September Ceria

Maisya Farhati 7 Oktober 2011

September 2011, memasuki bulan keempat aku di Dusun Pinang Gunung, Desa Telukjatidawang, Bawean. Banyak rencana yang kusimpan untuk bulan ini. Di Bulan Ramadhan, tidak terlalu banyak kegiatan yang bisa kulakukan karena selain sekolah hanya setengah hari, murid-muridku semua tadarus sepulang sekolah. Kegiatan les tambahan bahkan dihentikan sementara.

 

Les Bahasa Inggris

Bulan September ini, aku melanjutkan kegiatan-kegiatan yang sebelumnya memang telah dimulai, yaitu pelajaran tambahan untuk kelas 6 dan juga les Bahasa Inggris untuk remaja. Untuk yang kedua, aku akhirnya membuat selebaran dengan harapan lebih banyak remaja yang datang. Sebelumnya les ini terlaksana dengan pemberitahuan secara informal saja. Alhamdulillah dari tujuh orang, kini remaja yang belajar Bahasa Inggris berjumlah 14 orang. Sedikit? Ya, memang tak bisa dibilang banyak. Tapi mengajak masyarakat setempat untuk mau belajar sungguh bukan hal yang sederhana.

Di kelas baru tersebut, aku memulai kelas dengan bertanya “Mengapa kita belajar Bahasa Inggris?” Sebagian dari mereka berbisik-bisik berpendapat kepada teman di sebelahnya, namun tak ada yang berani mengacungkan tangannya untuk berbicara dengan keras. Kemudian aku angkat bicara lagi. “Orang tua atau keluarga kalian ada yang bekerja di Malaysia?”

“Banyak, Bu…” mereka menjawab serempak. Lalu sebagian mulai menyebutkan siapa saja dari keluarga mereka yang ada di Malaysia: ayah, ibu, paman, kakak, dan lain-lain.

“Di Malaysia, selain Bahasa Melayu, bahasa yang banyak digunakan adalah Bahasa Inggris. Jadi jika kalian bisa menguasai bahasa ini, setidaknya untuk percakapan sehari-hari, akan lebih banyak pekerjaan yang terbuka untuk kalian. Tak harus bekerja bangunan, tapi kalian bisa bekerja di toko, restoran, dan pekerjaan lain yang tidak terlalu berat secara fisik namun menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi.” Mereka mengangguk.

“Ada kerja kapal juga, Bu…”

“Iya. Banyak kan orang Bawean yang bekerja menjadi awak kapal? Kapal itu tak hanya berlayar di Indonesia, bisa sampai di luar negeri. Lalu bahasa apa yang digunakan untuk berkomunikasi?”

“Bahasa Inggris….” “Betul sekali. Berarti dengan belajar Bahasa Inggris, peluang kalian untuk kerja kapal juga lebih besar. Selain itu, sekarang di Bawean juga mulai ada wisatawan. Tak hanya dari dalam negeri, dari luar negeri juga ada…”

Dan begitu selanjutnya. Aku mengatakan bahwa jika suau saat Bawean sudah menjadi tujuan wisata, akan banyak kesempatan kerja atau usaha bagi mereka. Dan jika mereka menguasai Bahasa Inggris, tentu lebih luas pula kesempatan mereka. Misalnya mereka berjualan barang atau jasa, mereka dapat berkomunikasi tak hanya dengan orang Indonesia tapi juga dengan turis asing.

Wajah mereka berbinar seolah berkata, “Ayo, Bu, kita belajar Bahasa Inggris sekarang!”

 

Perpustakaan

Sementara itu, perpustakaan masih berjalan seperti biasa. Mengenai perpustakaan, aku pernah bercerita di tulisan sebelumnya. Dulunya mereka hanya aku izinkan membaca di tempat, yaitu di rumah hostfam-ku. Namun belakangan aku putuskan mereka boleh meminjam dan membawa pulang paling lama dua hari dengan catatan buku dirawat baik-baik. Hal ini dengan pertimbangan di waktu siang atau sore hari terkadang anak-anak datang ketika orang tuaku sedang istirahat dan aku merasa tidak enak. Dan anak-anak sendiri terkadang merasa sungkan untuk membaca buku berlama-lama.

Sejauh ini peminjaman dan pengembalian buku berjalan lancar. Keluar masuknya buku juga tercatat dengan rapi.

 

Pramuka dan Persiapan Upacara

Di bulan September, aku juga memulai ekstrakurikuler Pramuka. Pelaksanaannya setiap Jumat siang. Saat ini baru kelas 5 dan 6 yang latihan. Nantinya akan aku buat jadwal bergilir bagi kelas lain (idealnya aku pisahkan berdasarkan usia Siaga dan Penggalang). Kegiatan ini aku pisahkan karena agak sulit meng-handle langsung 53 murid sendirian. Guru-guru lain belum ada yang tergerak untuk membantu. Aku pun tak bisa memaksa karena mungkin mereka punya urusan lain dan sebagian rumahnya jauh dari sekolah.

Dalam kegiatan Pramuka, tentu aku sisipkan juga Peraturan Baris-berbaris (PBB) yang sekaligus sebagai persiapan mereka untuk pelaksanaan upacara bendera. Menurut kepala sekolahku, dulu di sekolah ini pernah diadakan upacara. Namun aku pernah bertanya kepada murid kelas 6, ternyata semenjak mereka kelas 1, mereka belum pernah melaksanakan upacara. Jadi kalaupun sekolah ini pernah melaksanakannya, itu sudah lebih dari enam tahun lalu.

Awal Oktober, mereka mulai berlatih untuk upacara. Bendera kebetulan sudah disiapkan oleh kepala sekolahku sejak bulan Ramadhan. Tinggal aku yang menyiapkan susunan upacara dan berbagai kelengkapannya.

Suatu siang, beberapa hari lalu, lebih dari sepuluh pasang mata memandang ke arahku. Di bawah terik mentari, aku berkata, “Ibu senang berdiri di depan para pahlawan Pinang Gunung. Kalian akan mencatat sejarah baru: pelaksanaan upacara bendera di SDN 4 Telukjatidawang. Kalian sebagai para petugas rela mengorbankan waktu kalian, rela berpanas-panas di siang hari, demi melaksanakan tugas mulia.”

Senyum mereka terkembang, dan itu adalah salah satu hal terindah dalam hari-hariku di sini. Meskipun dalam latihan itu ternyata masih ada beberapa anak yang belum serius, namun mereka semua belajar dan hendak membuat apa yang kemarin tak ada menjadi ada. Semoga upacara pertama kami berjalan dengan lancar.

(08102011)


Cerita Lainnya

Lihat Semua