Biasa Membiarkan : Kuhae !!

Sazkia Noor Anggraini 25 Agustus 2011

 

Kuhae adalah Bahasa Sangir yang secara bebas diartikan dalam Bahasa Indonesia menjadi “sudahlah”. Menurut masyarakat Pulau Kalama di wilayah Kecamatan Tatoareng, Kabupaten Kepulauan Sangihe di ujung paling utara Indonesia, Menado adalah kiblat dari segalanya termasuk bahasa. Kota dari kotanya se-wilayah Sulawesi Utara. Orang Sangir –suku mayoritas yang mendiami wilayah ini– biasa menyebut bahasa sehari-hari yang dipakai orang Menado adalah Bahasa Pasar atau bahasa pergaulan karena dipakai di pasar-pasar. Asumsinya, semua suku utama di wilayah Provinsi Sulawesi Utara ini akan menggunakan bahasa ini untuk bercakap-cakap. Dalam Bahasa Pasar, “kuhae” sama dengan “sudah Jo!” “Jo” merupakan kata untuk menunjukkan penekanan kepada seseorang.

Di jalan-jalan setapak yang berlubang karena longsor, kata-kata ini terdengar menemaniku memulai hari. Konteksnya biasanya ketika seseorang bertanya lalu disambut dengan “kuhae” lengkap dengan ekspresi dan suara keras yang mengikutinya. Hal lucu terjadi saat tiba hari penerimaan rapor murid-murid SDN Kalama. Rapor yangbaru dibagikan setelah libur tersebut ternyata bukanlah berita baik bagi seorang orangtua murid yang anaknya tidak naik kelas. Dia harus mengulang kelas 5 setahun lagi karena nilainya yang sangat mengecewakan, sangat jauh dari KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum). Tak lama setelah menerima rapor dan bersalaman dengan semua guru yang berjajar rapi jali di depan, sang ibu sempat duduk kembali di kursinya. Tidak lama dia membuka rapor anaknya dan tiba-tiba terlihat gurat kekecewaan menggelayut di wajahnya. Pak Guru wali kelas 5 yang sedang memberikan pengarahan bagi orangtua yang anaknya tidak naik kelas tiba-tiba langsung dipotong. Sang Ibu dari Ongki –nama anaknya – berdiri dari tempat duduknya dengan terburu-buru lalu dengan lantang, tetap dengan mimik khas dan suara kuat “kuhae!!” Semua guru agak terperanjat mendengarnya.

Di kelas 5, di mana terkenal sebagai kelas paling sulit dikendalikan, kelasnya para anak begal –begitu biasanya orang menyebutnya – kata-kata ini terulang lagi. Kali ini konteksnya saat guru muda sedang memeriksa pekerjaan rumah setiap anak. Beberapa anak seperti biasanya lagi tidak membawa buku pelajaran yang diampunya, apalagi mengerjakan pekerjaan rumah. Konsekuensi dari tidak mengerjakan PR adalah menjadi petugas kebersihan. Tapi dengan sontak anak-anak itu satu persatu berseru “kuhae!”. Begitu juga yang terjadi saat ada tambahan jam pelajaran di sore hari. Waktu satu orang anak yang tidak bisa diminta maju ke depan untuk coba mengerjakan soal, dengan sedikit membentak kepada gurunya, dia berujar “kuhae” dengan cepat.

Tiba-tiba sang ibu guru menjadi sangat janggal dengan kata-kata itu karena terlalu sering digunakan dalam konteks pembiaran. “Biar saja tidak usah memaksa pergi ke kebun kalau memang malas”, “Tidak mau mengerjakan karena memang tidak bisa”, “Sudahlah Pak Guru, tidak usah bicara banyak jika tidak mau menaikkan anakku”, “Biarkan saja aku tidak mengerjakan PR” dan “Sudahlah jangan paksa aku”. Kira-kira itu sebagian arti bebas dari ekspresi “kuhae” di sebagian besar masyarakat Sangir, khususnya di Kampung Kalama, tempat guru muda mengajar.

Suatu siang, guru muda ingin menjelaskan “kuhae” dalam konteks yang lain. “Coba kalian bayangkan Nak, jika kalian jadi tentara nanti –sebagian besar cita-cita murid begalnya di kelas 5 adalah jadi tentara – komandan akan memberikan perintah untuk menyerang melawan musuh, lalu kamu jawab dengan “kuhae”, “sudah Jo mau tembak[1], kira-kira apa yang terjadi? Musuh akan duluan menembakmu dan kamu mati tanpa penghargaan karena mengacuhkan perintah komandan. Jika sudah ada badai dan gulungan ombak besar di depan matamu saat melaut, lalu kamu berucap kata sakti “kuhae”, “sudah Jo mau melaut, balik saja”, kira-kira yang terjadi mungkin adalah namamu yang tinggal kenangan karena orangnya tengah ditelan ombak. Jangan biasakan jadi manusia yang menyerah dengan cepat. “Sudahlah memang begini nasib kita”. Tapi bukankah hidup ini semacam perlombaan menuju kemenangan. Perilaku acuh tak acuh dan menyerah hanya akan membawa kita pada kekalahan sebelum berperang seperti prajurit tadi. Mati ditembak lawan”.

Kebiasaan Orang Sangir dalam sikap ini tentu tidak asing kita dengar bukan? Sebuah sikap membiarkan. Kita sebagai bangsa yang besar terlalu biasa membiarkan dan acuh tak acuh dengan banyak hal. Hal kecil ini dianggap tidak penting atau “sudahlah bisa dilakukan lain kali”. Kebiasaan membiarkan ini sedikit telah memengaruhi mental setiap manusia, seperti yang tercermin dari murid guru muda. Karena biasa membiarkan sesuatu, perjuangan kita akan menguap begitu saja.Tentu tidak asing jika dilihat dari konteks yang lebih besar karena membiarkan telah menjadi suatu kebiasaan. Benar saja, sikap ini  membuat banyaknya permasalahan negeri ini menguap tak berujung karena sikap kalah sebelum berperang. Sikap acuh tak acuh dan berharap angin akan menyelesaikannya dengan baik ternyata diwarisi sejak kecil. Persis seperti murid yang luar biasa ini. Kalau begitu, korupsi, sengketa, dan konflik politik akan jadi sebuah kenangan tanpa penyelesaian jika dibiarkan menguap. Kuhae! nanti pasti bisa diselesaikan, tapi siapa dan bagaimana caranya? Nah, kita sudah terjebak dalam kebiasaan membiarkan bukan? Hingga harus berpikir lebih dari dua kali bagaimana menjawabnya.

 

Refleksi dua bulanan Sazkia Noor Anggraini

Pengajar Muda Angkatan 2 dari Gerakan Indonesia Mengajar

Ditempatkan di SDN Kalama, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara

[1] “Sudahlah tidak usah ditembak”


Cerita Lainnya

Lihat Semua