info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Dari Petang hingga Pagi di Kalama

Sazkia Noor Anggraini 25 Juli 2011

 

Kalama, 26 Juni 2011

Semuanya berawal dari paksaan tidak langsung untuk menonton sinetron. Sejak genset desa mati, praktis rumah tempat tinggalku jadi tempat berkumpulnya anak-anak dan ibu-ibu untuk duduk manis di depan layar kaca. Bukan seperti kebiasaanku di sore hari menonton berita sore, tetapi menonton sinetron di stasiun rajawali. Punya parabola di desaku, Kalama Kola bukanlah hal mewah. Sedikitnya 30 orang memiliki parabola. Tunggu dulu, bukan untuk menonton siaran olahraga mancanegara, apalagi menonton serial asing favorit, melainkan untuk menonton sinetron dengan kualitas terbaik. Meski listrik hanya ditopang dengan genset rumahan, seperti laron anak-anak datang dengan senyumnya, ibu-ibu bahkan bapak-bapak berkumpul menghampiri sumber cahaya. Apak Akang, ayah angkatku di sini adalah seseorang yang menggemari sinetron, membuktikan kalau tontonan ini cuman milik kaum femin. Listrik dengan minyak terbatas hanya hidup saat senja menggelap hingga jam 10 malam saja dan jam-jam tersebut diisi setidaknya dua judul sinetron.

Dari sinetron aku belajar, dari Kalama aku lebih banyak belajar. Aku pernah cerita bukan kalau rumahku di atas bukit? Cuma jangan bayangkan hawa sejuk menerpanya. Perbukitan karang di daerah pesisir ternyata tidak seperti daerah pesisir lain yang pernah kurasakan. Apabila keluar, bukan hamparan pasir hangat dan lembut terpapar matahari, tetapi tanah keras bebatuan yang tandus. Setting cerita sinetron itu berjarak ratusan mil dari sini dan rasa-rasanya begitu kontras. Tidak ada rumah mewah, tidak ada fitting gaun pengantin, tidak ada mobil sedan, bahkan motor pun tidak ada di sini. 

Aku ingin menceritakan apa yang ada di kepalaku saat pertama kali datang ke desa ini. Aku datang sore benar kala itu, dengan barang bawaan yang berat dan banyak, dengan baju yang basah kuyup karena terpaan ombak dan hujan, dengan harap yang begitu besar akan tempat tinggalku, aku melangkahkan satu kaki kananku keluar dari speed boat yang membawaku dari pulau sebelah Kahakitang ke pulau ini, Kalama Kola. Aku pendarkan pandangan ke sekeliling, melihat rumah-rumah yang berjajar tidak rapi menyebar dengan satu poros di perbukitan. Rumah pertama yang kumasuki adalah rumah Pak Guru Makatanging, sulit sekali untuk mengejanya pada awal, tapi kini beliau bisa dibilang seseorang yang berpengaruh, pintar, dan bersahabat di kampungku. Di depan rumah Pak Guru yang akan punya hajat tanggal tujuh bulan depan, aku melihat begitu banyak babi berkeliaran, tidur di depan pintu, dan berjalan menghampiri anak kecil yang sedang main di pantai. Tidak ada perasaan risih, bau, atau jijik melihat babi. Aku yang meski dibesarkan dalam keluarga Islam liberal mesti diakui tetap saja merasa aneh. Babi selalu punya predikat 'haram' di Jawa. Aku masih ingat benar, pemilik ternak babi di depan rumah Putri temanku sampai sekarang dijauhi tetangga karena bau dan predikatnya.

