info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Bangunnya Keke dari Mati Suri

Saktiana Hastuti 9 Desember 2010
Bangunnya Keke dari Mati Suri
“N
ak, ada keke sebentar lagi”, ujar Ibu angkat saya lembut dengan wajah yang Sumringah. Saya yang sedang asyik mempelajari Bahasa Mandar di kamar baru saya segera keluar kamar.  Saya memang begitu penasaran dengan kesenian yang satu ini. Keke namanya. Nama kesenian yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Sebenarnya saya mengenal nama keke dari ayah angkat saya di sini. Beberapa hari lalu, saya bertanya-tanya kepada ayah saya yang juga merupakan tokoh adat di Dusun Limboro. Saya bertanya tentang kesenian yang ada di Limboro. Beliau pun menjelaskan bahwa cukup banayak kesenian yang pernah hidup di Dusun Limboro. Ada suling, rebana, tambolang, sayang-sayang, tari Mandar dan juga keke. Kesenian keke agaknya yang paling menarik perhatian saya. Saya mencoba bertanya tentang semua hal yang berhubungan dengan musik keke. Ayah saya tersebut pun berjanji akan mengundang pemain keke untuk bermain di rumahnya. Menurutnya, tak banyak warga dusun Limboro yang dapat bermain keke. Hal ini disebabkan alat musik keke sudah mati suri sejak lima puluh tahun lalu di dusun ini. Jelas, generasi-generasi yang bukan tahun 50-an atau 60-an, tidak mengenal kesenian ini. Ya, malam ini agaknya saya sangat beruntung. Ayah saya menepati janjinya untuk mengundang pemain keke bermain dan meniup kekenya kembali. Pemain keke tersebut bernama Bapak Sulaimanah, Bapak Samsul, dan Bapak Muhamaad Ali. Suasana rumah saya malam itu begitu ramai. Warga dusun Limboro seolah tidak ingin ketinggalan menyaksikan secara langsung peristiwa bangunnya keke dari mati suri. Ya, malam ini   Keke hidup kembali setelah lima puluh tahun tidur panjang di desa ini. Bapak Sulaimanah yang menurutnya usianya kini sekitar 70 tahun, mulai meniup keke. Suara keke pun mulai terdengar. Sungguh alunan musik keke membuat saya dan sebagian warga dusun Limboro yang menyaksikannya menjadi terpana. Alunan suara dari bambu kecil itu telah membuat kami tersihir dan merinding. Tidak hanya musik keke yang diperdengarkan. Lantunan syair-syair Mandar atau biasa disebut dengan kalinda’da’ pun turut didendangkan oleh Bapak Syamsul dengan iringan musik keke. Malam itu, pertunjukkan keke sungguh membuat saya menjadi sangat terhibur. Para warga Dusun Limboro pun mulai berbisik-bisik. Mereka tampaknya sibuk membicarakan keke yang telah bangun dari mati surinya. Banyak warga Limboro yang ternyata belum pernah mendengar musik tersebut. Hanya orang-orang tua, yang umurnya di atas lima puluhan, yang tampaknya mengenal keke. Para orangtua-orangtua yang berkumpul pun terlihat sangat menikmati dan seolah bernostalgia dengan masa lalunya. Bahkan ada beberapa ibu yang menitikkan air mata. Alat musik yang hampir punah ini ternyata memang alat musik lama. Alat musik ini sudah ada sejak zaman perang Kemerdekaan atau zaman penjajahan Jepang. Keke hadir ketika alat-alat musik tradisional lainnya belum lahir. Bapak Mukdin, yang juga merupakan tokoh adat di Dusun Limboro menceritakan sejarah alat musik keke kepada saya. Ia mengatakan, menurut cerita-cerita dari orang tuanya dulu, alat musik keke dibuat oleh para pejuang kita yang sedang melawan penjajah Jepang. Para pejuang yang sedang bergeriliya di hutan mengusir sepi dengan membuat alat musik keke. Alat musik keke sangat unik. Alat musik ini terbuat dari dua bambu kecil berbentuk suling kecil yang disatukan. Bambu kecil yang pertama dibentuk seperti suling kecil yang mempunyai empat lubang. Sementara itu, bambu kecil yang kedua dibentuk seperti suling tetapi tidak mempunyai lubang. Bambu tersebut diberi celah agar bisa mengeluarkan bunyi. Di ujung bambu pertama diberi daun pisang yang dililitkan diujung badan keke. Panjang keke kurang lebih 20 cm. Alat musik ini dimainakn dengan cara ditiup. Pada awal pembuatannya, keke memang dibuat untuk mengusir penat para pahlawan  kita yang sedang berjuang di hutan Sulawesi. Namun pada perkembangannya tahun 1950an, keke bukan lagi dimainkan hanya sekadar mengusir kebosanan di hutan. Keke dimainkan pada perayaan panen atau pesta pernikahan. Biasanya, keke dimainkan bersamaan dengan dilagukannnya syair kalinda’da. Kalinda’da merupakan syair-syair Mandar yang biasanya dilisankan. Kalinda’da berisi macam-macam tema. Tema-tema tersebut sekitar hubungan dengan Tuhan, tentang rezeki, cinta, dan perilaku masyarakat sosial. Tak jarang juga, kalinda’da’ berisi sindiran-sindiran terhadap orang yang datang pada acara diadakannya pertunjukkan keke. Malam itu, ternyata kalinda’da’ atau syair mandar yang dinyanyikan oleh Bapak Samsul berjudul “Tipalayu”. Tipalayu merupakan kata yang berasal dari Bahasa Mandar. Tipalayu artinya gambaran dari ciri khas wanita remaja mandar yang berparas cantik tinggi dan ramping. Syair Tipalayu bercerita tentang seorang jejaka Mandar yang sedang naik kapal. Ia sedang berlayar hendak merantau. Ketika sedang berada di atas kapal layar, ia membayangkan seorang gadis Mandar. Gadis Mandar itu tipalayu. Sama seperti pertunjukkan wayang kulit di Pulau Jawa, pertunjukkan keke juga terkadang dilakukan semalam suntuk. Namun berbeda dengan dalang yang terus menerus memainkan dari malam hingga pagi hari sendiri, penutur kalinda’da’ dan pemain keke menampilkan secara bergantian. Pertunjukkan keke tidak jarang ikut menampilkan wanita untuk menarik perhatian penonton yang datang menyaksikan. Wanita yang ditampilkan adalah gadis-gadis tipalayu. Gadis-gadis tipalayu ini diletakkan berjejer di depan pemain keke. Jumlah gadis-gadis tipalayu ini bermacam-macam. Jumlahnya sekitar lima sampai sepuluh orang. Di depan gadis-gadis tersebut, terdapat tempat untuk meletakkan uang. Masing-masing gadis tipalayu mendapat satu kotak tempat uang. Biasanya, jika penonton pertunjukkan suka atau tertarik pada salah satu gadis tipalayu yang ditampilkan, ia menaruh uang di depan tempat gadis itu duduk. Malam itu, pertunjukkkan keke yang berlangsung di rumah Pak Saeni yang juga ayah angkat saya, berlangsung hingga pukul 23.00. semua warga yang datang merasa begitu terhibur. Saya juga merasa begitu senang dapat menjadi saksi bangunnya keke dari mati suri. Namun, tidak lantas saya berbangga hati. Ada pekerjaan berat yang harus segera dilakukan. Keke tak mungkin terus dibiarkan. Jika terus terpendam, ia benar-benar akan mati dan hilang dari peradaban. Dusun Limboro pun lantas akan kehilangan aset budaya yang sangat membanggakan. Perlu adanya usaha pelestarian. Pengkaderan terhadap generasi-generasi penerus pun tampaknya menjadi salah satu cara agar musik keke terus berdendang kembali. Semoga pertunjukkan yang ada malam itu menjadi titik tolak kebangkitan musik keke kembali di dusun ini. Limboro, 22 November 2010 Saktiana Dwi Hastuti

Cerita Lainnya

Lihat Semua