Merenung!

Sabda Pambayu 30 Januari 2011
Bajo bukan lah daerah terpencil yang miskin. Laut yang kaya akan ikan merupakan anugrah yang belum benar-benar di manfaatkan oleh masyarakat Bajo. Disini nelayan merupakan pekerjaan utama masyarakat Bajo, tetapi mereka melaut hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja. Dengan hanya bermodalkan kail dan perahu dayung mereka sudah memperoleh ikan yang hanya cukup untuk makan dan jualan ke beberapa rumah. Memang ada beberapa penduduk yang memiliki bagan yang digunakan untuk menangkap ikan teri. Bajo memang daerah penghasil ikan teri di Halmahera selatan. Teri-teri tersebut di kirim ke Ternate yang kemudian akan dikirim ke berbagai daerah di Indonesia bahkan di ekspor ke luar negeri. Tapi keterbatasan pendidikan serta sarana prasarana teknologi untuk mencari pasar menyebabkan masyarakat di Bajo menjual hasil teri-teri mereka dengan harga yang murah ke para tengkulak. Tetapi orang Bajo tetap memiliki semangat ingin maju yang tinggi. Ada beberapa anak suku Bajo yang sekolah sampai ke perguruan tinggi, walau jumlahnya kecil dan terbatas kuliah di daerah Ternate. Hari-hari ku di Bajo memberikan banyak hal yang tak pernah aku terima atau aku temui saat aku di Bima atau di Bogor. Kehidupan yang jauh dari kenyamanan listrik, atau hiruk pikuk kendaraan bermotor yang lalu lalang atau gemerlap kehidupan kota besar. Di Bajo aku menemukan arti kesederhanaan. Teringat satu kalimat yang membuat ku mencoba mengartikannya dengan mendalam. “Lihat lah ke bawah agar kamu pandai bersyukur dan lihat lah ke atas agar kamu berani mengukir cita-cita setinggi langit”. Di sini aku benar-benar melihat satu sisi kehidupan yang membuatku sujud syukur dengan semua yang telah aku dapati selama ini. Sekaligus membuatku melihat ke atas mencoba mengukir cita-citaku, agar kelak andai aku jadi pemimpin bangsa aku akan lebih memperhatikan kehidupan rakyatku, karena Indonesia bukan hanya Jakarta atau Jawa tapi Indonesia adalah Nusantara Raya. Setiap darah leluhur kita tumpah di tanah ini untuk mempertahankan tiap jengkal tanah Ibu Pertiwi. Disini aku melihat tanah itu belum bercahaya dan bangkit seperti kota yang gemerlap. Beberapa hari yang lalu aku sempat menyaksikan acara pernikahan masyarakat Bajo. Pernikahan tersebut dilaksanakan pada malam hari selepas ba’da Isya. Hujan yang rintik-rintik serta angin malam yang kencang tidak menghalang acara pernikahan yang digelar sangat sederhana di rumah mempelai wanita. Jauh dari kesan mewah, sebuah rumah di pinggir pantai di atas laut tempat dilaksanakannya akad  nikah. Pengantin pria merupakan keturunan suku Bacan sedangkan wanita penduduk asli suku Bajo Sangkuang. Undangan yang hadir pun hanya masyarakat sekitar tidak sampai 30 orang. Tampa tenda biru dan hiburan yang meriah khas acara resepsi pernikahan. Setelah ijab kabul, pengantin pria menjemput pengantin wanita di dalam kamar pengantin. Kemudian dilanjutkan dengan do’a seperti halnya do’a-do’a pada acara tahlilan atau syukuran. Malam itu benar-benar membuat hatiku iba sekaligus merasakan acara pernikahan yang benar-benar hikmat. Sekilas aku melihat ada beberapa keluarga pengantin perempuan yang menangis haru karena telah menikahkan anaknya sekaligus menyerahkan tanggung jawab anaknya kepada suaminya. Kebahagiaan dan kemeriahan justru muncul dari anak-anak yang datang melihat acara pernikahan tersebut. Mereka serta beberapa orang tua meneriakkan kalimat “ada orang kawin” berkali-kali dengan logat yang khas, setelah semua acara digelar. Ini lah arti kebahagiaan yang tidak dapat dinilai dari materi. Satu pelajaran yang berarti lagi aku dapatkan di Bajo. Semoga semua ini menjadi pelajaran bagi kita semua.

Cerita Lainnya

Lihat Semua