Pendidikan Milik Semua: Sedikit Cerita dari Pulau Rupat

Raden Ajeng Annisa Nirbito 16 Maret 2014

Kata siapa masa depan pendidikan hanya semata tanggung jawab pemerintah dan dinas pendidikan? Kata siapa kalau mengajar dan mendidik itu semata-mata tugas bagi para guru? Saya percaya, tiap-tiap warga Indonesia, masing-masing dari kita, punya peran dan tanggung jawab dalam menentukan masa depan pendidikan Indonesia. Tidak percaya? Datanglah ke desa kami, Desa Sungai Cingam, Kecamatan Rupat, Kabupaten Bengkalis. Di desa inilah, tepatnya di sebuah balai transmigrasi di Jalan Alohong, kalian dapat melihat bahwa siapapun dapat turut ambil peran dalam pendidikan.

Jalan Alohong merupakan jalan dari desa menuju ke pantai. Jalanannya terbuat dari tanah dan pasir, yang dipenuhi debu saat musim kemarau dan cukup licin saat hujan. Saat menyusuri Jalan Alohong, tampak hamparan padi di kiri dan kanan jalan yang berkilau keemasan tertimpa cahaya matahari. Setelah itu, terdapat deretan rumah milik Suku Akit, suku asli yang mendiami Pulau Rupat. Di penghujung jalan Alohong, yang jaraknya sekitar 1 km dari pantai, terdapat balai transmigrasi yang kami gunakan untuk memberikan les kepada anak-anak Suku Akit setiap hari Jumat siang.

Saya datang ke balai bersama Pak Romadoni, bapak satu anak berusia awal 30-an yang sehari-hari bertugas sebagai penjaga sekolah SDN 06 Sungai Cingam. Pak Roma, begitu beliau biasa disapa, akan menjadi guru pada hari itu. Ya, guru! Kami tiba tepat pukul 2 siang dan langsung disambut oleh teriakan riang anak-anak usia dini dan siswa SD yang sedari tadi telah menunggu di balai sambil bermain, walaupun mereka tahu bahwa les dimulai pukul 2. Juga tampak dua siswi kelas 8 SMP, Diana dan Rita, yang selalu datang untuk membantu kami dalam mengajar les.

Senyum cerah menghiasi wajah Pak Roma. Angin pantai yang berhembus melalui balai transmigrasi yang terbuat dari kayu dan berbentuk seperti gazebo membuat suasana les di siang hari semakin menyenangkan. Dengan semangat, Pak Roma mengajarkan baca-tulis kepada anak-anak usia dini. Dengan nada penuh semangat, beliau berkata, “Coba lihat, ini huruf apa anak-anak?” Dan langsung dijawab dengan teriakan yang riang dari anak-anak, “B Paaaakk!!!”

Pak Roma juga mengajak anak-anak untuk menulis nama mereka masing-masing dan juga nama kami yang berada di balai transmigrasi. Dengan penuh kesabaran, Pak Roma anak-anak yang masih belum mengerti bagaimana menuliskan huruf a, b, c, dan sebagainya. Begitupun dengan Diana dan Rita yang hari itu menjadi asisten Pak Roma untuk mengajarkan anak-anak membaca dan menulis. “Bagaimana menulis Roma? Coba tulis R, O, M, A,” ujar Pak Roma. Ah, sungguh senang dan terharu melihatnya. Semua bahu-membahu ambil peran dalam pendidikan. Saya yakin, pasti ada banyak ‘Pak Roma’ lainnya di seluruh penjuru tanah air kita, yang akan membawa perubahan positif bagi masa depan pendidikan Indonesia.

Karena pendidikan adalah milik kita semua.


Cerita Lainnya

Lihat Semua