Episode satu: Pesawat Cita-Cita Anak Bangun Jaya

Sani Novika 16 Maret 2014

Memiliki cita-cita untuk kesuksesan pribadi adalah hal sangat biasa yang dicapai banyak orang. Namun akan menjadi indah saat memiliki cita-cita yang dipupuk atas kerelaan tulus membahagiakan orang lain.

Mentari masih malu-malu menyembul di rerimbunan karet Desa Bangun Jaya, menyoroti jalanan becek di jalan yang berbatu jarang-jarang. Desa ini mulai dibuka sebagai kawasan transmigrasi lokal sejak tahun 1983. Pada waktu itu, konon katanya penduduk transmigran keturunan jawa yang lahir di Lampung tersebut, tiap hari masih harus bergelut menghalau gajah-gajah Sumatra liar yang mengganggu tanaman kedelai mereka.  Dan tiga puluh tahun kemudian, pohon-pohon kedelai tidak terlihat lagi, digantikan perkebunan karet yang dinilai lebih menguntungkan secara ekonomis, getah-getah karet yang menggenang tanpa henti tiap hari di ceruk-ceruk penampungan batok kelapa, mengalirkan pundi-pundi rupiah. Berbanding terbalik dengan baunya yang tidak sedap, getah karet ternyata menghasilkan rezeki yang amat sedap bagi penduduk sekitar.

Sayangnya, kesejahteraan secara finansial terkadang bumerang bidang pendidikan bagi sebagian masyarakat. Ada anggapan bahwa tanpa pendidikan pun, penghasilan kebun karet sudah mencukupi sehingga tidak perlu lagi susah-susah bersekolah. Padahal, fasilitas sekolah dari tingkat dasar sampai menengah sudah ada di beberapa tempat. Bahkan pendidikan tinggi, sekelas universitas terbuka sudah ada di unit dua yang lokasinya dapat ditempuh kurang lebih 30 menit dengan sepeda motor.

Motivasi untuk bercita-cita tinggi melalui pendidikan itulah yang ingin aku bangun di kelasku, sedini mungkin. Di SDN 01 Bangun Jaya ini, saya ditugaskan mengajar Bahasa Inggris dari kelas 4 sampai kelas 6. Beruntunglah saya, memiliki kepala sekolah yang berpikiran maju dan terbuka, walaupun di kurikulum 2013, bahasa Inggris dihapuskan, tetapi kepala sekolah saya tetap bersikeras menganggap bahasa inggris sangat penting demi bekal masa depan anak-anak, sehingga tetap dipertahankan.

Untuk cerita kali ini saya ingin menceritakan episode pertama pengalaman mengajar saya. Hari kamis, kelas enam yang kebagian jadwal bahasa inggris. Pertama masuk kelas, mereka terlihat malu-malu namun antusias mendapat guru baru, senang sekali melihatnya.

Saya bertanya tentang cita-cita mereka. Mayoritas anak-anak ingin menjadi guru, dokter, tentara dan polisi. Profesi-profesi yang mulia yang biasa mereka lihat. Sudah bisa saya prediksi sebelumnya. Tapi anak-anak, makhluk-makhluk polos yang senyumnya begitu tulus itu, terkadang penuh kejutan. Seperti hari ini, aku terheran-heran namun juga senang  ternyata ada beberapa anak yang memiliki cita-cita “tidak biasa”. Hari ini akan kuceritakan satu, besok-besok tagih saya untuk menceritakan yang lainnya ya!

Saya membagikan kertas HVS dan meminta mereka membuat pesawat. Di badan pesawat tersebut ditulisi nama dan cita-cita dalam bahasa Inggris. Anak-anak terlihat terlihat antusias dan bahkan sedikit tidak sabar untuk segera menerbangkan pesawat cita-cita buatan sendiri. Akan tetapi, di kursi pojok, kuperhatikan ada yang janggal, satu anak laki-laki terlihat berusaha menyembunyikan pesawatnya, beberapa temannya terlihat berusaha mengintip dan menertawakannya.

Anak laki-laki itu bermata bulat dan ceria. Namanya Dicki, seperti anak seumurnya dia terkadang kelebihan energi. Teman-temannya sering menjulukinya ”anak nakal”.

“Kenapa Dicki? Kok pesawat cita-citanya kamu sembunyikan?”

Dia tersenyum malu-malu. “Isin bu”

“Cita-cita kamu ingin menjadi apa? Kenapa malu?”

Chef bu, anu, wong sing pinter masak di tipi iku loh bu”

“ Oalaaaaah, Cita-cita iku jadi guru jadi dokter, Masak iku ndamelan wedho” beberapa temannya mencela.

Kamu mau jadi chef? Wah cita-cita yang bagus, nanti kamu bisa memasak makanan yang enak-enak, kenapa malu? Coba ibu mau tahu kenapa kamu mau jadi chef?”

 “Aku pengin  dadi chef, tapi aku malah dimaido lan diguyu lan dimaido kanca-kancaku. Aku pengin gawe masakan sing enak kanggo simbah, mergo bapakku wis sedho. Ibuku nyambut gawe neng taiwan, dadi nang omah gak tau enek sing masak enak, aku pengin simbah dhahar masakan sing enak.

Saya mau jadi chef bu, tapi aku malah ditertawakan teman-teman, saya mau membuat masakan yang enak buat mbah, bapak saya sudah meninggal, ibu saya kerja di Taiwan. Saya mau mbah makan masakan yang enak.

Anak-anak lainnya pun jadi berhenti meledek. Bahkan ada anak yang berkata,” Wis tho Dick, mamak teng omah, masak iwak goreng, mbahmu gelem njajal? Enak lho

“Sudah Dick, mamaku di rumah masak ikan goreng, mbahmu mau coba? Enak lho”

“Bu! Bu! Aku juga pengin dadi Chef bu! Mamakku tak masakin ikan ayam sing enak tiap hari bu!”

Olaaaah, emang kowe gelem masak? Masak opo? Masak air?”

Ora opo-opo ya bu? Aku arep blajar sing sregep! Nah kowe? Mau dadi opo?”

“Aku pengin dadi presiden, keren tho?

Kelas pun menjadi ribut. Aku hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Aku biarkan obrolan tentang impian  cita-cita mereka menari-nari menembus atap kelas, bergabung bersama awan cirrus terus-terus dan terus meninggi.

.Titelku mungkin adalah pengajar muda. Kata dasar Ajar dengan imbuhan pe. Dalam terjemahan bahasa Indonesianya adalah seseorang yang memberi pengajaran. Tapi pada  faktanya, sering juga justru aku yang mendapat pengajaran dari murid-muridku. Pengajaran tentang keinginan membahagiakan orang lain. Tentang bagaimana menjadi makhluk yang sangat tidak self centric, karena terkadang semakin dewasa, keegoisan manusia pun juga semakin bertumbuh. Justru dari dari seorang anak yang sering dianggap “tukang ribut”- lah aku belajar. Ternyata  selain memiliki energi kinestetik yang besar, dia juga memiliki kebaikan yang besar. Bahkan anak-anak lainnya pun merasakan. Percayalah, energi positif itu menular kawan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua