info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Dari Belut Turun ke Hati

Saktiana Hastuti 15 Februari 2011

Dari Belut Turun ke Hati

“Ibu.. Ibu... Assalamualaikum.. Ibu.. Ibu Sakti..!” Begitulah panggilan anak-anak dengan nada riang mengangetkan saya pagi itu. Ya,  saya hafal betul suara-suara itu datang dari suara-suara anak saya.  Saya sedang di kamar membereskan perlengkapan ini itu untuk saya mengajar nanti. Saya lirik jam dinding yang tepat kini berada di depan wajah saya. Jam 06.12 WITA. Ada apa mereka pagi-pagi mengunjungi saya? Saya pun bergegas ke luar kamar dan menemui mereka yang sudah berdiri manis dengan wajah gembira di depan halaman. Mereka sudah rapi memakai seragam merah putih. Mereka adalah Arman, Toni, Adi, Dardi, Ijal, dan Ahmad. Mereka murid saya di kelas lima SD N 19 Limboro Majene, Sulawesi Barat. “Ibu.. Ibu.. kami dapat belut. Ini Bu!” Dengan wajah yang begitu riang Arman menunjukkan seekor binatang panjang seperti ular yang sudah teronggok mati dengan mulut yang masih tertancap di pancingan. Saya pandangi wajah-wajah mereka satu per satu. Mereka senyum malu-malu. Kemarin, saya dan anak-anak murid saya memang mencari belut bersama-sama. Sebelumnya, kami latihan Paskibra. Ya, saya memang berinisiaatif mendirikan ekstrakurikuler Paskibra di sekolah tempat saya mengajar. Mereka pun berantusias untuk datang ke lapangan dan mengikuti latihan. Kemarin merupakan pertemuan ketiga kami. Anak-anak kini mulai pintar berbaris rapi. Saya jadi teringat. Ketika pertama kali saya melatih Paskibra, mereka begitu susah membedakan hadap kiri dan hadap kanan. Ketika aba-aba lancang depan saya perintahkan, tidak sedikit yang lancang depan dengan menggunakan tangan kiri. Lebih kacaunya, jika aba-aba “langkah tegak maju” telah digaungkan. Beberapa anak gerak jalan dan maju dengan kaki kanan dan tangan kanan bersama-sama. Mereka berubah menjadi robot-robot manusia .Tak jarang kami pun lantas tertawa bersama-sama. Begitulah setiap Rabu sore kami bersama-sama belajar Paskibra. Setelah latihan Paskibra hari itu, mereka berinisiatif mengajak saya untuk memancing belut. Kata mereka, belut di sungai cukup banyak. Namun, cara memancingnya tidaklah seperti memancing ikan. Harus menunggu semalam untuk memastikan apakah kita berhasil atau tidak mendapatkan hasil pancingan. Mungkin kata yang lebih tepat bukanlah memancing, tetapi menjerat belut. Sore itu pun kami berbondong-bondong ke sungai yang jaraknya satu kilometer dari tempat kami latihan. Anak-anak saya sudah siap dengan peralatan tempurnya. Plastik-plastik yang berisikan cacing-cacing di tangan kiri dan kail-kail pancing di tangan kanan. Kami memasang enam perangkap hari itu. Setelah memasng jerat-jerat untuk belut, kami pun bersama-sama pergi ke makula untuk mandi bersama. Makula merupakan Bahasa mandar yang artinya air panas. “Ibu, ini! Sudah kami ambil tadi pagi”, ujar Arman membangunkan saya dari lamunan sambil menyodorkan belut yang sudah mati. “Beruntungnya saya Nak mempunyai kalian”, ujar saya lirih dalam hati. Ya. Begitu banyak cinta di sini. Di desa Limboro ini. Terlalu banyak pelangi di hidup saya belakangan ini. Ketika hari deployment, sebenarnya ada sedikit nada khawatir dalam benak saya. Khawatir jauh dari keluarga dan sahabat-sahabat tercinta. Khawatir apakah saya dapat diterima dan dicintai oleh anak-anak dan masyarakat tempat saya tinggal setahun nanti. Ternyata, kekhawatiran saya pun semuanya sirna. Mereka luar biasa. Mereka memberikan saya begitu banyak cinta yang tak terbayang sebelumnya. Memberikan saya begitu banyak pengalaman yang tidak bisa dinilai harganya. “Ibu, maaf. Kami hanya dapat satu.. Kami ma sirri Bu..” ujar Arman  menyadarkan saya dari lamunan. Ma sirri merupakan Bahasa Mandar yang artinya malu. “Kenapa ma sirri Arman? Kalian hebat. Ibu suka sekali belut! Terima kasih ya.. “Ma sirri karena kami cuma dapat satu, Bu. Besok kami carikan lebih banyak lagi, Bu. Kita cari sama-sama lagi ya, Bu. Saya pun lantas tersenyum mendengar celotehan-celotehan mereka. ya, mereka kini sudah banyak berubah. Mereka sekarang mulai berani berbicara dan lebih percaya diri. Berbeda sekali ketika hari-hari pertama saya mengajar. Anak-anak saya tersebut begitu pemalu dan penakut. Bayangkan, ketika disuruh maju ke depan kelas saja, mereka sudah menangis karena takut dan malu. Ketika ditanya pun, mereka hanya senyum-senyum dan menundukkan kepala. Tidak jarang karena malu mereka lari meninggalkan saya. Namun, itu hanyalah masa lalu. Sekarang mereka telah jauh berubah. Banyak bicara dan tidak lagi hanya menundukkan kepala. Mereka menjadi anak-anak yang lebih percaya diri kini. Saya bangga kepada mereka. “Ibu, belutnya sudah digoreng? Ibu suka?” ujar Arman ketika saya baru saja masuk ke dalam ruang kelas pagi itu. “Belum sayang, belum sempat menggorengnya. Pasti ibu suka. Ibu suka sekali belut. Nanti kalau pulang mengajar, ibu langsung goreng. Nanti kamu dan teman-teman ke rumah kita makan bersama-sama.” “Jangan, Bu. Cuma messa. Ibu saja yang mande. Sebentar ibu tidak basu. Sebentar siang saya sama Adi sama Ijal mau pigi cari belut lagi ya Bu. Sebentar untuk Ibu Sakti.” Messa dalam bahasa Indonesia artinya satu. Mande artinya makan. Sementara basu artinya kenyang. Kata sebentar pun berbeda arti dalam bahasa Mandar. Di sini, arti kata sebentar adalah nanti. Saya pun mengangguk lantas tersenyum dan mengusek-usek kepala Arman. Entah mengapa, pagi itu saya merasa dunia cerah sekali. Mungkin seperti ungkapan dari Nora Roberts seorang novelis Cinta dari Amerika Serikat bahwa cinta memperkaya jiwa dan mencerahkan hati. Ya, saya benar-benar merasakannya kini. Indah sekali. Saya jadi berpikir, sepertinya saya telah jatuh cinta. Namun, jatuh cinta saya berbeda. Bukan dari mata turun ke hati. Mungkin lebih tepatnya dari belut turun ke hati. Limboro, 13 Februari 2010

Cerita Lainnya

Lihat Semua