Sekarang lagu Bengawan Solo melantun di laptop Travel Mate-ku. Keindahannya melodi dan lantunan keroncong tidak akan kudengar sampai setahun habis masa tugasku. Tidak ada bengawan, apalagi bahasa halus khas Solo. Aku mulai menaiki tangga satu demi satu ke atas, ke rumahku di jajaran rumah paling atas dari kampung ini. Kalau ditarik garis lurus sebenarnya hanya berjarak sekitar 400 meter, tetapi jalan setapak dengan tangga curam membuat langkah kami terengah-engah. Hanya ada satu jalan yang sudah disemen menuju ke atas, ada beberapa cabang jalan lain untuk menjangkau rumah di ujung sebelah timur dan barat. Mama Tupelu, ibu angkatku mirip ibuku, berambut pendek, berkacamata, bermuka segi lima, berbadan gempal dan senang mencium. Ia mengingatkanku kepada ibu kecuali cara berpikirnya. Aku jadi merindukan ibuku, pipinya, sapaan "daaagh"-nya dan belaian rambutnya. Aku menjadi melankoli dan begitu menginginkan suaranya, membutuhkan signal dan hanya ingin berada di speaker handphone-ku. Sesaat setelah sampai di rumah mama, aku tidak terkejut karena rumahnya yang berkeramik dan tergolong mewah dibandingkan rumah lain di kampungku, tetapi aku terkejut saat menghampiri kenyataan bahwa susahnya mencari signal di rumahku seperti susahnya mengenal lelaki yang baik.

Pagi di Kalama begitu berbeda. Tidak ada suara editorial atau berita pagi, tidak ada kopi panas dan leyeh-leyeh ala Jogja sambil menonoton gosip teranyar. Mama bilang, "listrik di sini cuma ada malam". Yah, hanya ada di jam 18.00 hingga 22.30 itu pun kalau generator tidak rusak. Mama harus membayar 100 ribu untuk menggunakan 2 ampere. Meski tidak ada listrik, tapi Mama punya kulkas dan mesin cuci. Dua benda yang agak mengagetkan buatku di tengah tidak tersedianya listrik dan jauhnya keterjangkauan pulau ini. Hanya kapal kecil yang mampu merapat di pulau ini. Jadi bayangkan saja ketika harus membawa mesin cuci atau kulkas dalam kapal cepat dengan satu mesin dari pulau terbesar atau Menado. Bayangkan lagi, untuk kebutuhan pokok saja, Kakak Emy, kakak angkatku yang punya kios di rumah harus pergi pagi-pagi benar ke Tamako-kota terdekat di seberang pulau- atau Tahuna untuk berbelanja. Jam enam pagi kapal taxi berangkat dan baru pulang jam lima sore.

Pada sebuah sore, sepulang kakak belanja, aku penasaran dengan harga barang-barang yang dibelinya. Sabun bermerek "Kucing" yang biasa digunakan bersama abu gosok untuk mencuci piring dihargai 137 ribu satu kardus. Diluar dugaanku, harga satu sak gula pasir bahkan mencapai 400 ribu, beras satu karung 250 ribu, dan mie instan satu karton dibandrol hampir 70 ribu.  Tunggu dulu, itu baru harga beli, di sini harus juga pertimbangkan biaya angkut. Begini ilustrasinya, dari pasar di Tamako ke pelabuhan di bibir pantai, Kakak harus menyewa jasa tukang angkut. Sedangkan dari bibir pantai ke dalam kapal hingga mengeluarkannya di pantai tempat tujuan Kakak harus membayar 15ribu untuk satu sak gula, sedikitnya 10 ribu untuk setiap satu karung beras, satu gelong minyak, dan setiap dos-dos besar. DI laut, ombak besar pasti akan menyapanya dan membuat basah barang-barang yang tidak tertutup terpal. Tunggu dulu, perjuangan belum selesai. Seperti yang tadi sudah kuceritakan, untuk sampai ke rumahku dari pantai kita harus merunut anak tangga yang terjal dan jalan setapak. Maka Kakak, tentu dengan bantuan jasa angkut (lagi) harus satu persatu bolak-balik memikul belanjaan-belanjaan itu untuk sampai ke rumah. Sampai di kios, kakak harus berhadapan dengan tumpukan bon milik tetangganya. "Hutang salah satu tetangga kalo dihitung bisa sampe tiga juta'e", ujarnya dalam logat Sangir yang kental.

Aku berjalan ke pantai untuk merasakan hawa pesisir. Pantai yang sempit,boleh kubilang begitu. Pantai di sini memang pintu keluar masuk, tempat nelayan melaut dan berlabuh, tempat pertautan hati para ibu yang menunggu suaminya, para oma dan opa yang menanti cucunya datang saat liburan sekolah seperti sekarang, para anak yang menanti harap sang ibu berbelanja di pulau terdekat, para ibu yang menanti anaknya membawa hasil pukat dan jaring ikan-ikan kecil untuk lauk hari ini, tempat anjing-anjing, babi-babi, dan kucing saling berlarian tanpa mengenal jenisnya. Pantai juga tempat berkumpul, saling membicarakan tetangga sembari memberi makan anaknya, merokok dan memandang ke lautan lepas, menebarkan harap akan kehidupan yang lebih baik, duduk-duduk sambil bermain catur sembari menunggu komentar dari beberapa orang yang juga ikut 'bermain'. Pantai Kalama Kola dekat dengan Gereja Philadelpia. Di sampingnya terdapat lapangan yang buatku lebih mirip lapangan bulu tangkis, tetapi lebih sering digunakan bermain sepak takraw. Di sebelah lapangan, bapak-bapak menunggu sore sambil menghisap rokoknya di depan warung yang konon menjual minuman populer, cap tikus dan saguer. Sekelumit kehidupan pantai ini membawaku pada bayangan orang-orang Indonesia, tempat di mana aku dilahirkan dan sekaligus membuatku jatuh cinta sampai mati. Beginilah kehidupan kami, bangsa yang besar, bangsa yang penuh harap, negara kepulauan yang kaya, penuh cinta dan senyum di balik asap rokok yang mengepul dan tangis yang mengalir dari gurat tua wajahnya.

Agak ke timur dari pantai, aku melihat kekasihku menunjukkan lagi keajaibannya. Kalama, pulau yang terkenal dan berpolemik ini punya kekayaan alam yang belum pernah kulihat hampir selama seperempat abad hidupku. Adalah sebuah goa yang tingginya dari permukaan laut hanya berjarak skeitar dua meter. Goa itu bukan goa biasa, sudah dari jaman nenek moyang dihuni oleh burung-burung walet yang sarangnya sungguh bernilai. Aku ingat benar, dulu waktu kecil pernah diajak Bapak mengunjungi rumah burung walet buatan di sebuah kota di Jawa Barat. Atap rumah burung yang lebih mirip rumah hantu itu tinggi sekali, tidak berjendela, berpintu sempit, gelap, pengap, dan lembab. Aku heran, kenapa ada orang yang mencari untung dari rumah (sarang) yang tidak ramah ini. Saat itu, sang empunya sarang burung bercerita dengan bangganya akan untung yang didapatnya dan bagaimana teknik mengundang banyak burung walet yang berbentuk aneh itu datang ke situ. Aku heran untuk yang kesekian kalinya, "kok ada ya orang yang susah-susah, payah-payah, dan mahal-mahal mau membeli sarang burung?". Aku tidak tahu apa istimewanya sampai aku tahu berapa harga sarang burung ini per kilogramnya. Begitupun di sini, aku tidak terlalu heran lagi kalau ternyata goa yang pengap, lembab, gelap, yang untuk menjangkaunya saja harus menyelam dulu ternyata jadi sumber konflik. Aku bisa membandingkan raut muka bangga si empunya sarang burung itu di Jawa Barat dengan harap dan riuhnya situasi panen sarang burung di sini. Tanpa perlu dibangun rumah hantu, masyarakat di sini memiliki kekayaan alam yang dimiliki seluruh warga, bukan kuasa satu orang seperti senyuman sinis dari juragan sarang burung. Setiap bulan Februari, April, dan Agustus seluruh warga masyarakat Kalama mulai dari Kola, Sowa hingga Apelau boleh memanen sarang burung dengan sukacita. Aku bisa membayangkan betapa riuh rendahnya suasana kala itu, betapa lebar senyuman mereka karena berkah alam yang dilimpahkan kepada warga Kalama. Sungguh senang membayangkannya hingga tahu potret masyarakat ini sebenarnya sekarang. Tangkapan gambar Kalama kini kontras dengan kesukacitaan berkat alam. Aku tidak melihat senyuman terkembang, masyarakat yang sejahtera karena sekali panen menghasilkan hingga milyaran rupiah, atau lengkapnya kebutuhan dan fasilitas yang memadai setidaknya untuk sebuah kampung yang namanya terkenal hingga Perancis dan Belanda, pelanggan setia sarang burungnya. Aku tidak melihat bekas kekayaan alam di mana-mana di sini. Aku hanya melihat kekayaan hati yang terpancar lewat garis wajah dan binaran cinta di mata orang-orang Kalama, tanpa harap yang berlebih dan sikap yang sudah terlanjur pasrah.

