Kisah Mereka Merah Putih di Titi Akar
Ryan Singgih Prabowo 28 Desember 2011Dini hari ini mimpiku buyar, aku terbangun dari tidurku yang lelap. Nafas terengah-engah, mata tak bisa melihat apa yang ada di depan hidung. Tidak ada lentera yang menerangi. Suara sambaran petir menusuk telinga. Tidak hanya itu, rumahpun bergetar karenanya. Hujan begitu deras dan lebatnya mengguyur pulau yang berhawa panas ini. Aku terdiam terbujur di atas lantai papan rumah kayu ini, sembari mendengarkan gemuruh yang begitu hebat. Lelaki tak ada yang tidur di dalam kamar. Hanya kaum hawa saja yang boleh menempatinya. Jadi aku pun tidur beramai-ramai dengan pria-pria yang ada di rumah ini.
Pagi begitu murung, hujan enggan beranjak, meski tidak sehebat semalam. Langit kelabu tertutup mendung, mentari dengan malu-malu mengintip dunia dari ufuk timur. Meski pertemuan hujan dan mentari tidak melahirkan pelangi, pagi ini tetap indah bagiku. Terlebih dihiasi senyuman mata anak sekolah yang berbinar-binar. Jalan menuju sekolah begitu becek, dengan mengenakan sandal jepit dan sepatu di tangan kanan, anak-anak tidak patah arang untuk menuntut ilmu di sekolah. Aku pun akan malu jika kalah dengan semangat mereka. Tanpa mengisi perutku dengan secuil kue, aku bergegas mengenakan jas hujan merahku. Sama dengan anak sekolah di sini, aku mengenakan sandal jepit dan sepatu di setang motor warisan yang lumayan “tua”. Padahal umurnya masih satu tahun.
Menyusuri jalanan selebar 1,5 m, aku merasakan semangat anak sekolah di sini begitu besar. Meski jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh, setiap hari mereka susuri tanpa lelah demi kue yang bernama “pendidikan”. Mereka begitu ramah terhadap semua guru yang dia temui di jalan.
Dalam kagumku, aku baru sadar jika motorku telah sampai di halaman sekolah. SDN Titi Akar 10. Begitu miris dan tersentak diriku ketika kulihat bendera merah putih tergantung di bawah tiang bendera, mencium tanah. Tanpa menunggu waktu, kamera aku pencet tombolnya untuk mengabadikan sebuah “tragedi” ini. Dengan didampingi beberapa siswa, aku menghampiri “sang merah putih”. Dia begitu kusam. Saat anak-anak akan menaikkannya, aku menghentikan mereka lantaran bendera Polandia yang akan berkibar. Aku benarkan sambil ku terangkan pada mereka jika bendera bangsa ini adalah merah putih.
Setelah benar, perlahan merah putih menuju puncaknya. Mewarnai langit biru Pulau Rupat. Ada satu suara lirih yang mengiringinya. Lagu Indonesia Raya, meskipun dinyanyikan dengan lirik yang salah. Aku bertanya pada muridku, apakah mereka pernah upacara bendera? Dengan lugu mereka menjawab “belum pernah pak”. “Apakah kalian ingin upacara bendera?” dengan lantang menjawab “saya mau upacara pak”. Maklum sekolah ini baru saja “mekar” setelah melepaskam diri dari SDN 01 di semester ini. Sebenarnya bangunan sekolah telah berdiri dan menyelenggarakan pendidikan sejak tahun 2003 tapi upacara bendera belum pernah diadakan.
Upacara bendera harus diadakan setiap sekolah di Pulau Rupat sebagai usaha memumuk rasa nasionalisme anak sejak dini. Terlebih Pulau ini berada di ujung bangsa, hanya membutuhkan waktu 4 jam untuk sampai di Malaysia. Aku mengajak anak-anak belajar bersama baris-berbaris dan upacara bendera. Mereka dengan semangat menerima tawaranku itu. Semoga semangat mereka bisa memacu dan membakar niat KAMI.
Tapi aku juga sadar, kalau upacara bendera belum bisa dilaksanakan sampai tahun depan lantaran halaman sekolah dihiasi material bangunan. Pembangunan kelas baru ditargetkan rampung bulan desember tahun ini. Tertunda bukan berarti tidak untuk selamanya. Hati ini berkata “ayo nak, kita arungi samudra ilmu pengetahuan. Belajar mencintai bangsa ini sedikit demi sedikit. Kita jelajahi Indonesia, perlahan tapi pasti.
"Kalian PASTI BISA!!!"
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda