Mengapa Nenek Moyang Kita Seorang Pelaut?

Sazkia Noor Anggraini 6 Oktober 2011

Mau mengutuk bagaimana kalau memang alam tidak mengizinkan? Angin selatan benar-benar menjadi sumber dari segala kegalauan ini. Perahu untuk mengantar penduduk belanja yang biasa disebut "taxi belanja" malam itu memutuskan untuk tidak berangkat esok pagi. Keputusan ini tepat di mana besok, aku harus menghadiri pertemuan rutin kelompok Pengajar Muda dari Gerakan Indonesia Mengajar yang ditempatkan di Kabupaten Kepulauan Sangihe, kabupaten paling ujung di utara Indonesia. Sang pengemudi perahu tidak berani melihat ombak yang mengamuk, bergelut dengan angin selatan yang menyambar pulau kecil kami, Pulau Kalama yang berada di wilayah Kecamatan Tatoareng.  

Rasanya mulut ini tengah dipenuhi dengan kekecewaan. Maka muncul lah amukan sesaat di tepi pantai ketika menyadari betapa bobroknya negeri ini. Seketika, sikap menyalahkan pun muncul. Pertama, menyalahkan diri sendiri kenapa tidak ikut perahu di hari Rabu yang meski ombak sangat kencang tetap berangkat dengan resiko besar. Kedua tentu menyalahkan si pengemudi yang sudah berjanji untuk tetap membawa kami meski angin yang kami rasakan saja sudah kencang. Badanku yang mungil serasa ingin melayang setiap melewati jalanan setapak berundak yang sudah bolong-bolong karena longsor. Ketiga, aku menyalahkan orang-orang di pulau yang berpenghuni lebih dari 1000 jiwa ini. Mengapa mereka tidak punya jadwal taxi yang konsisten? Mengapa tidak ada yang membuat perahu besar yang kuat sehingga ketika ombak kencang pun tetap berangkat demi memenuhi kebutuhan warganya? Mengapa orang-orang pulau ini begitu takutnya dengan angin kencang dan ombak besar padahal sudah selama hidupnya melaut? Keempat, tentunya menyalahkan petinggi-petinggi tempat ini. Mulai dari Kapitalaung (Kepala Desa) Kampung Kalama yang sedang terbelit kasus penyalahgunaan potensi sumber daya alam sarang burung walet alami sehingga tidak memikirkan betapa akses transportasi yang terbatas telah mempersulit warganya. Kapitalaung punya perahu besar, tapi mengapa tidak terbersit di kepalanya untuk membantu warganyanya dengan membuat trayek yang tetap? Sehingga jadwal pergi ke kota Tahuna yang berjarak 21 mil laut tidak bergantung pada orang lain yang punya perahu untuk ditumpangi. Tidak luput pula petinggi kabupaten ini karena dengan sulitnya akses transportasi dan mobilitas, perkembangan manusia dan daerahnya pun pasti terhambat.

Dalam hati aku menggerutu, kenapa tidak terbersit hal-hal demikian di kepala para petinggi negeri ini. Hingga aku pun merutuk pemimpin bangsa ini karena sudah tahu sebagian besar wilayahnya  adalah lautan, tetapi transportasi dan pengembangan teknologi transportasi laut masing sangat terbatas. Hingga sampai menyalahkan nenek moyang, kenapa nenek moyangku seorang pelaut? Yang mau susah-susah beradu dengan ganasnya samudra di nusantara?  

Rutukan itu berhenti sejenak saat angin yang begitu kencang memutus hubungan telepon yang sedang tersambung dengan teman-temanku di daratan -Pulau Sangir Besar- sana.  Tiba-tiba aku mengedarkan mataku ke sekeliling pantai, menengadahkan muka untuk bisa merasakan sapaan angin yang kasar hingga melambaikan rambut tebalku. Bau anyir pantai dan bunyi ombak yang gemuruh seakan menjadi teman yang menjawab semua rutukanku. Bintang yang bertaburan bagaikan meses di atas donat. Langit menjadi cermin ajaib yang tiba-tiba memantulkan bayanganku dalam kontras. Beginilah menjadi Indonesia. "Meski di pinggir pantai, bukan ikan yang kau makan selalu setiap hari, tetapi ikan sarden dalam kaleng dengan pengawat dan diproduksi ratusan mil jaraknya dari tempatmu kini", kata ombak. "Meski kaya raya karena merupakan satu-satunya tempat di Indonesia -bahkan dunia- yang memiliki sarang burung walet alami dengan mulut goa sejajar dengan permukaan laut, tapi untuk pergi berobat saja, seorang ibu dari muridku kesulitan karena biaya", ujar angin saat berdesir. "Meski nenek moyang bangsa kita adalah seorang pelaut, ingat bahwa laut ini telah menjadi sumber penghidupan juga penjemput maut. Kapitalaung terdahulu, dua orang guru yang mengabdi di daerah pelosok, dan warga lain pernah tenggelam di sini. Bahkan, jasad dan perahunya hingga kini tidak ditemukan", imbuh langit berbintang sambil tersenyum pahit.

Seketika hening, aku hanya mendengar bunyi SMS masuk beberapa kali ke ponselku. Sinyal yang sempat hilang artinya telah kembali sejenak. Kata-kata yang baru saja dilontarkan ombak, angin, dan langit dengan bintangnya mengisyaratkanku untuk berhenti merutuk. Meski hati ini masih mendidih karena hal ini tidak mungkin terjadi andai saja aku hidup di kota dengan begitu banyak hal mudah yang hadir kehadapanku. Tentu bukan salah siapa-siapa aku tidak jadi berangkat esok dengan taxi belanja. Tapi izinkanlah aku berandai. Berandai kalau saja masyarakat di sini berpikir praktis. Berandai kalau saja kita bisa hidup selaras dengan alam untuk menyusun siasat. Berandai kalau saja Kapitalaung tidak memikirkan dirinya sendiri dan tentunya berandai-andai jika saja bukan politis alasan para pemimpin wilayah dan negeri ini dipilih.

Malam itu, aku pulang dengan begitu lesunya. Di rumah, terdengar samar suara dari radio satu-satunya yang tertangkap di pulau ini, RRI Pro 1 Tahuna. Dalam siarannya, terdengar acara debat Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe yang pemilihannya akan dilaksanakan tanggal 14 September 2011. Dalam hati, aku berdoa semoga beliau-beliau inilah yang mampu mewujudkan perandaianku tadi. Beliau adalah para pelaut masa kini, pengganti nenek moyang bangsa ini yang tangguh karena menghasilkan bangsa yang besar di tengah pergulatannya dengan ombak sebesar dan sekeras apapun. Hingga suatu saat nanti terjawablah mengapa nenek moyang kita adalah seorang pelaut dari tangan dingin penerus nusa utara. Tentunya kuselipkan juga doa untuk alam dan semestanya. Keberanian, siasat, niat, dan ketulusan, mungkin jadi kunci nenek moyang kita untuk tetap melaut tanpa merutuk seperti yang kulakukan tadi. Izinkan aku untuk berandai sekali lagi, andai saja nilai-nilai itu kini yang dipegang para pemimpin untuk ditularkan ke rakyatnya yang kecil dan "polos". Maka seperti slogan Kabupaten ini, "Sekali melaut, pantang kembali pulang".

Sazkia Noor Anggraini

Pengajar Muda Angkatan II dari Gerakan Indonesia Mengajar.

Ditugaskan di Kab. Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara


Cerita Lainnya

Lihat Semua