info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Peluit

Ryan Singgih Prabowo 27 Desember 2011

Pulau Rupat mulai dibelai hangatnya sinar matahari. Aku basahi tubuhku dengan air gambut yang tidak terlalu pekat warnanya, begitu segar rasanya. Ritual selanjutnya adalah memasok tubuhku dengan protein dan karbohidrat yang telah disiapkan oleh mamak setiap pagi. Begitu enak rasa masakan yang menenangkan cacing-cacing diperutku yang meronta. Segelas kopi dan sebatang rokok menjadi menu penutup sarapan.

Sebelum berangkat ke sekolah telepon genggamku meronta-ronta ingin dianggkat. Salah satu rekan guru menghubungiku. Tidak biasanya. Beliau mengatakan jika hari ini semua guru tidak bisa hadir di sekolah. Pak Adward mengikuti penataran di kota kecamatan, Ibu Nursatia dan Ibu Kamaria harus pergi ke Dumai untuk mengurus rekening sekolah. Ibu Nursatia menitipkan anak-anak padaku seorang diri. Suatu kehormatan bagiku untuk bermain dan belajar dengan kelas 1, 2, 3 yang totalnya 66 siswa cerdas dan memiliki energi berlebih.

Setiap kamis harusnya aku mengajar penjaskes di kelas 3 dan Bahasa Inggris di kelas 1. Berhubung hanya aku sendiri yang hadir di sekolah, maka diriku tidak berlaku menjadi guru mata pelajaran, yang ada hanyalah Pak Ryan. Guru kelas 1,2, dan 3.

Anak-anak hadir di sekolah dengan sebungkus mie instan di tangannya, tanpa diseduh. Mereka sudah terbiasa makan di dalam kelas pada saat jam pelajaran berlangsung. Aku menyuruh mereka untuk membersihkan kelas sebelum KBM di mulai.

Peraturan yang aku buat bersama siswa adalah ketika mendenngar sura peluit “priiiiiiiittttttt”, maka mereka harus berbaris rapi dan tidak berisik di halaman sekolah. Susah betul membuat mulut mereka terkunci rapat-rapat. Aku tunjuk satu orang siswa yang biasa mengganggu temannya untuk mengatur barisan kelasnya masing-masing. Barisan telah rapi, pertanda apel pagi siap dilaksanakan. Hanya periksa kerapian, berdoa, hormat pada bendera, dan membaca Pancasila. Itulah rutinitas kami setiap hari. Setelah apel berakhir, Anak-anak memegang pundak teman di depannya bagai se ekor ular, mereka aku ijinkan masuk ke dalam kelas setelah lolos dari  pemeriksaan kebersihan kuku.

66 siswa, aku masukkan di ruang kelas dua. Mereka mengganti seragamnya dengan pakaian olahraga. Kue-kue masih ada di genggaman sebagian besar siswaku. Padahal sudah ada peraturan bersama jika di dalam kelas tidak diijinkan untuk makan. Aku sadar betul, tidak mudah membuat suatu perubahan dalam waktu sekejap. Butuh waktu untuk merubah kebiasaan-kebiasaan yang telah mapan. Jika anak-anak mendengar bunyi “priiiiiiiittttt”, maka mereka harus memasukkan makanan, duduk manis di bangkunya, dan tidak ada yang bersuara. Ehm, lagi-agi peluit menjadi “senjata” ampuh untuk mengendalikan kelas.

Semua telah berkumpul di halaman yang berantakan lantaran ada pembangunan sekolah. Mereka aku ajak untuk membuang energi yang berlebih. Aku berharap nantinya di kelas semua siswa bisa mengikuti pelajaran dengan kondusif. Hanya bernyanyi “lingkaran besar, lingkaran besar, hoy yayo yayo. Lingkaran kecil, lingkaran kecil, hoooooo yayo yayo”, sambil membentuk lingkaran kecil dan besar serta menggoyangkan badanya.

Tidak hanya itu, mereka menirukan ular berjalan, pesawat terbang, ayam, burung sambil berlari-lari. Tidak semua siswa mengikutinya. Ada tiga siswa yang tidak mau ikut bermain. Aku menanyakan kenapa mereka tidak bergabung, mereka hanya menjawab “malas pak!!” tidak ada alasan lain. Aku “korbankan” mereka demi siswa yang lain.

Ketika matahari membuat kami merasa kepanasan, aku putuskan untuk masuk kelas. Padahal masih jam 8.00, tiga kelas aku jadikan satu kelas. Hasilnya. Waaauuuw, bagaikan hiru pikuk pasar di pagi hari. Aku kualahan mengendalikannya lantaran ada beberapa siswa yang tidak bisa diam untuk mengganggu dan memukuli temannya.

“PRIIIIIIIIIITTTTT”, “gerombolan pengacau kelas” berlomba untuk kembali kebangkunya masing-masing.

Kelas mulai kondusif, aku mulai pelajaran pagi ini. Kartu bergambar binatang, sayuran, dan alat transportasi aku tunjukkan di depan kelas. Mereka menebak gambar-gambar itu. Mereka juga mengikuti kata-kata yang aku ucapkan. Misalnya “sapi bahasa inggrisnya cow”. Semua antusias kecuali “GPK” yang sibuk mengganggu temannya. Suara peluitku cukup efektif untuk mengendalikan kekacauan di dalam kelas, walau sesaat. Pelajaran aku selingi dengan bernyanyi dan tepuk tangan ketika raut muka mereka menandakan kejenuhan.

Jam hitam yang melingkar di tangan kiriku menunjukkan pukul 8.30 tapi anak-anak meminta untuk pelajaran diakhiri. Mereka meminta bermain bola atau  pulang. Padahal istirahat seharusnya pukul 9.15, aku mengatakan jika kita semua akan bermain bola pada saat istirahat. Mereka menurut untuk tetap duduk di kelas meski sebagian kecil tidak bisa konsentrasi. Ulah beberapa anggota “GPK” di kelas membuatku naik pitam. Aku mengijinkan mereka untuk bermain di halaman sekolah. Ada beberapa yang mau dan sebagian tetap di kelas untuk terus membuat keributan.

Di sela-sela pelajaran aku tanamkan nilai-nilai kesopanan dalam kelas dan cara berperilaku dengan teman. Di sini, siswa terbiasa duduk dengan kaki di atas kursi atau berdiri di atas meja. Hanya cukup dengan telunjuk yang mengarah padanya atau suara peluit, mereka bisa duduk dengan rapi meskipun hanya sesaat. Perkelahian dan pukul-memukul adalah hal biasa, tak perempuan atau laki-laki. Sampai saat ini aku bisa mengurangi perilaku itu. Aku mengajarkan kepada mereka untuk meminta maaf kepada teman yang disakiti dengan cara bersalaman. Mereka masih malu-malu untuk meminta maaf.

Terimakasih “peluitku” engkau begitu ampuh dan sakti di sekolah ini. Suaramu seolah bisa menghentikan perputaran bumi. Menyulap anak-anakku menjadi patung, duduk manis sembari mendengarkan pelajaran yang aku sampaikan. Inilah seni mengendalikan kelas yang aku temukan bersama anak-anak cerdas di SDN 10 Titi Akar. Sekarang mereka bisa menginspirasiku, 2026 mereka akan menginspirasi bangsa ini. Mempercantik “wajah” Indonesia dengan prestasinya!!


Cerita Lainnya

Lihat Semua