Ada Pelangi di Kelas Kami
Saktiana Hastuti 9 Desember 2010
Ada Pelangi di Kelas Kami
“Ketahuilah, hal-hal terindah di dunia ini terkadang tak bisa terlihat dalam pandangan atau teraba dengan sentuhan. Mereka hanya bisa terasakan dengan hati.”
Begitulah ungkapan dari Helen keller, penulis tuna wicara-netra dari Amerika serikat, yang ternyata memang saya rasakan belakangan ini. Ada hal-hal terindah yang memang tidak bisa dilihat atau disentuh. Mereka memang hanya bisa dirasakan dengan hati. Ya, kehadiran anak-anak murid saya di kehidupan saya saat ini adalah hal-hal terindah yang saya rasakan sekarang ini. Mereka adalah pelangi. Pelangi yang selalu dapat saya lihat setiap hari. Cinta mereka dan ketulusan hati mereka. Memang semua itu tidak terlihat oleh mata dan tersentuh oleh raga. Namun, ia bisa dirasakan di dalam jiwa.
“Assalamualaikum.. Ibu.. Ibu guru...”
Begitulah panggilan ramai suara anak-anak membangunkan saya dari tidur di sabtu kemarin. Saya lihat jam dinding kamar yang ternyata sudah menunjukkan pukul 09.15 WITA. Kepala saya masih terasa agak pening. Namun suara panggilan anak-anak dari luar yang terus menerus menggema membuat saya bergegas bangun ke luar kamar.
Saya pun bergegas ke halaman. Tidak disangka, anak-anak murid yang saya ajar, yaitu anak-anak kelas lima SD N 19 Limboro telah berdiri manis di depan pagar. Saya pun lantas menyuruh mereka semua masuk ke dalam pekarangan. Dengan langkah dan senyum yang malu-malu mereka membuka sepatu dan sandal mereka kemudian masuk ke dalam rumah orang tua angkat saya di sini.
“Ibu, kami mau menjenguk Ibu Guru!” celetuk seorang anak murid saya yang saya kenal betul suaranya. Ya, Arman yang berbicara. Ia anak saya yang paling aktif berbicara dan paling lancar berbahasa Indonesia.
Saya pun kemudian menanyakan kepada mereka siapa yang menyuruh mereka menjenguk saya. Mereka pun dengan wajah yang malu-malu berbicara bahwa tidak ada yang menyuruh mereka. Mereka sendiri yang berkeinginan menjenguk saya.
Saya pun tersenyum melihat wajah-wajah lugu mereka. Perasaan haru luar biasa menyelimuti saya di Sabtu pagi itu. Saya memang izin mengajar hari itu karena sakit diare sejak Jumat sore. Jadi, saya tidak dapat mengajar mereka hari itu. Namun tidak di sangka, baru satu hari tidak masuk saja, mereka berbondong-bondong menjenguk saya. Memang, jarak sekolah ke rumah saya tidaklah jauh. Mungkin sekitar 80 meter. Namun, mereka rela untuk korbankan waktu istirahat mereka hanya untuk datang ke rumah saya dan melihat keadaan ibu gurunya. Ingin menangis rasanya saya. Menangis haru dan bahagia disayangi mereka.
“Ibu, tadi Fitriani tidak piket kelas Bu!” ujar Arman kepada saya. Arman memang murid saya yang saya beri jabatan sebagai Bapak Menteri Lingkungan Hidup. Jadi, ia diberi tugas sebagai penjaga kebersihan dan pengawas petugas piket kelas. Jika ada siswa yang tidak piket kelas sesuai dengan jadwal yang telah disepakati bersama, Arman bertugas mencatatnya dan melaporkannya kepada saya.
“Ibu, tadi kelas tidak ada yang ribut Bu Guru. Semuanya aman! Tidak ada yang marocak! ”, ujar Alwi menyambung perkataan Arman. Dalam Bahasa Mandar, marocak artinya ribut.
Berbeda dengan Arman, Alwi memang saya tugaskan sebagai polisi kelas. Jadi, ia bertugas untuk mengamankan kelas, melerai perkelahian, menenangkan temannya yang menangis dan mencatat semua kejadian tersebut. Memang anak-anak yang saya ajar sangat senang menangis dan berkelahi. Namun setelah ada polisi kelas, tangis dan perkelahian di kelas jauh berkurang. Saya memilih Alwi karena ia anak yang paling senang berkelahi di kelas. Walaupun ia laki-laki, ia juga sering menangis. Oleh karena itu, saya menunjukknya sebagai polisi kelas agar ia perlahan-lahan berubah. Ternyata jabatan sebagai polisi kelas menjadi kehormatan baginya. Setelah peresmian pengangkatan jabatan hingga saat ini, anak laki-laki saya yang satu itu tidak pernah menangis dan berkelahi lagi.
Saya tersenyum melihat tingkah laku mereka. Belum juga genap satu bulan, tetapi saya merasakan mereka menyayangi saya dengan tulus dan dalam.
Tidak hanya sampai di situ bukti sayang dan perhatian mereka kepada saya. Senin pagi, saya masuk ke kelas dan langsung melihat kotak peri. Kotak peri adalah kotak yang kami buat bersama-sama sebagai kotak yang menyimpan surat-surat. Surat-surat tersebut adalah surat-surat dari peri-peri. Peri-peri yang dimaksud adalah kami semua, warga kelas lima, termasuk juga saya. Jadi, masing-masing anak mempunyai satu kotak yang bertuliskan nama-nama mereka.
Kami menamakan kotak surat tersebut sebagai kotak peri karena surat-surat yang ditulis membantu kami untuk menjadi orang yang lebih baik. Jika ada teman yang bersikap tidak baik, temannya boleh mengingatkannya dengan cara menulis surat dan memasukkannya ke dalam kotak yang bertuliskan nama teman yang diingatkannnya tersebut. Jika ada teman yang membantu dalam hal apapun, ia boleh mengucapkan terima kasih melalui kotak peri tersebut. Permohonan maaf juga bisa dilakukan melalui kotak peri. Biasanya, sebelum pulang sekolah, saya memasukkan surat-surat dari saya ke masing-masing kotak peri anak-anak. Surat-surat tersebut berisi pujian untuk anak-anak yang telah menjadi anak manis hari itu atau berisi peringatan dan dorongan semangat berubah untuk anak-anak yang melanggar peraturan.
Hari itu, kotak peri saya begitu penuh. Surat-surat berjejal. Bergegas saya baca surat-surat dari mereka satu per satu.
Ibu guru aku di kelas lima, cepat sembuh ya...
Ibu, saya sangat suka diajar Ibu Guru Sakti. Cepat sembuh ibu guruku. Kami menunggumu..
Cepat sembuh dan mengajar lagi Ibu Guru Sakti. Jangan sakit karena kami mau diajar lagi sama Ibu Sakti..
Entah bagaimana rasanya saya detik itu. Saya begitu terharu. Rasanya saya ingin memeluk mereka satu per satu. Mengucapkan terima kasih dan mengatakan kepada mereka, “Ibu bahagia mempunyai kalian.”
Saat ini, saya tidak perlu menunggu hujan reda untuk menyaksikan indahnya pelangi. Oleh karena saat ini, selalu ada pelangi di kelas kami. Ya, anak-anak murid kelas lima dengan guratan warna-warnanya. Kasih dan ketulusan mereka benar-benar lukisan keindahan. Memang tidak terlihat secara kasat mata atau teraba dengan raga. Namun seperti kata Hellen keller, terkadang hal-hal terindah memang hanya bisa terasakan dengan hati.
Limboro, 6 Desember 2010
Saktiana Dwi Hastuti
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda