimana dia bisa memiliki waktu belajar yang efektif. Mungkin dia tak pernah belajar, pikirku. Tapi kalian tahu? di dalam kelas, aku mengakui dia termasuk cepat mempelajari pelajaran. Bahkan, kami guru-guru mengakui kadang kewalahan dengan pertanyaan-pertanyaan “ajaibnya” yang sangat cerdas.
Misalkan, “Pa, apa itu takdir?”. “Ibu, kenapa bulan di langit selalu berubah bentuk?”. “Ibu, apa itu ekliptika?”. Dan dia terus penasaran dan haus akan ilmu pengetahuan.
Dengan semua kondisinya, aku tak pernah melihat wajahnya menyiratkan raut kurang bahagia. Dia selalu tertawa, ceria, menyanyi, bergoyang. Dia selalu terlihat saaaangaaaaat bahagia.
Perjalananku mengenal si ceria ini tak cukup selesai di situ. SD kami turut serta dalam Olimpiade Sains Kuark (OSK) baru-baru ini. Kami mendaftarkan 13 orang peserta dari kelas 5 dan 6. Sebelum hari olimpiade itu tiba, saya masih ingat La Jais berkata pada suatu sore:
“Ibu, torang pasti akan kalah lawan anak-anak SD Labuha”
Saya mengertiiii sekali perasaan anak-anak ini. Tinggal di pulau, dengan sekolah yang minim fasilitas, dan tak pernah berpengalaman berkompetisi ke luar desa sekalipun, tiba-tiba harus pergi ke Kota Kabupaten dan berkompetesi dengan anak-anak dari SD favorit.
Waktu itu saya berkata padanya dan teman-temannya,
“Bagi Ibu, hal yang paling menyenangkan adalah belajar bersama-sama kalian, melihat kalian bersemangat, percaya diri, dan tak pernah malu bahwa kita ini berasal dari pulau. Belajar, itulah yang paling penting. Kalah menang itu hanya bonus saja. Namanya bonus boleh dapat dan boleh tidak. Yang penting kita sudah belajar dari semua prosesnya”.
Entah apa yang mereka tangkap dari perkataan saya itu, tapi setidaknya saya berusaha membesarkan hati mereka.
Dan bonus itu ternyata kami dapatkan. Si ceria itu, telah mengangkat nama sekolah kami dikenal di Halmahera Selatan. Ya, Jais La Ambu. Satu dari 13 murid yang akhirnya berhasil lolos ke babak semifinal OSK.
Jadi semakin seringlah aku berinteraksi dengan si ceria ini. Setiap malam pulang dari mengaji, sekitar pukul setengah sembilan atau pukul sembilan malam, dia akan datang ke rumah untuk belajar tambahan persiapan babak semifinal OSK.
Jadi biar ku review lagi rutinitas si ceria ini. Pagi dia ke sekolah, siang dia berjualan keliling, sore dia pelajaran tambahan untuk ujian akhir, lalu berjualan keliling lagi, magrib mengaji, dan malam belajar untuk OSK.
Kujamin, kalian tak akan tega melihat wajah sayunya yang kelelahan itu. Itulah yang juga selalu membuatku tak pernah tega menolak, ketika sudah jam 9 malam lewat dia datang dan berkata, “Ibu, mau belajar tata surya”.
Itu adalah jam yang sudah terlambat untuk dia datang belajar ke rumah. Itu sudah terlalu malam untuk belajar. Kadang aku sedang mengerjakan beberapa hal saat dia datang. Kadang aku juga sudah mengantuk waktu dia datang.
Tapi, aku tak pernah tega menolak kedatangan dia. Mungkin saja, dia terlambat karena harus berjualan atau mengerjakan pekerjaan lain. Mungkin saja, dia terlambat karena harus pergi mencari rumah yang di sana dia bisa makan. Kalau kalian jadi aku, sanggupkah menolak nya?
Meskipun aku sedang sangat sibuk dengan segala pekerjaanku, meskipun sesungguhnya mataku sudah sangat berat dan meminta untuk ditidurkan, namun melihat wajah sayu itu sungguh tak ada hati untuk menolak dan menyuruhnya pulang.
Kadang, dan sering, dia datang malam-malam untuk belajar OSK dengan wajah yang sangat terlihat lelah, mata sayu, langkah yang mulai berkurang tenaganya. Namun dia akan tetap datang, dan meminta belajar.
Anak sekecil itu, harus menaggung kondisi keluarga yang tak utuh, memikul tanggungjawab yang tak ringan, dan menjalani hari-hari yang tak mudah.
Namun seperti yang selalu terlihat, dia selalu menjalaninya dengan bahagia, dengan ceria, dan terlebih, bahwa kondisinya itu tak menjadikannya menjadi anak yang sulit dikendalikan. Justru sebaliknya, dia menjadi anak yang dewasa melebihi usianya.
Itulah yang membuatku demikian iba hati sekaligus bangga padanya. Dan semalam apapun dia datang ke rumah, sesibuk apapun, selelah dan semengantuk apapun, aku tak pernah tega membiarkan semangat belajarnya padam.
Mungkin dia lebih lelah dari aku. Mungkin dia lebih susah, karena bahkan aku makan dengan lebih terjamin dari dia. Dan jelas, aku memiliki hidup yang lebih mudah dengan keluarga yang utuh dan mencurahkan segala kasih sayangnya. Sedangkan dia?
Dan dia tak pernah berhenti membuatku takjub dengan segala “keajaibannya” di tengah kondisi yang serba kurang.
Hari itu kelas 6 pelajaran tambahan Bahasa Indonesia denganku. Aku meminta mereka membuat sebuah karangan, harus menggunakan ejaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena rata-rata anak di Maluku Utara ini kurang menggunakan Bahasa Indonesia baku, sehingga banyak istilah Bahasa Indonesia mereka tidak mengerti. Karenanya, aku membiasakan mereka menggunakan bahasa baku. Dan hari itu aku lakukan dengan meminta mereka membuat karangan.
Tema karangan aku tentukan, yaitu tentang cita-cita. Da inilah karangan si ceria itu:
JUDUL Menjadi Presiden
Aku ingin menjadi Presiden.
Karna aku akan menjaga negara kita ini adalah negara Indonesia,
dengan baik agar bangsa Indonesia tidak susah.
Karna aku ingin negara kita ini maju dan sehat,
untuk meraih cita-cita mereka semuanya.
Sekian dan terimakasi
Assalamualaik.wr.wb
Karya
Jais Laambu
Tak ada yang aku kurangi dan tambahi dari karangan yang ia tulis. Sederhana, dengan susunan kalimat yang lumayan berantakan dan ejaan yang masih belum pas. Namun aku yakin kalian semua juga pasti mengakui, bahwa karangan yang sederhana dan berantakan itu begitu menyimpan harapan yang tak sederhana.
Dia bisa saja menuliskan cita-citanya dengan biasa saja. Menjadi presiden yang hebat, atau menjadi presiden yang terkenal, atau apapun. Namun si ceria ini, menuliskannya dengan begitu mendalam. Dengan harapan yang sangat mendalam akan impiannya tentang Indonesia di masa depan.
Jais La Ambu. Dialah rumput liar yang tumbuh subur di atas batuan cadas. Anak yang tumbuh di lingkungan serba tak bersahabat ini, membuktikan dirinya mampu secemerlang kawan-kawannya yang lain, yang memiliki hidup lebih mudah.
Semoga Tuhan memeluk mimpi-mimpimu anak ku…
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda