info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Pelajaran Berharga

Dhini Hidayati 7 April 2012

Pangkalan Nyirih, Maret 2012

"Bu! mana surat balasan untuk saya?" ujar muridku Kiradi dengan geram. "Maaf ya nak, ibu lupa bawa, tapi sudah ibu balas kok. Sabar yaa, besok ibu bawa.." jawabku menenangkannya.

Siang itu, Kiradi-Kiranto meninggalkan aku dengan wajah muram menggerutu. Mereka adalah salah satu (atau dua?) murid kembarku di kelas V yang kerap mengirimkan surat berisi pantun, puisi dan cerita sehari-harinya kepadaku. Meskipun kami berjumpa setiap hari di sekolah, surat menyurat antara aku dan murid-muridku sudah menjadi kegiatan rutin yang tidak pernah ketinggalan.

Beberapa orang muridku kelas V agak pemalu, mereka lebih banyak bercerita ketika ada waktu kosong berdua denganku----melalui surat.

Ya! mereka memang tidak pernah melihat aku duduk sendirian tanpa anak-anak disekelilingku, bahkan ketika aku duduk memeriksa tugas di ruang guru pun selalu ada murid yang menemaniku. Sambil berbisik-bisik dari balik jendela di belakang meja kerjaku.

"Ibu dhini, masuk kelas kami lah bu! main bola lah bu!" persis suara lebah yang terus mendengung di telinga, samar oleh angin.

Cerdasnya mereka, memilih media surat untuk 'mencuri' waktu bersamaku. Melalui surat, mereka bebas bercerita tentang apa saja; cerita tentang senangnya menggambar dan melipat kertas, cerita tentang burung yang mereka tangkap di hutan karet, cerita tentang mimpinya naik pesawat, atau sekedar pantun dan puisi yang mereka tulis untukku; mereka bebas bercerita tentang apa saja.

Kembali kepada muridku Kiradi. Sudah 2 hari dia menunggu surat balasan dariku. Ini adalah hari ke-3 aku lupa membawa surat balasan untuknya. Tugas yang sedikit menumpuk beberapa hari belakangan memang memecah konsentrasiku, termasuk lupa membawa surat-surat istimewa itu.

Tibalah di hari ke-4 sejak surat kuterima. Siang itu, sekolah sudah sepi. Hanya ada aku yang sedang merapikan buku di kelas V, bersiap untuk pulang. Beberapa orang murid menghampiriku, menagih balasan surat yang kujanjikan. Beberapa surat sudah kubawa; kubagikan satu persatu; untuk Norani, Karisma, Rusanti dan Mamat, termasuk balasan untuk si kembar Kiradi-Kiranto. Sambil sedikit membungkuk aku serahkan sebuah amplop putih bertuliskan :

"Untuk murid ibu, Kiradi dan Kiranto yang baik..."

Aku menyerahkan sebuah amplop berisi surat balasan untuk si kembar. Melihatku hanya menyerahkan sebuah amplop, Kiradi bertanya dengan lantang "Bu, surat buat saya mana?" keningnya berkrenyit penasaran.

"Ini buat Kiradi dan Kiranto, baca bersama yahh..."

Mendengar jawabanku, Kiradi marah dan melemparkan surat itu ke lantai sambil berteriak kepadaku

"Ah! tak payah lah bu!" (Tak perlu, Melayu) lalu dia berlari keluar meninggalkan kelas sambil membanting pintu.

Reaksi Kiradi yang begitu marah membuatku berkaca-kaca, sedih karena menyadari kesalahan fatal yang baru saja kulakukan---membuat muridku menunggu terlalu lama, dan memperlakukan dua anak kembar dengan perlakuan yang sama, padahal sejatinya mereka adalah dua pribadi yang sama sekali berbeda. Aku terduduk lemas di dalam kelas, Norani dan Mamat yang masih ada di dalam kelas memandangku dengan khawatir. Kami masih sama-sama terkejut dengan reaksi Kiradi siang itu.

Esok harinya, hujan turun lebat sekali. Aku terlambat datang ke sekolah. Ketika aku tiba, murid-murid sudah ramai. Mereka sudah duduk rapi di dalam kelas meski belum ada seorang guru pun yang datang. Aku meminta ijin kepada muridku untuk membersihkan diri sejenak sebelum mengajar karena bajuku kurung yang aku kenakan basah oleh hujan. Payung dan jas hujan tidak cukup melindungi pakaianku.

Saat aku sedang sibuk mengeringkan baju dengan tissu, ucapan salam mengejutkanku.

'Assalamualaikum, bu.." Kiradi berdiri di depan pintu ruang guru berukuran 4x5 meter itu.

Ia masuk dan berdiri di depanku, belum sempat aku mengucapkan maaf kepadanya perihal surat kemarin, ia dengan cepat menarik tangan dan memelukku, sambil menangis ia berkata

"Bu, maafkan Radi bersalah sama ibu. Radi tidak sopan sama ibu.. Ibu Dhini jangan pergi, Radi mau belajar sama ibu..."

Kiradi memelukku erat sambil menangis. Jantungku berdegup keras, aku pun tidak kuasa menahan air mata haru. Perasaan bahagia dan haru bercampur jadi satu. Aku baru menyadari betapa sebuah kalimat sederhana yang kutulis di dalam surat, memiliki arti yang sangat besar bagi seorang anak. Ada kepercayaan yang sangat mahal, ia titipkan disana.

Seorang anak bernama Kiradi, memberiku sebuah pelajaran berharga tentang pentingnya memenuhi janji dan keberanian mengakui kesalahan, tentang sebuah Integritas.

"Sudah, tidak perlu menangis, Ibu Dhini yang salah karena mengecewakan Radi.. Maafkan ibu ya.." jawabku menenangkan dengan suara sedikit tertahan.

Sambil menghapus air mata dengan tissu yang kupegang, kupeluk sejenak muridku. Setelah beberapa saat, Kiradi berhenti menangis, ia membantuku membawa tas dan buku. Kami berjalan beriringan masuk ke kelas.

Pagi itu, tubuhku kedinginan karena pakaian yang kuyup oleh angin dan hujan, tapi Kiradi menghangatkan hatiku. Pagi terhangat yang pernah aku miliki sejak 4 bulan aku bertugas disini.

Terima kasih, nak.


Cerita Lainnya

Lihat Semua