Langkah Pertama Calon Sarjana
Dhini Hidayati 7 April 2012
Pernahkan terbayang ketika suatu siang yang terik anda memegang sebotol air dingin yang jumlahnya terbatas, kemudian anda didatangi beberapa orang anak yang kehausan meminta seteguk air tetapi anda harus mengatakan “Maaf, air ini bukan untuk kamu..”
Seperti itulah perasaan saya ketika menjelaskan Beasiswa Bidikmisi kepada segerombolan anak SMA yang datang kerumah ibu piara saya malam ini. Perlu anda ketahui bahwa Bidikmisi adalah jenis beasiswa dari Kemdiknas yang diperuntukkan bagi siswa dengan potensi akademik baik namun tidak mampu secara ekonomi dengan besaran kuota tertentu untuk siswa yang direkomendasikan sesuai dengan perolehan akreditasi sekolah pemberi rekomendasi. Siswa-siswi yang datang malam ini berasal dari SMA Kurnia Jaya, satu-satunya sekolah menengah atas di desa kami.
2 hari menjelang batas akhir pendaftaran bidik misi sekitar pukul 20.30 WIB, saya hampir terlelap ketika adik piara mengetuk pintu kamar dan mengatakan bahwa ada sekelompok anak SMA mencari saya.
Mereka datang dari desa tetangga dengan basah kuyup menembus hujan. Wajah-wajahnya malu tersenyum simpul dan terlihat ragu ketika saya mempersilakan mereka masuk kedalam rumah, mungkin khawatir mengganggu atau kawatir tetesan air hujan dari pakaiannya yang basah mengotori lantai rumah.
“Ada yang bisa saya bantu?” ujar saya membuka pembicaraan. “Kami nak tanya mengenai beasiswa bidikmisi kak..” jawab salah satu dari mereka dengan nada ragu. Ya, perkiraan saya tepat sekali. Mereka haus informasi mengenai makhluk bernama bidikmisi tadi.
Ditengah penjelasan bidik misi dan SNMPTN jalur undangan, tetiba mereka bertanya “Kak, kuota apa?” mendadak tangan saya terasa dingin, “Jangan-jangan mereka belum tahu mengenai kuota siswa yang bisa didaftarkan adalah berdasarkan akreditasi sekolah?” tanya saya dalam hati. Saya khawatir sekali menjawab pertanyaan itu.
Ya! kenyataannya mereka memang datang dengan pengetahuan kosong mengenai program beasiswa bidikmisi ini, belum ada informasi detail yang mereka peroleh dari pihak sekolah. Dengan hati-hati saya menjelaskan hitungan kuota sekolah dengan akreditasi C tersebut. Hanya 15% dari 120 anak, artinya hanya peringkat kelas 1-6 yang berkesempatan.
“Kak, bagaimana dengan saya? tidak ada kesempatan beasiswa?” tanya Halim.
Dia adalah salah satu siswa yang tidak termasuk dalam kuota tersebut. Saya terdiam beberapa saat, berpikir keras mencari jawaban yang terbaik. Mata-mata mereka menatap cemas penuh harap. Saya sadar saya harus menjawab tidak, sesuai ketentuan yang diberikan panitia pusat.
Tapi saya bukan Tuhan yang berhak menentukan nasib mereka.
“Bisa..” jawab saya singkat.
“Tapi kami tidak masuk kuota kak, bagaimana?” lanjut salah seorang siswi yang saya tidak ingat namanya.
“Bisa, yang terpenting kamu mencoba, berusaha dan berdoa. Anggap saja undian berhadiah, kalau kamu lolos syukur alhamdulillah, kalau tidak lolos tahun ini masih bisa mencoba lagi tahun depan.. banyak jalan menuju Roma, kan?” jawab saya demikian.
Jawaban itu terdengar klise, namun mampu menyadarkan saya bahwa sesungguhnya mereka bukan tidak mau, mereka hanya tidak tahu.
Mendengar jawaban itu, senyum lebar menghiasi wajah mereka. Segera saya siapkan formulir dan daftar dokumen yang perlu dilengkapi esok hari. Pukul 23.45 WIB siswa-siswi ini pamit pulang, semangatnya diiringi hujan.
Esok harinya pukul 11 siang, salah satu siswa mendatangi saya ke sekolah dan mengatakan bahwa ia dan kawan-kawannya sudah stand by di kantor kelurahan sejak pukul 6 pagi demi mengurus segala dokumen yang diperlukan, yang tersisa hanya pengisian formulir dan rekomendasi dari sekolah.
28 Februari 2012, proses fasilitasi bidik misi selesai kami laksanakan.
Hari ini, sekelompok siswa-siswi dari daerah terpencil menguji nasib baiknya melalui beasiswa bidikmisi. Mata-mata mereka memancarkan bayangan masa depan yang lebih baik, semangatnya memberi energi baru untuk saya. Meski tidak ada sesuatu apapun yang bisa saya janjikan, saya selalu yakin bahwa Tuhan tidak pernah salah. Rejeki mereka tidak akan tertukar. Setipis apapun kemungkinan yang mungkin membayangi, harapan selalu ada beriring bersamaan. Setidaknya bagi mereka, tidak akan ada penyesalan yang timbul dalam hati karena tidak pernah mencoba.
Pengiriman formulir beasiswa bidikmisi ini adalah langkah pertama mereka menjadi sarjana—kemauan keras yang jadi energinya. Semoga Tuhan memudahkan jalan dan memunculkan kebaikan untuk mereka.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’d 11)
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda