Dingin Itu Rasa??
Ryan Singgih Prabowo 30 Desember 2011Hangatnya sinar mentari tidak bisa menembus langit hitam yang menyelimuti desa Titi Akar. Begitu derasnya hujan di pagi ini. Rasanya enggan untuk bangun dari tidurku. Minggu ini di sekolah sudah tidak ada ujian akhir semester. Kegiatan di sekola hanyalah remidial bagi anak-anak yang nilainya belum tuntas. Sedangkan guru-guru lain mengatakan jika minggu ini mereka akan mengisi rapor di sekolah.
Hujan tak kunjung henti, aku berfikiran jika sekolah akan sepi. Tidak ada anak-anak yang pergi ke sekolah. Sempat terbesit untuk berdiam diri di rumah sembari mengolah nilai-nilai siswaku. Namun rencana itu aku batalkan, aku takut kalau ada beberapa siswa datang ke sekolah untu belajar. Betapa kecewanya mereka jika datang ke sekolah tapi tidak ada satu pun guru yang mereka temui. Ketakutan itulah yang membuatku tidak mau menyerah dengan hujan untuk bertemu dengan ana-anak yang cerdas.
Setelah mandi aku langsung menyambar jas hujan, motor aku pacu menuju sekolah. Jalanan berubah menjadi kolam dengan air kecoklatan. Aku jumpai banyak anak-anak berangkat sekolah dengan tidak mengunakan sepatu sembari melindungi tubuhnya dari air menggunakan payung, jas hujan, kardus, dan ada juga yang tidak menggunakan apa-apa.
Sesampai di halaman sekolah, aku melihat 6 siswaku berdiri di depan kelas yang masih terkunci. Baju, tas, dan sepatu mereka basah kuyup. Tangannya dilipat di depan dada. Mereka menggigil kedinginan. Bibirnya pucat pasi. Tapi semangatnya tetap menyala “bapak ngajar kelas berapa?” itulah pertanyan yang menyambutku. Sejenak aku terdiam membisu tidak menjawab pertanyaan mereka. Terharu dengan semangat mereka. Sekalipun hujan badai, tidak bisa menghentikan langkah kecilnya untuk menimba ilmu.
Hengki anak kelas tiga yang saat itu membawa payung aku suru mengambil kunci kelas yang dititipkan di rumah warga di depan sekolah. Satu persatu anak kelas 1-3 berdatangan, mereka aku giring utuk berkumpul di ruang kelas dua. Hampir semuanya basah kuyup, hanya beberpa saja yang selamat dari guyuran hujan. Aku tidak sampai hati melihat beberapa tubuh kecil menggigil. “nak, digin ya?”. Serentak mereka menjawab “iya pak dingin”. “terus kalian mau pulang, bermain atau belajar?”. “kami tak mau pulang atau bermain pak, kami mau belajar!!”, kata-kata itu hampir saja membuat air mataku meleleh. Aku tahan sekuat mungkin, aku tidak mau menangis di hadapan anak-anakku yang hebat ini.
Karena semua materi telah habis di semester ini, aku menyuruh anak-anak untuk mengeluarkan selembar kertas. Aku memberikan contoh untuk menulis “sahabat pena”. Di depan kelas ku ceritakan secuil kisah hidupku tentang persahabatan yang aku jalin secara tidak sengaja. Setelah itu beberapa anak menanggapi “pak kami ingin punya banyak kawan. Bukan hanya di sini, tapi dari daerah lain”. “iya nak, kalian pasti bisa punya banyak kawan. Jadi sekarang tulislah sebuah surat untuk menjalin sebuah persahabatan. Ceritakan tentang dirimu sendiri di selembar kertas yang masih bersih di depanmu”.
Dengan penuh semangat mereka mengotori kertas di hadapannya. Memang benar jika “dingin itu adalah rasa” dan anak-anakku bisa mengalahkan rasa itu. Semangatnya mampu mengeringkan baju yang basah kuyup. Tidak ada yang bisa mematikan api semangat dalam dirinya untuk menjadi Anak Bangsa yang Cerdas!
Semoga alam sekitar terus memasok energi positif dalam diri mereka!!
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda