info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Keteladanan di Tengah Keterbatasan

Saktiana Hastuti 9 Desember 2010
Keteladanan di Tengah Keterbasan “Penampilan fisik hanyalah sekilas dari apa yang sebenarnya tidak terlihat.” Anaxagoras, Filsuf Yunani Untaian kata dari Anaxagoras, seorang Filsuf Yunani, tampaknya begitu menggelitik saya. Penampilan fisik memang hanyalah sekilas dari apa yang sebenarnya tidak terlihat. Begitulah yang saya pelajari ketika melihat sosok seorang guru SD di tempat saya mengajar sekarang, SD N 19 Limboro. Saya mengenalnya ketika persiapan upacara bendera. Beberapa guru SD N 19 Limboro tampak berjejer bersiap mengikuti upacara bendera pagi itu. Seorang lelaki separuh baya yang belum sempat saya kenal sebelumnya datang menghampiri saya. Dengan tangan dan badan yang gemetar ia memperkenalkan dirinya kepada saya. Bapak Basir, guru kelas enam. Begitu beliau memperkenalkan dirinya. Kami sempat berbincang beberapa saat sebelum ritual Senin pagi tersebut dimulai. Ia meminta maaf karena tangannya selalu gemetar. Bukan karena ia grogi, melainkan penyakitnya yang membuat tubuhnya tidak dapat diam. Ia juga menunjukkan pergelangan tanggannya yang memerah dan lebam. Pak Basir bertutur bahwa ia telah mengajar 24 tahun silam. Namun belasan tahun silam, cobaan datang menerpa hidupnya. Ia dihinggapi penyakit yang tidak ia ketahui apa namanya. Walaupun sakit, ia tetap terus mengajar anak murid-muridnya. Saya pun diam-diam merasa penasaran dengan kehidupannya. Di hari Idul Adha ditemani oleh Kaisa yang juga guru di SD N 19 Limboro, saya berniat berilaturahmi dengan beliau. Ketika sampai di rumahnya yang tidak jauh dari tempat tinggal saya sementara, tampak istrinya menyambut kami dengan ramah. Pak Basir tampaknya sedang tidak ada. Kami pun menunggu beberapa saat. Tidak lama beliau datang.  Kami pun mulai bercerita-cerita. Di siang itu, ia perlahan-lahan menceritakan sepenggal kisah hidupnya. Mendengarnya bercerita, saya semakin terkesima. Penyakit aneh. Begitu ia menyebut penyakit yang telah dideritanya belasan tahun. Berkali-kali ia berobat ke dokter. Jawaban yang diterimanya pun tetap sama.  Normal. Begitulah dokter-dokter terus katakan. Saya pun agak heran. Melihat penampilan beliau, sungguh ada yang tidak normal. Badannya terus bergetar. Tangannya dan badannya pun sering keringatan. Jalan atau berdiri pun tak sanggup lama. Tidak mungkin kalau beliau sehat-sehat saja. Pasti ada apa-apa. Beliau dengan agak terbata-bata kembali bercerita. Ia bercerita tentang bagaimana ia tetap terus bersyukur dengan penyakit yang diberikan kepadanya. Ia mengaku bahwa penyakitnyalah yang membuat ia bisa mengajar mengaji sekarang. Tahun-tahun sebelumnya kondisinya  begitu payah. Ia hanya bisa duduk-duduk di rumah. Namun semangatnya mengajar tak henti. Kegiatan belajar mengajar pun  tak lantas usai. Ia tetap mengajar. Ia memindahkan kelas ke dalam rumah. Rumahnya pun untuk sementara menjadi sekolah sebagian muridnya. Luar biasa. “Saya tidak mau memakan uang haram jika tidak mengajar. Jika saya masih bisa mengajar, saya pasti akan berangkat untuk mengajar.” Begitulah komitmennya terhadap pekerjaannya. Saya melihat sosok guru yang berdedikasi tinggi dan berloyalitas luar biasa di diri beliau. Suatu pagi, saya pernah mendapati ia sudah ada di kelas. Anak-anak yang diajarnya pun sudah masuk di dalam kelas. Padahal, jadwal resmi masuk kelas jam 07.30 WITA. Saya lihat jam tangan saya dan waktu masih menunjukkan pukul 07.10 WITA. Esok harinya diam-diam saya bertekad untuk berlomba dengan beliau. “Saya harus bisa datang lebih pagi”, ujar saya dalam hati. Namun berkali-kali saya kalah. Padahal saya dari rumah sudah berangkat pukul 06.45 WITA. Namun tetap saja Pak Basir yang menang. Beliau ternyata sudah duduk manis di dalam ruangan. Saya merasa begitu malu. Saya muda dan berbadan sehat, tetapi selalu kalah cepat dengan beliau yang sudah tua dan berbadan kurang sehat. Hari ke hari membuat saya semakin mengagguminya. Suatu waktu, saya sedang mengajar di kelas. Dari kelas sebelah, terdengar suara anak-anak menyanyi dan tertawa-tawa. Begini kira-kira syair lagu yang dinyanyikan mereka yang masih saya ingat. Kalau kau senang hati tepuk tangan Kalau kau senang hati tepuk tangan Kalua kau senang hati tepuk tangan Kalau kau senang hati Mari kita lakukan Kalau kau senang hati tepuk tangan Bukan hanya lagu itu saja. Lagu-lagu lain pun dinyanyikan dengan nada gembira. Berbagai macam jenis tepuk pun menambah kecerian mereka siang itu. Kemudian terdengar tepuk Pramuka. Oh, ternyata kelas sebelah yang juga merupakan kelas enam sedang belajar Pramuka. Ketika saya keluar dan mengintip ruang kelas tersebut, ternyata Pak Basyir sedang asyik berdiri mengajar Pramuka. Di hari itu saya semakin tahu. Beliau ternyata bukan hanya sosok guru yang berdedikasi tinggi, berloyalitas luar biasa, dan begitu mencintai murid-muridnya. Beliau ternyata juga guru yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang tak kalah hebatnya. Hari itu waktu pun sudah menunjukkan pukul 12.00 WITA. Setelah anak-anak kelas lima pulang, saya tak lantas pulang. Saya berniat ingin mengobrol dengan Pak Basir terlebih dahulu. Saya tunggu di depan ruang guru dekat pintu gerbang sekolah. Ternyata Pak Basir tidak lewat pintu itu. Ia pulang lewat jalan belakang sekolahan. Saya  heran. Saya pun lantas bertanya kepada guru lainnya yang masih ada di ruang guru. Mereka menjelaskan bahwa memang sudah lama Pak Basir tidak bisa lewat jalan. Jika lewat jalan raya seperti jalan depan sekolah, ia merasa seperti akan pingsan. Oleh karena itu, belasan tahun hidupnya hanya dihabiskan di rumah, jalan belakang sekolah, dan sekolah. Sosok Pak Basir sungguh menginspirasi saya. Segala keterbatasan yang dimilikinya tidak sedikit pun mengurangi semangatnya mengabdi. Penyakit yang menggerogotinya beberapa belas tahun silam tidak pernah sedikit pun membuatnya berhenti mengajar. Ia terus menerus mendedikasikan peluh keringat dan pikiran untuk dunia pendidikan. Bukan untuk dirinya, melainkan untuk murid-murid tercintanya. Pak basir benar-benar mengajarkan kepada kita keteladanan di tengah keterbatasan.  Semoga saya dan kita semua dapat mencontoh keteladanannya. Limboro, 21 November 2010 Saktiana Dwi Hastuti

Cerita Lainnya

Lihat Semua