info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Amat = Lintang

Ryan Singgih Prabowo 29 Desember 2011

Di awal-awal aku mulai menjadi “MPU”nya mata pelajaran Penjaskes, Bahasa Inggris, dan Ketrampilan di SDN 10 Titi Akar potensi dan bakat setiap anak belum nampak sama sekali. Hanyalah “kenakalan” anak-anak yang menonjol. Tidak mengenal jenis kelamin, semuanya begitu. Tingkah pola siswaku begitu lucu dan unik. Terkadang geram, tertawa, dan mengagumi.

Hari demi hari kulalui bersama mereka di sekolah. Pagi dan sore kami belajar sambil bermain. Setiap pagi Trisnawati gadis mungil bermata sipit selalu menyambutku dengan pertanyaan “pak ngajar kelas 2?”. Aku menjawababnya “tidak nak, bapak ngajar kelas 1 dan 3 hari ini”, bibir mungilnya langsung menggerutu dengan nada kecewa. Tak hanya Trisnawati tapi penghuni kelas lain juga melakukan hal yang sama disetiap mentari menyentuh dunia.

Aku lebih tertarik untuk mengajar di kelas 1. Menurutku sangatlah penting belajar bersama mereka. Mereka sangat aktif di dalam kelas, kinestetiknya begitu berlebih. Imajinasiku melambung jauh. Begitu jauh. Seandainya saja mereka mendapatkan stimulus yang kurang tepat, maka terkuburlah potensi dan bakat  anak-anak yang haus dengan ilmu ini.

Jumlah “penduduk” di kelas satu 24 orang. Hampir 90% penghuninya hafal lagu alfabet “A-Z”. Cerdas bukan??. Tapi sayang, mereka tidak bisa menunjukkan mana huruf-huruf yang keluar dari bibir mungilnya. Ketika mereka menulis angka dan huruf masih banyak yang terbolak-balik. Seperti anak disleksia (bukan maksud untuk menghakimi demikian). “Wauw, apa yang sebenarnya terjadi di kelas 1?”. Ketakutan dalam imajinasiku telah menjadi nyata. Hampi 1 semester siswa kelas 1 dalam otaknya beterbangan huruf dan angka yang menari-nari. Namun kemampuan calistung mereka jauh dari kecerdasan yang dimilikinya.

Amat namanya, badannya ceking, kulitnya hitam terbakar dihiasi bekas gatal-gatal. Setiap aku bertemu dengan dia, aku teringat salah satu tokoh dalam film Laskar Pelangi yang bernama Lintang. Iya, sekilas amat memiliki kesamaan fisik dengan lintang. Tapi dari segi kecerdasan tidak jauh berbeda. Amat selalu mencerna dengan cepat segala macam pertanyaan yang keluar dari bibirku dan jawabannya hampir tidak pernah salah. Terlebih soal perkalian, pembagian, pengurangan, dan penjumlahan. Amat bagaikan seorang dukun yang cukup memejamkan mata untuk menjawabnya. Tanpa tangan menari-nari di atas kertas atau jari jemari di depan kedua matanya. Materi Bahasa Inggris pun juga cepat diserapnya. Sorot matanya tajam menusuk segala gerakku. Seolah hanya ada aku dan dia di dalam kelas ini. Suasana ribut anak kelas 2 dan 3 yang menerobos kelas 1 tidak mempengaruhi perhatiannya.

     Setiap kali aku lemparkan pertanyaan, hampir seisi kelas mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Tanpa ragu meski jawabannya kurang tepat. Satu lagi “kelucuan” amat dalam kelas, dia kerap menghilang bagai ditelan meja saat aku tidak memberinya kesempatan untuk menjawab. Aku putari kelas langkah demi langkah sambil menerangkan pelajaran. Pandanganku melesat ke setiap kolong meja. Akhirnya aku temukan tubuh kecil amat sedang meringkuk sembari membawa pensil dan bukunya. “ayo,apa Amat bisa membantu kawannya untuk menjawab pertanyaan bapak?”. Perlahan dia keluar dari persembunyiannya, dengan lantang dan penuh semangat Amat menjawab pertanyaanku dengan benar.

     Aku begitu kagum dan bangga ada anak di Pulau Rupat secerdas “lintang”. Dalam kagum, hati kecilku berbisik “Ini nyata!!bukan hayalan”. Untuk mengendalikan kelas 1 yang begitu aktif, aku manfaatkan kecerdasan amat. Setiap aku mengajar, amat akan duduk di sampingku bersama Aleng “rajanya” kelas 1. Mereka berdua mendapat jabatan asisten guru. Amat bertugas untuk membantuku mejelaskan materi kepada anak-anak yang “lamban”. Sedangkan Aleng bertugas mengendalikan anak-anak yang tidak betah duduk manis di bangkunya. Dengan metode “asisten” kegiatan belajar mengajar cukup efektif. Setelah menyelesaikan tugasnya, Amat dengan sabar membantu temannya untuk memahami pelajaran. Jemari teman sebangkunya suka menyusuri belantara rambut Amat untuk berburu binatang kecil yang menyebabkan gatal. Bukan hanya aku yang memberikan kepercayaan pada Amat. Amat selalu pulang paling akhir karena Bu Kamaria sebagai wali kelas 1 juga mempercayainya mengemas beberapa perabot dalam kelas untuk disimpan dalam lemari reyot  di sudut kelas. Jika tidak “diamankan” sudah pasti barang-barang itu akan hilang dari tempatnya bertengger.

      Dua bulan lagi akan diadakan Olimpiade Sains Kuark. Amat aku percaya untuk mengikutinya. Sepulang sekolah dia datang berlatih dengan beberapa anak yang lain. Dengan baju bebas dan bersepatu tanpa kaos kaki, Amat menempuh perjalanan jauh dari rumahnya demi belajar. Namun betapa kagetnya aku ketika Amat membaca buku-buku yang aku sodorkan dengan terbata-bata. Kendala amat hampir sama dengan anak-anak lain di sekolah ini. Tidak lancar dalam membaca. Potensi dan bakatnya kurang maksimal karena kurang tepatnya  stimulus yang diberikan sejak awal. Tapi aku yakin jika Amat dan anak-anak yang lain masih bisa diselamatkan.

      Sepulang sekolah aku pernah mengantarkan Amat ke rumahnya. Beberapa anak yang bertemu di halaman sekolah bertanya “bapak mau kemana?”. “Bapak mau mengantar Amat sampai rumahnya”. Anak-anak menyahut “rumah amat jelek sekali pak!!”. Amat hanya tersipu malu menerima ejekan itu. Aku hanya memberi pengertian pada anak-anak yang mengejek jika dalam hidup yang terpenting adalah ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang, bukan rumah jelek, kaya atau miskin.  Suatu saat amat akan menjadi generasi muda yang bisa membawa bangsa ini menuju kejayaan. Menjadi pemimpin besar dan berguna untuk negerinya!!!

Berilah Amat kesempatan itu ya Allah,,,,AMIN


Cerita Lainnya

Lihat Semua