Tanpa perlu lama, aku tahu sesuatu telah terjadi di sini. Aku tahu makna di balik terkejutnya orang-orang di pemerintahan daerah saat aku bilang akan ditempatkan di Kalama. Aku jadi ingat saat Pak Karame, Kepala Sekolah SDN Para -pulau tetangga- berucap dengan sedikit tertawa "bandingkan saja nanti Kalama dengan Para". Aku merekonstruksi omongan Kepala Bappeda tentang orang-orang Kalama yang malas. Aku mencari sebab kenapa orang Kalama sampai harus berdemonstrasi di muka Kantor Bupati hingga ke Kantor DPRD. Aku jadi berprasangka ada apa dengan orangtua angkat yang merangkap kepala sekolahku karena tidak bisa dihubungi. Apakah permasalahan sarang burung walet yang kaya telah menjadi sumber konflik tak berujung yang memanaskan situasi Kalama?

Pertanyaan ini tentu tidak bisa langsung kujawab seperti yes or no question. Aku belajar antropologi sekian lama. Aku belajar relativisme budaya, aku belajar konflik, aku belajar memahami orang dan budaya lain, aku belajar patron dan klien, aku belajar bagaimana masyarakat desa dan kota menyiasati hidupnya, aku belajar kekuasaan dan kepentingan, tapi aku harus belajar lebih banyak dari sini, dari kampungku, dari pengalamanku menjadi "Indonesia". Di mana pengetahuan yang kupunya hanya secuil saja dan harapan akan perubahan di antara mereka begitu besar.

Sedikit yang kutahu dari belum seminggu umurku dihabiskan di sini. Satu per satu cerita kurangkai untuk menenun kebangsaan -istilah Pak Anies- Indonesia. Artinya, kalau cerita buruk yang kudapat dari setiap tetangga yang kusinggahi, kata-kata emosional yang keluar dari mama angkatku, bisikan-bisikan tentang kegundahan warga, dan rumour tentang Kapitalaung (kepala desa) yang korupsi dan menang sendiri adalah yang kudapat, maka benang-benang cerita itulah yang kupakai untuk menenun. Tentu cerita itu membentuk pola yang ragamnya rumit, khas, bahkan mungkin sulit dimengerti. Bukannya kecewa dengan tenunan yang kurangkai, tetapi dari situ, Indonesia yang kukasihi dan seluruh bangsanya yang besar tentu dapat menemukan pola yang sama. Pola yang khas bahkan sulit dimengerti, tapi bisa diperbaiki.

Maka, seperti sinetron yang kutonton semalam, Kalama memang jauh ratusan mil dari setting ceritanya, tetapi intrik, kecemburuan, dan ketimpangan yang dirasakan warganya mungkin mirip. Perasaan terancam, perasaan minor dengan kuasa satu atau beberapa orang, perasaan tidak didengar, perasaan takut dan harap lambat laun luntur, sepertinya agak sama dengan apa yang mereka rasakan. Aku juga merasakan kedekatan yang serupa meski wujudnya jadi bahan tertawaan. Cerita dalam sinetron menjadi pemersatu semu, penanda kebersamaan di sini, di kekasihku Indonesia. Suara tawa mereka sama dalam bingkai yang berbeda. 

Kalama hanya sekelumit permasalahan yang juga dialami beberapa daerah lain, mungkin lebih khas dan rumit hingga benang-benangnya kusut, tetapi tenunan kebangsaan tidak boleh berhenti sampai disitu. Harapan pasti akan dijalin hingga bertemu ujung. Ujung yang indah, ujung yang penuh benang beruntai halus. Di mulai dari sini, di mana anak-anak dijauhkan dari intrik, dikenalkan kejujuran, dihindarkan dari kekerasan dan teriakan demi akhir tenunan yang halus dengan benang sutera akhlak dan kepribadian sebagai bangsa yang besar sebesar keindahan yang diberikan kekasihku, Indonesia.

Dari petang hingga pagi, menghindari "godaan" anak-anak yang begitu berat. Ternyata benar, waktuku ternyata lebih sempit (di sini) dari yang kubayangkan.

 

Sazkia Noor Anggraini

Pengajar Muda 2 - Kabupaten Kepulauan Sangihe


Cerita Lainnya

Lihat Semua