info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Paminggalan dan Impian yang Terbenam

Saktiana Hastuti 9 Desember 2010
Paminggalan dan Impian yang Terbenam “Takkalai nisobalang Dotai lele ruppuq Dadi nalele Tuali di lolangang” Begitulah pepatah orang Mandar yang pernah saya baca dalam buku Mottiana Mandar. Mottiana Mandar artinya mutiara Mandar. Sepenggal ungkapan berbahasa Mandar di atas menggambarakan etos kerja orang Mandar. Arti ungkapan yang diambil dari naskah Mandar tersebut yaitu “tatkala layar terkembang/ lebih baik tenggelam/ ketimbang kembali/ sebelum mencapai tujuan”//. Agaknya ungkapan Mandar tersebut menginspirasi saya di Senin kemarin. Pantang untuk saya kembali sebelum sampai di tujuan. Ya, pagi itu saya berniat untuk pergi ke Paminggalan. Seberat apapun medan, pantang untuk saya tidak melanjutkan perjalanan. Hari itu, pagi-pagi, saya telah siap untuk berangkat ke Desa Paminggalan. Saya begitu bersemangat untuk melakukan perjalanan. Saya begitu penasaran dengan tersebut. Apalagi ketika saya baru datang di desa Limboro dan menjelaskan bahwa Indonesia Mengajar datang salah satunya untuk mengisi kekosongan guru di desa terpencil, beberapa warga melaporkan, tidak terlalu jauh dari tempat ini, ada sebuah desa yang jauh lebih terpencil dari Limboro. Dusun  Paminggalan namanya. Di sana ada satu sekolahan. Namun sayang, hanya ada dua guru yang mengajar. Sejak saat itu, saya pun berjanji, sejauh apapun desa itu, akan saya kunjungi. Saya tergugah ingin melakukan sesuatu untuk desa tersebut. Saya berharap Dusun Paminggalan tahun depan akan juga kedatangan pengajar muda dari Indonesia Mengajar. Pagi itu pun saya bulatkan tekad untuk pergi ke Desa Paminggalan. Saya tidak sendiri dalam perjalanan hari itu. Saya pergi bersama Petugas dari Dinas Kesehatan, Kepala Puskesmas Sendana, Dokter Umum, Bidan Desa Limboro, apoteker, dan beberapa perawat pria. Rombongan dari Dinas Kesehatan tersebut memang mempunyai Program Puskel (Puskesmas Keliling). Jadi, setiap tiga bulan sekali mereka keliling ke daerah-daerah terpencil untuk melakukan penyuluhan dan pelayanan pengobatan. Kebetulan rombongan tersebut mengajak saya untuk ikut rombongan. Saya pun merasa sangat senang bahwa akhirnya saya bisa ke Paminggalan. Namun sayang, keluarga dan tetangga-tetangga saya di Limboro merasa keberatan. Mereka terlihat begitu mengkhawatirkan saya. Mereka membujuk saya untuk tidak pergi ke sana. Mereka berkata Paminggalan sangat jauh, medan berat, jalan naik turun, melewati banyak gunung, melintasi banyak anak sungai, dan perjalanannnya sangat melelahkan. Jarak tempuh Limboro ke Paminggalan memang tak dekat. Menurut informasi Kepala Puskesmas Sendana, jarak Limboro ke Paminggalan 11 km. Tidak ada kendaraan yang bisa dinaiki menuju ke sana. Satu-satunya cara harus ditempuh dengan berjalan kaki. Namun tekad saya telah bulat. Saya harus ke Pamenggalan dan melihat sekolahnya secara dekat. Jam delapan pagi rombongan telah siap. Kami pun langsung berangkat. pagi itu cuaca cukup terik. Ternyata benar apa yang warga Desa Limboro katakan, medan tak gampang. Kami harus berjalan kaki mendaki dan menuruni pegunungan. Jalanannya pun tak halus semulus aspal. Jalan tanah liat dihiasi rumput-rumput liar yang harus kami lewati sepanjang jalan. Namun, pemandangan di kanan kiri jalan sungguh menakjubkan. Gunung-gunung menjulang dan hutan-hutan hijau masih terlihat perawan. Stamina pun menit ke menit semakin berkurang. Beberapa anggota rombongan kami ada yang menangis karena kelelahan dan tidak kuat jalan. Padahal perjalanan belum juga setengahnya ditempuh. Tak jauh kami melihat ada beberapa rumah warga. Bidan, dokter, dan beberapa anggota pun akhirnya beristirahat sementara di sana. Saya, Kepala Puskesmas Sendana, dan beberapa anggota rombongan lainnya tetap melanjutkan perjalanan. Beberapa perawat dan apoteker pun jalan lebih dulu karena berburu waktu mengejar jam pulang anak sekolahan. Mereka ingin mengimunisasi anak kelas 1, 2, dan 3 SD Inpres 41 Paminggalan. Tak lama kemudian, sampailah saya di Kampung Pulo’be’. Di Dusun Pulo’be’ ini tidak banyak orang yang tinggal. Dusun ini tidak mempunyai sekolahan. Jadi, jika ada anak dari kampung Pulo’be’ ingin bersekolah, mereka harus pergi sekolah ke Paminggalan yang jaraknya lima kilometer dari tempat mereka tinggal. Mereka hanya bisa menempuhnya dengan berjalan kaki. Jika hari hujan, mereka terpaksa tidak masuk ke sekolah. Bukan karena mereka malas atau takut kehujanan. Jika hari hujan, batu-batu sungai yang biasanya menjadi pijakan mereka, biasanya tertutup air dan menghilang. Sungai meluap dan tidak bisa dilewati. Jembatan pun tidak ada. Akhirnya terpaksa, mereka tidak bisa ke sekolah dan harus belajar sendiri di rumah. Saya hanya melewati dan tidak sempat singgah di dusun ini. Kami pun melanjutkan perjalanan ke Paminggalan. Entah sudah beberapa puncak-puncak bukit yang kami lewati. Entah sudah berapa anak sungai yang kami lintasi. Namun Desa Paminggalan tak juga kami temui. Jam tangan saya pun sudah menunjukkan pukul dua belas. Tidak terasa kami telah berjalan empat jam lamanya. Setelah 11 km berjalan, akhirnya tidak berapa lama sampailah kami di Dusun Paminggalan. Setelah istirahat sebentar di rumah kepala dusun, saya lantas langsung menuju ke sekolah diantar oleh Pak Syarifuddin, warga Paminggalan. Sekolahnya ternyata besar. Ada enam ruang kelas di sana. Jumlah muridnya pun mencapai 93 orang. Namun sayang, ketika saya datang, kebetulan hanya ada satu guru yang mengajar. Sebenarnya, jumlah guru yang aktif ada dua. Bapak Hamzah dan Bapak Jufri. Namun, Bapak Jufri tidak bisa mengajar karena harus menunggu ibunya yang sakit di Rumah Sakit Majene. Jadi, sudah satu minggu Bapak Hamzah mengajar enam kelas sendirian. Sulit dibayangkan bagaimana cara beliau mengajar enam kelas dalam satu waktu secara bersamaan. Sekolah ini memang sangat kekurangan guru. Sebenarnya fasilitas sekolah cukup memadai. Ada enam ruang kelas di sekolah ini. Namun, tiga kelas kosong, tidak terpakai dan kondisinya terbengkalai. Ini karena hanya ada dua guru yang mengajar. Jadi, dua kelas digabung menjadi satu. Kelas 1 dan 2 digabung dalam satu kelas. Begitu juga kelas 3 dan 4, kelas 5 dan 6. Pak Hamzah pun harus keluar masuk kelas dan bergantian mengajar. Setelah masuk di kelas 1 dan 2, beliau pindah ke kelas 3 dan 4. Kemudian pindah lagi ke kelas 5 dan 6. Kemudian kembali lagi ke kelas 1 dan 2. Begitu seterusnya. Tidak ada istilah istirahat bagi beliau. Ironisnya, sebenarnya banyak guru yang terdaftar di sekolah tersebut. Ada 7 guru PNS dan 10 guru honorer. Namun pada kenyataan di lapangan, hanya ada dua guru yang mengajar. Kondisi yang sangat menyedihkan. Ketika esoknya saya pulang kembali ke Limboro, di Sungai Paminggalan saya sempat berpapasan dengan empat anak SD Paminggalan yang tinggal di Pulo’be’. Saya tanyakan anak-anak tersebut berangkat jam berapa dari rumah. Ternyata mereka telah berangkat dari pukul setengah enam pagi. Langsung saya lihat jam tangan saya. Ternyata waktu telah menunjukkan pukul 07.00 WITA. Mereka ternyata telah berjalan selama satu setengah jam. Namun, belum sampai juga di sekolahan. Memang jarak dari Pulo’be’ ke Paminggalan tidak dekat. Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, butuh jarak lima kilometer ke sana yang hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Mereka yang dari Kampung Pulo’be’ memang harus bersekolah ke Paminggalan karena tidak ada sekolah di kampungnya. Saya begitu sedih melihat wajah-wajah mereka. Saya membayangkan bagaimana mereka yang sudah begitu jauh berjalan melewati beberapa anak sungai dan jalan-jalan terjal, tetapi ketika sampai di sekolah, guru yang mengajarnya tidak ada. Padahal, mereka telah bangun pagi-pagi, bersemangat dan bersusah payah menaiki dan menuruni bukit-bukit untuk datang ke sekolah. Begitulah wajah Paminggalan dan sekolahnya. Semoga semangat anak-anak kecil itu dapat menggugah guru-guru untuk datang mengajar mereka. Semoga peluh dan jejak-jejak yang mereka telah tempuh selama dalam perjalanan dapat dibayar lunas dengan pendidikan yang memuaskan. Semoga Indonesia Mengajar juga dapat mengirimkan pengajar mudanya untuk membantu mengajar di sana. Membangkitkan mimpi-mimpi mereka yang terbenam. Membantu mereka menjadi bunga yang mekar dan menebar harum bagi desanya. Saya percaya, mereka bisa membuat desa tercintanya tersebut tidak lagi menjadi desa tertinggal. Melihat semangat anak-anak Paminggalan untuk dapat mengenyam pendidikan, tentu majunya Desa Paminggalan bukanlah hanya sebuah impian. Limboro, 1 Desember 2010 Saktiana Dwi Hastuti

Cerita Lainnya

Lihat Semua