info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Balada di awal semester II!

Sabda Pambayu 30 Januari 2011
Awal semester baru tidak aku lewati di depan kelas sambil mengajar anak-anak Torosubang ku yang gemar mengail dan mengaji. Minggu pertama semester dua ini aku lalui dengan badan yang terkulai lemah serta berat badan yang turun drastis. Jum’at pertama di bulan Januari aku terbaring di dalam ruang IGD Rumah Sakit Daerah Labuha entah malaria atau demam berdarah penyebabnya. Perasaan bercampur aduk antara sakit yang membuat kepala terasa pecah dan badan yang menggigil saat malam mulai menghampiri, dengan pikiran gelisah yang terlintas dalam benak ku akan nasib anak-anak Torosubang yang akan memasuki semester baru tampa kehadiran pak Aji yang selalu mengajak mereka tersenyum saat pelajaran mulai mereka lahap dengan penuh semangat. Bukan hanya kawatir karena tidak adanya aku yang menyambut mereka di depan sekolah saat mereka datang ke sekolah tetapi rasa kawatir akan tidak adanya guru yang datang mengajar. Rumah sakit menjadi tempat sementara aku menjalani rutinitas semester baru. Lima botol infus aku lahap sampai pada senin dini hari, saat jarum itu tiba-tiba terlepas dari urat ku dan mulai mengucurkan darah. Sejak itu aku sudah tidak lagi mulai mengalirkan cairan-cairan infus ke dalam badan ku. Perasaan gelisah ingin cepat sembuh karena kawatir akan nasib murid-murid ku yang memasuki semester baru masih membayangi ku. Lima hari pun terlewati, aku pun bisa keluar dari kamar putih tempat aku di rawat. Keesokan harinya pun aku memutuskan untuk pulang ke Bajo dengan badan yang masih lemas tapi penuh perasaan rindu bertemu anak-anak Torosubang. Kamis hari ke empat semester dua aku mulai menginjakan kaki di SD Torosubang, Bajo. Jam tangan yang melilit tangan kiri ku menunjukkan angka 07.15 wit. Di sekolah itu hanya terlihat empat orang anak kelas empat dan kelas satu yang sedang duduk berjemur di bawah mentari pagi mengharapkan adanya kehangatan di pagi itu, karena udara saat itu memang terasa dingin hingga ke tulang. Lima belas menit pun berlalu anak-anak mulai berdatangan. Di raut wajah mereka ada sejuta pertanyaan saat melihat aku yang nampak pucat berdiri di depan ruang guru menanti kedatangan mereka. Kemudian aku pun menyuruh mereka untuk berbaris dan memanggil Ojan, ketua kelas lima, untuk memimpin apel pagi yang rutin dilaksanakan tiap pagi. Setelah salam mereka ucapkan aku pun mulai menyakan kabar mereka. Tiba-tiba ada satu orang anak kelas lima bertanya “pak Aji su balik dari Jakarta”?. Aku pun terkejut mendengarkan pertanyaan dari anak yang memang aktif di tiap jam kelas ku. Tidak adanya aku beberapa hari di awal semester membuat murid-murid ku mengira bahwa aku telah pulang ke Jakarta. Setelah aku jelaskan bahwa aku kemarin sempat masuk rumah sakir mereka pun mulai mengerti kenapa aku tidak dapat hadir di awal minggu ini. Anak-anak Torosubang pun mulai masuk ke dalam kelasnya masing-masing. Saat aku di ruang guru mempersiapkan peralatan mengajar ku, tidak terlihat seorang guru pun yang hadir dalam ruangan itu. Aku pun menuju kelas V, kelas pertama di awal semester ini. Semester dua aku akan mengajar pelajaran IPA dan Matematika kelas IV dan V. Selain menjadi guru panggilan apabila ada kelas yang kosong karena tidak ada guru yang mengajar. Sejak awal aku hadir di sekolah ini tingkat kehadiran guru sangat rendah. Terkadang aku harus mengajar sendiri dalam beberapa hari. Entah apa alasan yang membenarkan para guru itu tidak datang melaksankan kewajiban mereka. Terkadang aku harus mengajar tiga kelas dalam satu waktu pelajaran. Hari Kamis ini pun aku harus mengajar kelas V, kelas IV dan kelas I, karena tidak ada satu pun guru yang datang termasuk kepala sekolah. Ketika jam istrahat aku pun mulai bertanya kepada anak-anak Torosubang ku. “ikbal, kemarin pas pak Aji tara masuk ada tarada guru yang masuk” aku bertanya pada salah seorang anak kelas IV yang selalu rajin datang ke sekolah. “Tarada pak Aji (tidak ada pak Aji)” jawabnya. Ternyata kekawatiran ku selama ini terbukti sudah. Awal semester ini anak-anak Torosubang ku melewati jam belajar sekolahnya dengan bermain bola dan bercanda dengan teman-temannya. Para guru masih terlena dengan waktu liburan. Dalam hati aku bertanya “apa guru-guru itu tidak merasa malu, saat anak-anak ini bersemangat menuntut ilmu, sedangkan mereka masih meliburkan diri. Apa pun alasan mereka, bagiku meninggalkan murid bukan sesuatu hal yang dibenarkan.” Sepulang sekolah aku mengunjungi salah satu rumah guru, ternyata guru yang bersangkutan masih berlibur di kampung istrinya. Semoga minggu selanjutnya akan ada kesadaran dari para guru untuk kembali ke sekolah, sehingga mereka tidak mudah meninggalkan tanggunga jawab mereka mengajar anak-anak “laskar biruku”.

Cerita Lainnya

Lihat Semua