RANKING, RAPORT DAN KECEDASAN

Rusdi Saleh 19 Desember 2010
berakhirlah semester ganjil dan selamat datang dil liburan semester. dua minggu… cukup lama untuk ukuran seorang yang bekerja. sabtu kemarenadalah hari yang berbeda daripada biasanya bagi siswa-siswi SDN 01 Bangun Jaya. sebuah buku berwarna merah, berisi nilai-nilai siap dibagikan para wali kelas kepada seluruh siswa tanpa terkecuali. kami biasa menyebut itu RAPORT. Dari jaman saya SD pun buku itu konsep pembagian raport dan penilaian melalui buku itu memang sudah ada. Mungkin juga seluruh pendidikan di belahan dunia manapun menggunakan konsep raport untuk mengevaluasi kegiatan belajar mengajarnya. Namun sekarang saya ingin membahas mengenai satu hal. Masih banyak orang dan beberapa praktisi akademisi yang pro-kontra dalam menerapakan sistem ini, sistem yang saya maksud adalah sitem Ranking atau pengurutan berdasarkan nilia tertinggi sampai dengan nilai terendah. Seorang yang mendapatkan nilai akumulasi paling tinggi akan mendapatkan ranking pertama dan seterusnya. Dalam hal ini saya berada pada posisi yang kontra untuk me-RANKING setiap anak pada buku raportnya. ******** Pagi itu, di hari sabtu, saya berkesempatan untuk menyaksikan pembagian raport salah satu rekan saya di SD bukan tempat saya mengajar. Seluruh orang tua sudah berkumpul memenuhi nundangan sekolah, mereka akan menerima raport anaknya. Setelah diawali oleh pidato dari kepalas ekolah yang masuk kelas satu persatu maka acara pembnagian raport pun dimulai. Acara perdana yaitu pembacaan RANKING pertama, kedua, dan ketiga. Setelah itu mereka (orangtua) akan maju satu persatu untuk mendapatklan hadiah dari pihaki sekolah. ****** Di satu sisi mungkin saja sistem memberikan ranking pada setiap siswa akan memberikan motivasi bagi siswa. Para siswa akan bersemngat untuk berada di peringkat satu, ingin namanya disebut di depan kelas oleh kepala sekolah atau ingin menerima hadiah dari sekolah. Walaupun saya yakin tidak semua siswa akan berpikiran seperti itu. Sebagian siswa yang memang dari dulu tidak pernah berada diurutan tinggi tidak terlalu berharap untuk mendapat ranking pertama, kedua dan sterusnya. Yang ada malah hanyalah pelabelan kepada siswa dengan ranking terbaik, mereka akan disebut si ranking satu, si ranking dua dll. Atau pun yang ada hanyalah sebuah proses belajar dinilai dari hasilnya saja. Pada hal menurut saya belajar adalah sebuah proses tidk hanya dilihat dari nilai akumulasi terakhir. Kecerdasa tiap siswa sangat beragam, dari delapan kecerdasan yang ada. Mungkin saja salah satu siswa saya akan memiliki nilai yang tinggi poada mata pelajaran kesenian, menggambar atau musik karena kecerdasannya adalah kecerdasan audio, namun disisilain mata pelajaran lainnya akan mendapatkan nilai kecil sehingga jumlah nilai keseluruhannya pun tidak terlalu besar. Tidak ada yang salah dengan siswa saya yang satu itu. Dia berada pada keadaan normal, menonjol pada salah satu kecerdasan namun pada akhirnya sistem perankingan akan membuat dia mendapatkan label anak bodoh karena mata pelajaran yang sesuai dengan kecerdasannya hanya sedikit. ********* Saya tidak mengeti mengapa sekolah dimana rekan saya mengajar masih menerpakan sistem ini, padahal setelah saya buka-buka raport yang saya dapatkan dari sekolah yang saya ajar, tidak ada sama sekali kolom untuk menuliskan ranking siswa. Jadi saya menangkap bahwa pemerintah, yang membuat buku raport, pun menganggap bahwa tidak seharusnya siswa-siswa diurutkan berdasarkan akumulasi nilai-nilai mereka. Biarkan mereka berkembang dengan kecerdasan mereka masing-masing, biarkan mereka memiliki kelebihan yang mereka punya tanpa dibandingkan satu persatu, karena mereka semua adalah siswa cerdas, tidak ada manusia bodoh. Mereka hanya memiliki kecerdasan yang berbeda. Dan berbeda itu unik. Rusdi Saleh untuk Indonesia Mengajar. Bandar Lampung, 19 Desember 2010

Cerita Lainnya

Lihat Semua