KISAH SANG PRESIDEN
Sani Novika 15 Oktober 2014Rambut hitam lurus dengan tinggi badan mungil karena belum mengenal pubertas walau sudah kelas enam. Yang paling menarik, adalah mata hitam bulat besar yang dia punya. Mata yang sering kali mengerjap jenaka khas anak-anak dan lebih sering lagi tenggelam menyisakan satu garis lurus, kalah saat tawa riang. Namanya Ahmad Syaifudin, tapi lebih sering dipanggil dengan nama Udin saja. Sangat khas Indonesia.
Dia adalah tokoh utama cerita kali ini, sang presiden kelas yang terpilih secara demokratis. Seperti yang saya ceritakan di (http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/sani-novika-2/ikut-ribut-ribut-pilpres). Saat pelantikan sebagai presiden, Udin berjanji akan membuat kelas enam jadi kelas yang tertib dan damai. Tidak ada yang berkelahi dan saling menyayangi sesama teman.
Sebelum terpilih menjadi presiden, Udin adalah seorang siswa kategori bersahaja saja. Afektif, kognitif, psikomotor cukuplah rata-rata. Beberapa kali sering kutangkap tangan dia tidak memperhatikan saat pelajaran dan juga berkelahi dengan temannya. Sejujurnya, saya sedikit sangsi, apakah dia bisa memimpin teman-temannya setahun ke depan? Apakah dia sanggup merealisasikan janjinya?
3 bulan berlalu. Setiap minggu masih saja ada anak yang berkelahi. Kening Udin sering kali berkerut. Dan sejujurnya saya rindu matanya yang membulat besar saat berbuat jahil.
“Apa jadi presiden susah banget ya din? Kok ibu lihat kamu sering cemberut” Saya bertanya iseng saat jam istirahat.
“Anak-anak masih tetap nakal bu, seriiiiing berkelahi, berisik kalau ada guru. Mumet aku” Jawabnya sambil mengunyah gorengan.
“Jadi presiden kita menyerah nih?”
“Mboten bu, tapi susah ya jadi presiden, aku gagal ya?” seems gloomy.
Saya tepuk pundaknya sambil berkata.
“Nak, berapa bulan kamu menjabat sebagai presiden?”
“Tiga bulan bu”
“Berapa lama lagi jabatanmu selesai?”
“Sembilan bulan”
“Nah masih sembilan bulan nak, ini masih seperempat perjalanan. Masih panjang waktu kamu untuk berusaha. Dan sejujurnya ibu bangga sama kamu lho nak”
“Ah ibu iki, mosok bangga, Aku kan gagal” jawabnya tersipu. Separuh bangga separuh penasaran. “Memangnya ibu bangga kenapa?”
AHAHAHAHA.
“Kamu mungkin belum bisa memimpin teman-temanmu untuk tidak berkelahi lagi, tapi Udin sang presiden sekarang adalah siswa yang rajin. Kamu rajin mencatat dan mendengarkan saat ibu guru menjelaskan. Nilai kamu sekarang meningkat cukup baik, tujuh..delapan, bahkan IPA kemarin pas mid kamu dapat sembilan kan?”
Matanya bersinar ceria sekilas. Kemudian mengangguk.
“ Yang paling membuat ibu bangga adalah kamu tidak pernah berkelahi lagi. Kamu sudah bisa menjadi contoh teman-temanmu. Ingat ya din, manusia itu mau jadi presiden atau tidak, ya tetap jadi pemimpin. Kamu boleh saja belum jadi pemimpin yang baik bagi teman-temanmu, tapi sekarang kamu adalah pemimpin yang baik untuk dirimu sendiri. Sedikit demi sedikit, asal kamu tetap berusaha, mulai dari dirimu sendiri untuk berbuat baik, tetap sabar, semoga teman-temanmu juga mengikuti.Mengerti pak presiden?”
Matanya benar-benar membulat ceria sekarang.
“Mengerti buuuu”
“Coba ibu tanya, kenapa sekarang setelah jadi presiden nilai-nilaimu jadi baik dan tidak pernah berkelahi lagi?”
“Belajar bu, malu sama temen-temen. Masa presiden kok bodoh dan suka berantem”
“Wow, Very good nak. Kamu sekarang sudah mulai belajar responsibility artinya bertanggung jawab. Kamu merasa malu dengan jabatanmu sebagai presiden. Maka itu, kamu berhenti berbuat yang kurang baik. Ibu benar-benar bangga sama kamu sekarang. Ibu yakin, kalau kamu terus seperti ini, kamu akan jadi pemimpin baik kok. Kalau kamu sudah besar, semoga jadi presiden beneran ya din” Aku mengusap rambutnya bangga. Percakapan kami terputus oleh bunyi lonceng besi, tanda pelajaran selanjutnya akan dimulai.
Udin pamit masuk kelas. Sambil memandangi punggungnya menjauh, saya tersenyum. I am a proud teacher. Masih ada sembilan bulan lagi waktu untuk merealisasikan janjimu, nak. Semangat terus, presiden!
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda