info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

SANGGAR MINAT DAN "PERBEDAAN"

Ryan Singgih Prabowo 7 April 2012

      Awal tahun 2012 proyek pembangunan sekolah “selesai tidak selesai dikumpulkan!!!”. Pembangunan 3 kelas baru dan 1 ruang guru 95% telah rampung. Sekolah tidak lagi bising dengan suara genset dan gergaji mesin. Suasana kegiatan belajar mengajar di kelas semakin efektif, suara bapak dan ibu guru  tidak perlu lagi berpacu dengan deru mesin-mesin itu. Pekerja bangunan telah hengkang, tak ada lagi yang tinggal di salah satu ruangan di sekolah.

      Aku begitu senang. Dalam otakku kelas baru = perpustakaan baru!!! bagi anak-anak yang seumur hidupnya belum pernah mengenal apa itu perpustakaan. Bukan hanya itu, aku berencana akan menghabiskan waktu mulai pagi sampai petang di sekolah bersama anak-anak, termasuk makan siang, sholat, dan tidur. *masih dalam OTAKKU…

      Tanpa menunggu lama, aku menemui kepala sekolah untuk meminta ijin menggunakan salah satu ruang kelas baru yang berlantai keramik.

Inilah jawaban yang aku nanti “iya Pak Ryan bisa pakai kelas baru buat perpustakaan. Kalau di kelas baru kan enak anak-anak bisa lesehan sambil baca buku. Tapi masalahanya, kita belum serah terima kunci kelas. Sekarang kuncinya masih dipegang pemborong ”. tak kurang dan tak lebih itulah jawaban dari Pak Ahmad yang aku nanti-nanti.

      Haru sedikit menutupi harapan . Semangat anak-anak untuk membaca membuat otak berputar. Dalam kondisi apapun, perpustakaan harus “hadir” dalam kehidupan anak-anakku. Akhirnya gudang bekas “kamar” pekerja bangunan yang berantakan kami bersihkan. Dengan bersenjatakan sapu dan pengepel yang dibawa anak-anak dari rumah, gudang telah berubah menjadi ruangan yang bersih. Jendela tak berkaca pun kami tambal menggunakan kayu-kayu sisa di halaman sekolah.

      Di sudut-sudut ruangan ini aku tebar berbagai macam buku dari Indonesia Menyala, permainan ular tangga, kertas, lem, gunting, pensil warna, poster-poster, dan masih banyak permainan edukatif yang lain. Sembari menunggu guru datang, pulang sekolah dan sesudah les anak-anak bisa membaca dan berkarya di sini. Selagi aku ada di sekolah perpustakaan tak pernah sepi dari anak-anak. Mulai dari anak SMP, anak yang belum sekolah, dan anak SD yang bukan siswaku juga turut serta meramaikannya.

      Suatu hari, sepulang sekolah ada 30an anak telah datang ke sekolah untuk les, padahal aku belum sempat beribadah. Memang aku sengaja untuk melaksanakannya di sekolah.

“Nak kalian tunggu di ruang kelas 3 ya, bapak mau sholat dulu diperpustakaan”. Pintaku pada mereka.

“Tak mau pak!!!kami ingin liat bapak sholat” Seperti kelompok paduan suara mereka menjawab dengan nada merengek setengah memaksa.

      Aku pun mengiyakan permintaan mereka. Aku memberikan satu syarat pada mereka.

“Kalian boleh melihat tapi tak boleh ribut ya karena kalian harus menghormati setiap orang yang sedang beribadah”.

      Heri Gunawan anak kelas 3 langsung lari ke halaman sekolah untuk mengambil “anak kayu” (ranting kayu dalam bahasa akit).

“Tenang saja pak, nanti kalau ada yang ribut aku pukul” sembari mengangkat anak kayu tinggi-tinggi.

      Mereka pun duduk manis mengitari ruangan untuk menyaksikan “pertunjukan” gurunya yang sedang beribadah. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut mereka. Begitu hening suasana sekolah tak seperti biasanya. Setelah aku memanjatkan doa, aku menoleh pada mereka. Hampir semua anak terperanjat dari duduknya menghampiriku.

“Pak ajarkan kami sholat seperti bapak”. Sejenak aku membisu sembari merenungkan jika setiap yang dilakukan oleh guru akan diikuti oleh murid.

“Tak bisa macam itu nak, kalian tak bisa belajar sholat macam bapak karena kalian beragama??” jawab serta tanyaku pada mereka.

“Kami Bergama Budha pak”

,“Lantas kalau sembayang macam mana??”

“Kami sembah yang di vihara pak, sehari 3 kali”

      Diskusi singkat itulah yang mengawali les siang hari ini tepat jam 1. Anak-anak begitu bersemangat ketika belajar. Sesekali mereka berkata “pak ayo kita baca buku, ayo menggambar, ayo buat patung,”. Aku berkata “belajar dulu ya, nanti jam tiga kita ke perpustakaan”. Mendengar jawaban itu mereka lebih bersemangat menyelesaikan soal-soal di papan tulis.

      Ketika sore hari, aku duduk di sudut perpustakaan sembari melihat aktifitas anak-anak. Aku merenung dengan hati bahagia, tiba-tiba terbersit nama “Sanggar Minat”. Anak-anak yang ada dihadapanku sekarang telah melahirkan sebuah nama baru untuk ruangan ini. Gudang usang ini bukan perpustakaan!!! Tapi Sanggar Minat. Dimana mereka bisa mengembangkan bakatnya, menyalurkan hobinya, dan berkarya. Bukan hanya itu saja, kita bisa belajar tentang indahnya sebuah perbedaan dan menikmati anugerahnya. Mengesampinkan garis pemisah yang nyata untuk merasakan kehangatan di hamparan warna warni Suku, Agama, dan Ras yang menjadi rusuk penopang bangsa ini. Bangsa Indonesia…

Salam Damai dari Pulau Rupat untuk Indonesia…


Cerita Lainnya

Lihat Semua