Langkah kecil Ke Desa Banasu.
Sarah Nadila 11 Maret 2025Selasa, 11 Maret 2025, saya dan Muammar Khadafi Pengajar Muda desa Mamu memutuskan untuk melangkahkan kaki menuju Desa Banasu, sebuah desa yang letaknya tak begitu jauh dari tempat saya bertugas, Desa Mapahi. Namun, perjalanan ke Desa Banasu bukan sekadar kunjungan biasa. Ini adalah perjalanan yang lahir dari keresahan dan harapan seorang Kepala Desa yang datang langsung ke rumah saya beberapa waktu sebelumnya. Dengan penuh kerendahan hati, Pak Kades Banasu menyampaikan isi hatinya: ia meminta saya menyempatkan waktu untuk berkunjung ke sekolah di desanya, melihat langsung kondisi yang ada, dan jika memungkinkan, bersedia mengajar sebulan sekali di sana. Alasannya sederhana namun menyentuh, di SD Banasu hanya ada dua guru. Keduanya adalah guru kontrak, satu di antaranya bahkan baru saja lulus kuliah. Meski semangat mereka besar, rintangan yang mereka hadapi tak kalah besar. Insentif yang sangat minim, tanggung jawab ganda di kebun untuk mencukupi kebutuhan hidup, serta kurangnya perhatian dari pihak yang seharusnya hadir memberi dukungan.
Pak Kades juga bercerita betapa sulitnya mendirikan sekolah negeri di sana. Karena SD tersebut berstatus swasta, Dinas Pendidikan tidak memiliki wewenang untuk menempatkan guru, dan semua tergantung pada kemampuan yayasan. Akhirnya, sekolah tetap berjalan seadanya, dengan dua guru yang berjuang di tengah segala keterbatasan.Saya menyambut baik maksud beliau. Dan begitulah, pagi itu saya dan Khadafi memulai perjalanan ke Banasu. Jalur yang kami lewati menantang: jalan tanah liat di lereng bukit dengan jurang di sisi jalan, serta harus menyeberangi Sungai Lariang yang besar. Beberapa kali saya memilih berjalan kaki karena sulit duduk di atas motor melewati jalur yang licin dan curam. Namun semua rasa lelah itu terbayar lunas saat kami tiba.
Kami disambut hangat di rumah Pak Sekdes, dan tak lama kemudian kami menuju sekolah. Di sana saya berkenalan dengan dua guru inspiratif: Bu Jenni dan Bu Mahdalena, serta kepala sekolah. Setelah memperkenalkan diri, saya mengajak mereka dan anak-anak bermain pos-posan. Tawa anak-anak yang riang mengisi hari itu, seolah menyiram letih kami sepanjang perjalanan.Usai bermain, kami melanjutkan silaturahmi ke rumah Bu Mahdalena. Di sanalah saya mendengar lebih dalam kisah perjuangan mereka. Bagaimana mereka harus membagi waktu antara mengajar dan berkebun demi mencukupi kebutuhan. Bagaimana mereka menghadapi anak-anak yang cepat bosan karena keterbatasan fasilitas belajar. Dan bagaimana mereka tetap bertahan, meski tahu bahwa perhatian terhadap mereka begitu minim. Hal yang sama juga dikuatkan oleh kepala sekolah bahwa meskipun mereka sadar akan pentingnya pendidikan, mereka juga terus bergulat dengan kenyataan.
Perjalanan ke Banasu membuka mata saya. Bahwa di balik nama "sekolah", tersimpan begitu banyak cerita tentang keteguhan, pengorbanan, dan harapan. Banasu bukan satu-satunya. Di luar sana, masih banyak “SD-SD Banasu” lainnya yang mengalami hal serupa—berjuang dalam senyap, berharap agar ada yang datang, melihat, dan peduli. Saya percaya, pendidikan tidak hanya membutuhkan ruang kelas dan papan tulis. Ia butuh hati-hati besar yang rela melangkah, dan tangan-tangan yang bersedia bergandengan. Dan kita semua bisa menjadi bagian dari perjuangan itu.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda