info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Misteri Uang Roti

Saktiana Hastuti 15 Februari 2011

Misteri Uang Roti

Entah cara-cara apalagi yang akan mereka perbuat. Setiap hari selalu saja ada pelangi. Setiap hari selalu saja mereka membuat saya jatuh hati. Membuat saya semakin mencintai mereka. Membuat saya selalu senang bersama mereka. Jumat kemarin, mereka mengejutkan saya dengan hal-hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Pagi itu, saya kembali sakit. Demam tinggi dan kepala pening. Sejak semalam, saya tidak bisa memejamkan mata. Saya terus-terusan mengeluarkan suara-suara. Suara-suara seperti orang mengigau. Badan saya malam itu panas sekali. Namun telapak kaki saya dingin membeku. Ibu dan ayah saya begitu khawatir melihat keadaan saya. Kebetulan bidan yang bertugas di desa saya sedang tidak ada.  Mereka lantas berinisiatif memanggilkan dukun desa. Kata dukun desa, saya ditegur makhluk halus di puncak Gunung Limboro. Memang, hari Kamis sore saya pergi ke puncak untuk menelepon seseorang. Saya memang harus ke puncak yang jaraknya 3 km dari rumah tempat saya tinggal. Itupun jika saya beruntung bisa menelpon karena sinyal di puncak gunung tidak bagus. Jadi tak jarang saya harus turun gunung menempuh jarak 10 km dengan jalan yang kemiringannya begitu terjal menuju Pelabuhan Palipi, Majene, hanya untuk menelepon. Tok.. tok.. tok.. Suara ketukan pintu terdengar dari luar kamar saya. Saya pun menjawab dengan suara yang parau “iya...” Ternyata wajah lembut yang sangat saya kenal masuk ke dalam kamar saya. Beliau adalah Ibu Aji, ibu angkat saya di kota Majene ini. “Nak, dicari anak-anak.” Suara riuh anak-anak yang berbisik-bisik memang telah saya dengar sejak tadi. “Dako marocak.. dako marocak..!” ujar mereka saling menenangkan. Dako marocak dalam Bahasa Mandar artinya jangan ribut. Mendengar suara anak-anak didik hadir di rumah membuat saya terkejut. Saya lirik jam dinding di kamar saya yang ternyata  masih menunjukkan pukul 07.40 WITA. Saya langsung bertanya-tanya mengapa mereka tidak bersekolah. Saya berusaha untuk mengajak tubuh saya meninggalkan tempat tidur saya dan beranjak menemui mereka yang menunggu di luar kamar. Namun sayang, saya gagal. Tubuh ini masih terlalu lemah untuk berdiri. Saya pun lantas memanggil mereka untuk masuk ke kamar saya. Dengan langkah malu-malu mereka berjejal antre untuk masuk ke kamar saya yang lebarnya kira-kira 3 x 2,5 cm. Mereka cium tangan saya satu per satu. Tak ada kata yang mereka ucapkan kepada saya pagi itu. Mereka hanya berjejer dan tersenyum malu-malu. “Mengapa tidak sekolah?”, ujar saya berusaha memecah kebekuan yang ada. Tak ada kata yang keluar dari bibir mungil mereka. mereka hanya senyum-senyum tersipu malu. Menundukkan kepala, menyenggol-nyenggol teman-temannya sambil sekali-sekali melirik wajah saya. Mereka pun tiba-tiba pamit keluar. Sekali lagi, tanpa sepatah kata pun. Mereka hanya mencium tangan saya lantas beranjak keluar dengan langkah malu-malu. “Sekolah ya anak-anak. Belajar di kelas. Terima kasih sudah datang...” Rumah ini kembali sepi. Semua anak-anak saya sudah ke sekolah kembali. Walaupun kedatangan mereka hanya sebentar dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ada haru yang menyelinap di hati saya. Mereka berbondong-bondong ke rumah hanya untuk mencari ibu gurunya yang tak ditemuinya pagi itu di kelasnya. Sungguh anak-anak saya luar biasa. Ketika saya ingin memejamkan mata kembali, suara ribut-ribut telah kembali hadir di rumah ini. Saya hafal betul suara itu. Ya, suara anak-anak murid saya kelas lima. “Ibu, ini roti dari kami untuk ibu. Cepat sembuh, ibu.” Arman masuk ke dalam kamar saya dan meletakkan dua buah roti bantal di meja belajar saya. Setelah meletakkan roti, ia bergegas lari ke luar kamar. Alwi, anak murid saya yang lain, tiba-tiba menyusul masuk dengan roti besar di tangannya. “Ibu, ini roti dari Ijal. Tadi Ijal dikasih uang lima ribu sama amma’nya.” Setelah memberikan roti, tak berbeda dengan Arman, ia pun lari ke luar kamar. Kamar saya kembali sepi. Sayup-sayup masih saya dengar suara anak-anak yang berbisik-bisik di luar kamar saya. Ada yang lain pemandangan di kamar saya kini. Tumpukan roti-roti besar kini memenuhi meja belajar saya. Saya menggeleng-geleng kepala. Anak-anak saya memang luar biasa. Mereka bukanlah anak-anak kaya seperti anak-anak di kota. Penghasilan orang tua mereka rata-rata hanya hasil dari perkebunannya. Dari mana mereka mendapatkan uang untuk membeli roti-roti besar itu untuk saya? Misteri uang roti. saya berniat untuk memecahkan misteri tersebut secepatnya. Suara anak-anak masih terus mengalun sayup-sayup dari kamar saya. Saya pun memaksakan diri untuk bangun dari ranjang saya. Walaupun kepala saya masih sangat pening, saya memaksa diri saya untuk bangun dan menemui mereka. Saya pun ke luar dari kamar saya. Ternyata mereka tidak kembali ke sekolah. Mereka duduk-duduk di depan halaman rumah saya dengan tas-tas sekolah di tangan. saya pun lantas segera menanyakan kepada mereka. “Kenapa tidak kembali ke sekolah?” “Tidak ada guru, Bu..!” Saya pun lantas masuk kamar. Tak sampai dua menit, saya telah kembali menemui mereka dengan setumpuk kertas origami dan spidol-spidol di tangan. “Ayo, kita belajar di sini saja ya,” ujar saya kepada mereka yang rautnya tampak ceria melihat benda-benda yang ada di gengaman saya. “Ibu, kita belajar SBK ya? Menggambar ya, Bu? Pakai spidol-spidol ya Bu?” ujar Nurmi, salah satu murid saya dengan nada penasaran. Nurmi merupakan anak perempuan saya yang paling berani, rajin, dan pintar. Ia anak piatu. Ketika ia lahir, ibunya meninggal. Ayahnya sudah menikah lagi dengan wanita lain. Sejak kecil, neneknya yang merawatnya. Neneknya seorang tuna netra. “Tidak sayang. Kita belajar bahasa Indonesia ya. Maaf ya, kita harus belajar di rumah, bukan di sekolah. Sekarang, coba kalian buat puisi di kertas origami ini. Terserah kalian ingin menulis apa saja. Menulis tentang bunga, tentang orangtua kalian, tentang cita-cita, tentang binatang, tentang guru, atau tentang apa saja.” Mereka pun lansung antusias menulis kata-kata di atas kertas origami mereka. Ibu guru Wahai ibu guru yang aku sayang Semoga cepat sembuh Kalau kau sakit Aku juga merasa sakit kalau kamu sakit Oh, ibu guru Seandainya kamu tidak pakai jilbab Kamu tetap cantik terlihat Dan aku merasa senang Kalau kamu senang Buat ibu guru sakti Buat ibu guruku tersayang Lembar demi lembar tulisan mereka pun saya baca. Kemudian, saya baca kembali tulisan dari Arman. Ibu guruku Saya berterima kasi sama ibu sakti Kaula yang persenangkan hati kami Di SD, kaula juga saya bisa menangkap ular-ular Saya berterima kasi lagi Tapi kamu sakit hari Jumat Saya pigi sini ke rumah Bu Aji membawa roti Tapi kamu ibu sakti Bisa lagi menulis Tapi tidak di sekolah Kamu ibu sakti Kamu memang hebat Terima kasi ibu sakti Cepa cepa lah sembu Entah mengapa air mata saya menetes. Saya menangis membaca puisi-puisi mereka. Hampir 80% mereka menulis puisi tentang saya. Padahal, saya memberikan tema bebas kepada mereka untuk memilih bahan tulisan mereka. Namun, mereka lebih memilih menulis tentang saya. Mereka lebih memilih menuliskan ucapan-ucapan doa untuk kepulihan kesehatan saya. “Bu, uang kas kita habis. Tinggal tiga ribu.” Begitulah laporan pertama pagi itu yang saya dengar ketika Senin saya telah sehat dan kembali lagi ke sekolah.  Wajah saya mengerut. Uang kas. Ya, sejak pertama saya resmi menjadi wali kelas mereka, saya membuat adanya uang kas di kelas ini. Setiap satu minggu, mereka membayar Rp 500,00. Uang kas ini dipakai untuk menjenguk jika ada teman-teman mereka yang sakit lebih dari tiga hari. Uang kas juga bisa dipakai untuk keperluan kelas lainnya. “Kenapa bisa habis?” tanya saya kepada seluruh murid anak kelas lima yang kini tertunduk ketakutan. Tidak ada yang menjawab. Semua menunduk. “Toni, kenapa bisa habis?” tanya saya kepada Toni. Toni merupakan murid saya kelas lima yang saya beri jabatan sebagai bendahara kelas. “Tidak Bu,” ujar Toni dengan wajah ketakutan. “Ayo, jujur sama Ibu Toni.” “Maaf Ibu. Uangnya kemarin untuk beli kande-kande Bu Guru.” Saya pun tersenyum. Tak jadi marah. Tak jadi gelisah. Ternyata uang kas kami yang berkurang sepuluh ribu dibelanjakan untuk membeli roti. Saya pun lantas senyum-senyum sendiri. Selesai sudahlah misteri uang roti. Limboro, 20 Desember 2010

Cerita Lainnya

Lihat Semua